SEMBILAN

2605 Words
Wanita itu berjalan cepat dengan napas yang terengah-engah seperti kijang yang sedang diburu oleh predator buas. Keringat dingin telah membasahi punggung dan seluruh tubuhnya. Wajahnya juga tampak panik dan ketakutan. Angin malam terbelah, kesunyian yang tercipta di jalanan yang sepi malam itu begitu mencekam. Redup sinar rembulan pun menambah betapa menakutkannya untuk berjalan sendirian. Namun wanita itu terus melangkah dengan panjang dan cepat. Dia terus maju tanpa berniat untuk berbalik ke belakang. Dia merasa ada sesuatu—yang sangat menakutkan mendekat padanya. Wanita itu kini setengah berlari untuk menghampiri mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Mobilnya bermasalah sehingga tanpa diketahui sebabnya berhenti mendadak di jalanan sepi. Dia mencoba berjalan untuk mencari bantuan. Handphone miliknya lowbat. Kesialannya bertambah dengan power bank miliknya yang ketinggalan. Wanita itu mencoba menenangkan degup jantungnya dengan mengepalkan tangan di depan d**a. Beberapa kali dia juga mencoba mengambil napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Saat berhasil berdiri di depan pintu mobil, dia mencoba mengambil kunci mobil dari saku celananya. Naas, dia terlalu gugup sehingga kunci mobil itu terlepas dari tangannya. Tangan dan kakinya gemetar, tak sanggup lagi menyembunyikan rasa takut yang sejak dia menyelusup dalam dadanya. Ketakutannya bertambah tatkala dia berjongkok untuk mengambil kunci dan mendengar suara langkah kaki. Dia dengan sigap menoleh ke belakang tetapi tak ada siapapun. Kosong. Dia meneruskan mengambil kunci mobil lalu mencoba membuka mobilnya. Tangannya terhenti saat mendapati seorang anak laki-laki berdiri di depannya. Anak lelali itu terlihat masih sangat muda dan tampan, tetapi tinggi badannya sudah terasa dengannya. “Apa yang kamu..” Ucapan wanita itu tidak selesai. Sebuah pisau telah menggorok lehernya dengan cepat. Pembuluh darah lehernya terputus sehingga memuncratkan darah kemana-mana termasuk ke kaca mobil perempuan itu. Kornea wanita itu terbeliak, kematian singkat dan menyakitkan telah membuatnya berhenti bernapas dalam sekejap. Tubuhnya jatuh ke tanah. Aspal jalan yang dingin menjadi pemakaman terakhir bagi wanita itu. Lelaki tua tanpa tudung kepala yang baru saja menghabisi nyawa wanita itu memberikan kode pada lelaki muda di depannya. Lelaki itu mengangguk lalu dengan cekatan membuka pintu mobil. Dia mengambil tas dan sejumlah barang berharga milik wanita itu. tatapan matanya berhenti tatkala melihat seorang perempuan muda yang mungkin seusia dirinya sedang membekap mulutnya dengan air mata yang bercucuran di jok belakang mobil. “Apa ada orang lain di dalam?” Suara berat itu membuat perempuan itu gemetar. Walau begitu daripada menunjukkan rasa takut, amarahlah yang tergambar di matanya. Lelaki muda itu tertegun sebentar. “Tidak ada, Ayah,” jawabnya dengan suara dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Perempuan itu menelan ludah, menatap seorang lelaki yang baru saja membiarkannya hidup. Walau wajah dibalik masker itu tertutup, pemandangan yang kini di depannya akan sulit terlupakan. Bahkan untuk seumur hidup. Pintu mobil kembali ditutup. Kedua orang itu pergi. “Ibu!!” Aku membuka mata dengan air mata yang sudah memenuhi kelopak mata dan juga pipiku. Mimpi itu datang lagi, setelah sekian lama berhasil aku enyahkan. Menjalani terapi berbulan-bulan rupanya tak menjamin peristiwa itu pergi dari hidupku. Kematian yang singkat dan begitu meninggalkan kesan itu telah membuatku tak bisa melupakan bagaimana wajah ibuku saat meninggal dunia. Keparat. Ingin rasanya aku mengumpat pembunuh k**i yang telah merampas hidup ibuku itu. Namun sama seperti halnya waktu itu, aku tak bisa melakukan apapun. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya. Kenyataan itu membuatku begitu frustrasi. Terlebih, setelah peristiwa malam itu, aku mulai melihat kematian orang lain seolah ini adalah hukuman akibat ketidakberdayaanku malam itu.  Aku menyeka air mataku lantas menatap jam dinding, pukul setengah tujuh pagi. Aku segera meloncat dari kasur dan bersiap ke sekolah. Hari ini aku kembali ke sekolah setelah beberapa hari absen untuk memulihkan kondisi fisikku, terutama kaki. Meski kejadian di rumah kak Tasya membuatku sedikit trauma tetapi sejauh ini aku baik-baik saja. Denis juga baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun. Walau merasa ada yang janggal dengan sikapnya, aku memilih mengabaikan keanggalan itu. Bagaimanapun aku harus bersyukur karena kami berhasil selamat. Tentu, ini berkat peran Denis yang sangat dominan dalam kasus ini. Hal ini membuatku semakin bersemangat untuk terus mengembangkan kemampuanku. Aku tidak hanya ingin melihat dan berdiam diri, tetapi juga ingin berperan aktif dalam kasus yang nantinya akan kami hadapi. Dengan begitu, suatu saat semoga aku bisa bertemu dengan pembunuh ibuku dan membalas kekalahanku yang dulu. Sebagai bentuk rasa syukur, aku mentraktir Mia makan. Sedangkan Denis sengaja tidak aku undang. Dia sudah terlalu mampu untuk membeli makanan sendiri. Gosip yang beredar mengatakan bahwa Denis berasal dari keluarga kaya raya. "Nis," panggil Mia ketika mendapatiku melamun. “Ah, ya?” “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Mia sembari menatapku lekat. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan lalu melanjutkan makanku yang sempat tertunda. “Aku akan mengikhlaskan Denis untukmu,” ucap Mia membuatku segera mendongakkan kepalaku padanya. Shock. “Hah?” “Kalian sangat serasi bersama,” imbuhnya. "Ih.. Apa sih? Nggak mau. Dia bukan tipeku," tolakku tegas. Mia mengerucutkan bibir setelah mendengar ucapanku. Dia tampak begitu kesal sehingga mulai menarik kasar rambutku. Karena kesal, aku balas dia dan kami mulai saling menjambak rambut masing-masing. Teman-teman di Kantin yang menyaksikan pertengkaran kami pun berusaha melerai. Mia dan aku akhirnya bisa dipisahkan walau kami masih saja saling menatap dengan dingin. Namun semenit kemudian kami saling tertawa membuat semua orang kebingungan. Mereka bubar karena merasa kami berdua hanyalah dua orang gila. Mia medekat. Jemarinya kemudian mulai iseng dengan menggelitik pinggangku dengan tersenyum geli. Aku tidak mau kalah sehingga melakukan hal yang sama. Namun, aku termangu beberapa detik setelah meletakkan tanganku di pinggang Mia. Deg! *** Seorang cewek yang sangat aku kenal berdiri di atap gedung sebuah bangunan. Melihat betapa tingginya bangunan itu, aku rasa itu gedung dengan lima lantai. Cewek itu berdiri membelakangi matahari yang berada di depannya. Dengan pemandangan langit senja yang indah serta angin sepoi-sepoi yang membelai rambutnya, dia menatap nanar ke arahku. Perlahan dia merentangkan tangannya lalu berbisik 'selamat tinggal, Nisa'. Sedetik kemudian dia terjun bebas ke bawah. Brakk!! Tubuh cewek itu terjatuh dan langsung mendarat di tanah. Darah pun mulai merembes dari tubuh mungilnya hingga membentuk genangan darah. Aku bergetar melihat pemandanan itu lalu aku panggil namanya dengan suara yang gemetar. "Mia!" Tanpa sadar aku berteriak dengan meneteskan air mata. Dadaku tiba-tiba terasa sakit, tenggorokanku seakan dicekik sehingga kesulitan bernapas. Sesak. Mia yang melihatku menangis segera memelukku. Dia bahkan menepuk-nepuk kecil punggungku membuat tangisku semakin menjadi. Aku tak kuasa menahan rasa sakit yang telah menjalar ke seluruh tubuhku. Sahabatku itu seolah mengerti tentang apa yang sedang terjadi bahkan sebelum aku menjelaskan. “Sudah, nggak apa-apa, semua akan baik-baik saja, Nisa,” hiburnya. Aku hanya terus menangis di pelukan Mia. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya aku bisa menguasai diriku kembali. Mia mengulas senyuman tipis sembari mengusap sisa air mata di wajahku. Tak ada kesedihan di wajahnya. Hanya sebuah ketegaran yang luar biasa. Baru saja tadi pagi aku melihat bagaimana kematian ibuku terulang kembali, kini aku kembali melihat kematian yang tidak aku inginkan. "Nisa, berapa lama waktuku?" tanyanya dengan suara parau. Aku merapatkan gigiku kuat-kuat, bahkan rasanya gigiku akan terlepas karena tertekan terlalu dasyat. Hatiku sakit. Sakit sekali. Aku tak ingin menjadi lemah tetapi kenyataan selalu membuatku melakukan hal sebaliknya. Sungguh, ini membuatku begitu frustrasi. Tuhan, tolong aku! Sebuah belaian lembut tiba-tiba mendarat di pucuk kepalaku. Aku menengok ke atas, cowok k*****t itu sudah berada di dekatku dengan senyumannya yang masih saja menyebalkan. Dia tak mengatakan sepatah kata apapun, tetapi mampu memberikan ketenangan yang membuat air mataku berhenti mengalir. Tatapan matanya, terasa tidak asing seolah aku pernah melihatnya. Mia bangkit dari duduknya lalu meraih tangan Denis lalu mengajaknya pergi. Aku tak tahu mereka kemana atau akan membicarakan apa. Aku tak sanggup mengikuti mereka. Kakiku telah kehilangan syaraf-syarafnya sejak penglihatan kematian Mia muncul. Aku tak sanggup melakukan ini. Jika penglihatanku tidak menyimpang maka Mia hanya mempunyai waktu tiga hari lagi sebelum kematiannya tiba. Jika menyimpang, dia hanya punya waktu dua atau bahkan sehari saja. Apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi? Bagaimana caranya agar aku bisa mencegah kematian Mia? Selama ini, aku selalu gagal. Walau kali ini, aku berharap akan ada satu pengecualian di mana aku akan berhasil.  *** Bel tanda sekolah usai telah berbunyi sejak tadi, tetapi aku dan Mia masih duduk di bangku kami tanpa mengatakan apa-apa. Keinginan untuk pulang terasa lenyap. Pun Mia, sejak kembali dari pembicaraannya dengan Denis tak berniat sama sekali untuk berbagi cerita atau memberikan petunjuk mengenai isi pembicaraan mereka padaku. Selama menjadi sahabatku, Mia jarang sekali tertutup kecuali hal-hal yang baginya tak perlu dibagi. Apa begitu berat dia mengungkapkan pembicaraannya dengan Denis padaku? Jika iya, kenapa? Sungguh, aku begitu penasaran. Aku menghela napas panjang saat meraba mataku yang bengkak karena menangis seharian. Tadi aku juga sempat diusir paksa ke UKS oleh guruku sampai pelajaran kelima. Aku baru kembali ke kelas setelah Denis, cowok k*****t itu juga ke UKS untuk menyusulku. Dia terus-terusan menggangguku membuatku tidak betah dan terpaksa kembali ke kelas. "Jadi, bagaimana aku akan mati, Nisa?" Mia mulai membuka pembicaraan membuatku kembali down. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah aku ketahui jawabannya itu. Selama 16 tahun hidupku, baru kali ini aku menyesal memiliki 'penglihatan' ini. Aku tidak ingin gagal dalam melindungi orang yang aku cintai, lagi. Jika itu sampai terjadi, mungkin aku akan berharap untuk mati. "Apa aku akan mati dibunuh?" Mia mulai menebak-nebak sendiri. Sepertinya dia tak lagi sabar menanti jawaban dariku. Nada suaranya tak lagi parau, hanya sedikit bergetar seolah dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis atau menunjukkan rasa takut padaku. Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan, menjawab tidak untuk dugaannya dengan bahasa isyarat. "Apa aku akan mengalami kecelakaan?" Mia menebak lagi. Sekali lagi aku hanya menggelengkan kepala sembari m******t bibirku dengan frustrasi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia setegar itu untuk menebak bagaimana dirinya akan mati. "Hm.. Kalau begitu, apa aku bunuh diri?" Aku membisu. Tebakannya benar. Mia yang melihatku gelisah mulai mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tanpa perlu aku katakana secara verbal. “Jadi aku bunuh diri?" Mia menatap lekat diriku yang terus saja mencoba menghindar darinya. Aku mulai meremas jemariku. Rasanya, aku akan gila hanya karena ini. Tiba-tiba cewek berambut lurus sebahu itu tertawa terpingkal-pingkal membuatku yang duduk di sebelahnya merasa sedih sekaligus lega karena melihatnya begitu. Setidaknya, dia tidak lagi mengeluarkan air mata. Tawa palsu pun tidak mengapa asalkan dia tidak putus asa. "Nisa, apa menurutmu aku tipe orang yang bisa bunuh diri?" Wajah Mia tiba-tiba menjadi serius membuatku menelan ludah. Pahit. Rasa lega yang sempat hinggap kini hijrah entah kemana. Terlebih sorot matanya tak menunjukkan sedikit pun rasa ragu. "Apa kamu yakin aku bunuh diri?” tanyanya sekali lagi. “Nggak, aku nggak pernah meragukanmu,” sanggahnya cepat. “Maksudku, meskipun di penglihatan milikmu aku seperti bunuh diri, apa iya aku tipe orang yang akan melakukan hal itu? Kita sudah saling kenal lama, Nisa. Kamu percaya bahwa aku bisa melakukan itu?” Aku menangkap penekanan dari nada suara Mia. Sahabatku itu seolah sedang mencoba untuk menekankan sekaligus membuatku percaya bahwa dia bukanlah orang yang sanggup mengakhiri hidupnya sendiri. “Percayalah, Nisa. Bahkan, jika memang aku melakukannya persis seperti yang kamu lihat, aku bukan bunuh diri tapi dibunuh," tegasnya yang seketika bulu kudukku merinding. "Mia, aku...." Mia tiba-tiba tersenyum. Ia melihatku lekat lalu membelai kepalaku seperti seorang Ibu yang sedang mencoba untuk menenangkan anaknya yang gelisah. Dari sorot mata yang teduh, aku dapat menangkap bahwa dia sedang mengatakan 'jangan khawatir, aku akan baik-baik saja'. "Mau pulang bersama?" Ajaknya. Aku mengangguk setuju. Mia tersenyum.  Aku dan Mia pun bangkit dari duduk kami dan mulai berjalan pulang dengan berjalan beriringan. "Tadi kamu mengajak Denis pergi, apa kau membicarakan sesuatu dengannya?" tanyaku penasaran. "Sedikit," sahut Mia dengan singkat. "Soal apa?" tanyaku lagi. "Hm.. Apa ya.. Mungkin saja..." Mia menghentikan ucapannya. Dia menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman yang tak bisa aku jabarkan. "Wasiat," katanya melanjutkan. Aku terpaku. Entah bagaimana, ulu hatiku kembali terasa sakit. "Aku tidak akan membiarkanmu mati, Mia," ujarku seraya memandangnya dengan tatapan serius. Mia tersenyum kecil lalu sekali lagi memelukku. "Nisa, terimakasih sudah melihat kematianku. Dengan tahu batas waktuku, aku akan memanfaatkan waktuku sebaik mungkin. Aku pasti tidak akan menyia-nyiakannya." Aku tertegun. Bingung. Sama sekali, aku tidak mengerti mengapa ia begitu saja menerima dengan apa yang akan terjadi? Begitu sangat percayakah dia padaku sehingga dia tidak berpikir bahwa mungkin saja aku sedang berbohong dan berniat menipunya? "Nisa. Oi. Nisa!" panggil Mia sembari melambai-lambaikan tangannya di depanku. Aku tersadar dari lamunanku. "Aku sudah sampai. Sebaiknya kau segera pulang," katanya sambil menunjuk ke rumahnya. Aku mengangguk. Rumah Mia memang dekat dari sekolah, hanya perlu berjalan kaki sekitar 10-15 menit. Berbeda denganku yang harus bolak-balik naik bus Kota. Setelah melihat Mia masuk ke dalam rumahnya, aku pun berjalan menuju halte bus. Langkahku terhenti saat melewati sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumah Mia. Tampak seorang cowok sedang berdiri di tengah taman. Posisi tubuhnya menyamping hingga yang terlihat darinya hanya potret sebagian dari tubuhnya yang memukau. Kilauan matahari siang itu entah mengapa membuatnya jadi semakin mirip dengan pangeran. Benar-benar terlihat tampan dan berkilau. Tiba-tiba cowok itu menoleh ke arah dimana aku berdiri. Seolah menyadari kalau sedang diperhatikan, dia yang berhasil beradu pandang denganku pun memberikan senyuman kecil. Hal itu membuat pipiku mendadak terasa panas. Aku tersipu malu. Buru-buru, aku pun memutuskan untuk meninggalkan Taman. *** Hari ini Mia tidak masuk sekolah. Aku sudah mencoba menghubunginya dengan menelpon dan mengiriminya pesan, tapi dia hanya membalasku lewat satu voice note di w******p. Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan butuh waktu untuk sendiri. Walau begitu, aku tak begitu saja percaya. Aku berniat untuk mengunjunginya pulang sekolah nanti. Tepat saat jam pelajaran Biologi, Bu Santi masuk dengan seorang cowok. Cowok itu mengenakan seragam yang berbeda dengan sekolah kami, itu artinya dia mungkin murid pindahan. Cowok itu tersenyum lalu memperkenalkan dirinya ketika Bu Santi menyuruhnya. "Hai, perkenalkan namaku Erwin Ferdianto. Kalian bisa memanggilku Ferdi," katanya memperkenalkan diri dengan ramah. Teman-temanku, khususnya kaum hawa langsung menjerit histeris ketika mendengar salam perkenalan dari Ferdi. Apalagi ketika dia tersenyum, jeritan mereka makin tidak terkontrol. Merasa tertarik dan penasaran, aku yang biasanya duduk di belakang dan tidak begitu memperhatikan suasana kelas pun ikut memperhatikan Ferdi dengan seksama. Ferdi berperawakan tinggi, kurus tapi atletis. Wajahnya tampan dan sangat cute. Senyumnya itu lho, sungguh menawan. "Ferdi silahkan duduk di kursi yang kosong di belakang Annisa," suruh Bu Santi sambil menunjuk ke bangku di belakangku. Cowok itu mengangguk lalu berjalan santai menuju bangku yang terletak di belakangku. Ketika Ferdi melewatiku yang melihatnya dari samping pun mengenalinya. Sepertinya dia cowok yang aku lihat di taman kemarin. Saat itu, Ferdi balik menatapku membuat mata kami bertemu. "It's second time we meet right?" tanyanya dengan senyuman culas yang seperti mirip senyum seseorang. Aku berbalik, menghadap ke depan. Dugaanku benar. Dia memang cowok yang kemarin. *** "Oi, Oon,” sapa Denis saat kami berpapasan di lorong kelas ketika jam istirahat. Aku yang ogah dia ganggu berjalan lurus ke kantin tanpa memperdulikan sapaannya. "Heh, jangan cuek gitu, dong. Jarang-jarang lho cowok tampan nyamperin cewek jelek," ledeknya sembari berusaha mensejajarkan tubuhnya denganku. Aku mencebikkan bibirku. Rasanya perutku akan mual jika dia terus narsis begitu. "Tampan dari Hongkong? Kalau kamu tampan cewek-cewek udah berjajar rapi di belakangmu. Buktinya nggak ada tuh yang nempel ke kamu. Malah kamu nempel ke aku terus," omelku kesal. Denis agaknya tersinggung. Cowok k*****t itu mulai menjitak-jitak kepalaku ringan membuatku setengah berlari untuk menghindari serangannya. Denis tertawa keras, merasa menang. Wajah cowok itu terlihat menunjukkan ketulusan, aku belum pernah melihat Denis tertawa setulus itu. Entah kenapa dia jadi sangat tampan. "Radit." Panggilan itu membuatku dan Denis menghentikan langkah kami. Kepala kami berdua secara otomatis tertoleh ke sumber suara. Benar dugaanku, ternyata cowok murid pindahan itu yang memanggil. Dia berdiri sambil melambaikan tangan ke arah kami. Tentu, dengan seulas senyum penuh misteri yang menyebalkan. Radit? Siapa? Padahal hanya ada aku dan Denis di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD