1. Anak Magang

1169 Words
Dizza sontak terkejut melihat sosok laki-laki di hadapannya ini. Deryl, pria jangkung berkulit kuning langsat serta berlesung pipit tengah berdiri sambil memaparkan apa saja pekerjaan yang akan dilakukan oleh anak-anak magang termasuk dirinya. Ia tidak menyangka bahwa pria inilah yang akan menjadi pembimbingnya selama magang di perusahaan ini. Sedari awal pak Robi selaku pihak HRD memang sudah memberitahu bahwa manager yang akan membimbing mereka adalah Pak Deryl. Namun, ia tidak menyangka bawa Deryl yang dimaksud adalah Deryl Pratama, masa lalunya. Laki-laki yang sangat ia benci. Deryl juga awalnya tampak terkejut melihat salah satu mahasiswi yang magang tersebut adalah wanita yang pernah menjadi masa lalunya. Wanita itu kini lebih tinggi dari terakhir mereka bertemu lima tahun lalu. Riasan wajahnya lebih dewasa. Dulu, rambut lurus Dizza hanya sebatas bahu, tetapi sekarang rambutnya panjang sepunggung. Bentuk tubuhnya juga lebih matang. Dizza sangat cantik. Namun, Deryl cukup pandai dalam menutupi keterkejutannya. Buktinya ia mampu memaparkan banyak hal dengan sangat santai. Tidak ada kecanggungan. Yang terlihat justru kewibawaannya sebagai atasan mereka. Tiba-tiba saja Dizza merasa pening. Kenapa dari sekian banyaknya perusahaan, justru ia berakhir magang di perusahaan tempat Deryl bekerja. Sebagai atasannya pula. Sudah kepalang basah. Ia tidak bisa mundur. Karena magang ini sangat penting. Iya, Dizza sekarang adalah Mahasiswi semester enam. Harusnya ia sudah menikmati kelulusannya namun karena ia dulu sempat menunda sekolah selama satu tahun jadilah sekarang ia masih di semester enam. Tidak apa-apa, setidaknya ia masih memiliki harapan untuk mencapai cita-citanya. Lulus dengan IPK tinggi dan bisa bekerja di perusahaan terkenal, menjadi wanita karir dengan segudang prestasi merupakan impiannya. Untuk itu, ia selalu belajar dengan giat agar bisa lulus kuliah dengan cepat. "Sudah paham semuanya? Apa ada yang perlu ditanyakan sebelum kita mulai bekerja?" tanya Deryl kepada mahasiswa-Mahasiswi terebut. "Karena tidak ada yang bertanya, kalo gitu saya akhiri brifingnya. Semoga kalian nyaman magang di sini. Kalo ada yang kurang mengerti kalian bisa bertanya kepada saya. Kalian juga bisa membantu karyawan divisi ini jika mereka membutuhkan bantuan kalian." Para mahasiswa tersebut yang berjumlah tiga orang mulai duduk di kubikel bersisian dengan kubikel para karyawan. Untuk divisi administrasi memang hanya berjumlah tiga anak magang. Dizza duduk di kubikel paling ujung. Di samping kubikel karyawan yang diketahuinya bernama Bima karena mereka sempat berkenalan tadi. Bima mengarahkan duduknya menghadap Dizza. "Berapa lama lo magang di sini?" tanya Bima setelah Dizza sudah duduk di kursinya. "Tiga bulan Mas." "Jangan panggil gue Mas. Panggil nama aja biar akrab." Bima tersenyum. Otomatis Dizza pun tersenyum. Dizza bukan orang yang gampang bergaul jadi ia tidak tau harus menjawab apa lagi. Akhirnya ia pun memutuskan untuk langsung menghidupan komputernya. "Dizza," panggil Bima "Kenapa?" "Kalo ada yang enggak lo ngerti, lo tinggal tanya aja ke gue. Tadi Pak Deryl udah bilang gitu ke semua Karyawan supaya saling bantu." "Iya Bim. Makasih ya." Dizza tersenyum. Senyum yang mampu membuat Bima terpana. Untuk pertama kalinya ia merasa ada senyum terindah di dunia. Yaitu senyuman gadis di sampingnya. "Mudah-mudahan lo nyaman ya magang di sini. Dan lo juga jangan kaget ya sama sikap Pak Deryl nanti. Dia itu perfectionis." "Perfectionis?" "Iya. Dia bisa tiba-tiba jadi nyebelin. Laporan yang enggak sesuai sama kriteria dia bakalan langsung dibuang." Dizza mengangguk. "Tapi lo tenang aja. Gue bisa bantu lo kalau lo butuh gue." Dizza tersenyum. "Iya. Mohon kerja samanya ya." Jam istirahat pun tiba, Dizza dan dua temannya pun memutuskan untuk pergi ke tempat makan padang di seberang jalan perusahaan. Disamping hemat tapi juga nikmat. Dengan berbagai macam lauk dan harga yang sesuai dengan kantong mahasiswa. Dizza bukan anak orang kaya, juga tidak bisa dibilang susah. Keluarganya adalah keluarga sederhana. Dengan uang yang dimilikinya ia hanya mampu membeli makan nasi padang dan warteg. Tetapi ia selalu bersyukur karena masih bisa makan setiap harinya walau dengan menu seadanya. "Pak Deryl tadi ganteng banget yah, karirnya juga bagus, tipe calon suami idaman," ucap Febi salah satu teman Dizza. "Jangan mimpi lo, dari umur aja udah beda jauh sama kita," ucap Ari Dizza, Febi, dan Ari duduk di meja yang sama di urutan meja paling belakang. "Emang lo tau umur dia berapa?" Tanya Febi "Enggak tau." Ari nyengir Febi melempar Ari dengan tisyu yang ada di atas meja "Feelling gue kayanya akhir 20an deh. Berarti beda jauh dong sama lo," keukeuh Ari. "Cinta itu enggak mandang usia Ri. Walaupun seandainya kita beda 10 tahun ataupun lebih, kalo udah saling cinta ya enggak masalah dong." "Emang lo yakin dia bakalan suka sama lo?" "Seenggaknya kan berharap dulu, soal terwujud atau engganya kan urusan belakang." "Nyadar diri dong, orang kaya Pak Deryl itu pasti sukanya sama yang sederajat sama dia. Bukan mahasiswi kere kayak lo." "Ish lo lama-lama rese yah." Febi kesal "Udah-udah kenapa malah pada ribut sih bukannya makan yang bener. Bentar lagi masuk nih," ujar Dizza yang mulai kesal melihat Febi dan Ari berdebat. ### Jam istirahat telah selesai. Dizza, Febi, dan Ari memutuskan untuk kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan tempat mereka magang, Dizza pergi ke toilet dulu untuk menuntaskan hajatnya. Ketika ia selesai dengan urusannya dan berniat keluar dari toilet, ia dikejutkan oleh sosok yang sedari tadi dibicarakan oleh Febi dan Ari. Laki-laki itu berdiri di depan toilet wanita. Apa yang dia lakukan di depan toilet wanita. Seketika berbagai pikiran buruk terlintas di benaknya. Kebetulan sekali tiolet pun sedang sepi. Entah perasaan Dizza saja atau bukan, ia melihat pancaran mata Deryl sarat akan kerinduan yang dalam, tatapan itu terlihat sendu sekaligus bahagia. Apa yang sedang Deryl rasakan sebenarnya. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu. "Maaf Pak, permisi." Dizza baru saja hendak melangkahkan kakinya melewati Deryl tapi lelaki itu justru menghalangi jalan Dizza dengan berdiri di hadapan wanita itu. "Kamu... Apa kabar?" tanya Deryl. Dizza mendongak menatap wajah Deryl. Ia tersenyum sinis. "Seperti yang anda liat, kabar saya baik." "Aku lega dengernya." Keduanya sempat terdiam. Kecanggungan di antara keduanya membuat suasana tidak menyenangkan. Dizza muak berada di dekat Deryl. Ia kembali hendak melanjutkan langkahnya, tetapi terhenti ketika Deryl berucap. "Aku mau minta maaf sama kamu." Dizza menghela napas. Enggan melirik Deryl. "Tolong maafin aku atas kesalahan aku. Aku tahu aku sangat jahat. Aku ingin-" "Saya enggak mau membahas yang udah lalu. Kalo bapak mau bicara soal kerjaan akan saya tanggapi, tapi kalo untuk membahas yang lain saya enggak bisa." Dizza memotong ucapan Deryl. "Di luar jam kerja kamu jangan panggil saya Bapak. Saya mau kamu panggil saya nama. Bisa?" "Bapak lupa, ini masih di kantor. Enggak etis kalo saya manggil anda dengan nama. Lagian saya engga merasa akrab sama anda. Jadi enggak ada alasan saya manggil anda dengan nama." Deryl terdiam. Merasa tertohok dengan ucapan Dizza. Ia sadar telah banyak melakukan kesalahan pada Dizza sehingga wajar jika wanita itu sangat membencinya. "Saya permisi." Wanita berusia 22 tahun itu melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertahan. Belum sampai ia berjalan lima langkah ia sudah kembali menghentikan langkahnya begitu mendengar pertanyaan Deryl. "Kamu enggak mau tau kabar Alesha? Apa kamu enggak kangen sama dia?" Dizza terdiam di tempatnya. Membelakangi Deryl yang sedang menanti jawabannya. Namun, setelah lima detik berlalu ia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Deryl. Tanpa menjawab pertanyaan lelaki tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD