DELAPAN

2471 Words
AUTHOR’S POV Nisa setengah berlari menyusuri perumahan mewah Cempaka. Dia sedang berusaha mencari rumah Tasya berdasarkan iformasi yang diberikan oleh ayahnya. Pagi ini, dia segera menyeret Denis untuk menemaninya ke rumah Tasya karena sangat yakin bahwa akan ada hal buruk yang terjadi. Firasat buruk itu sudah dirasakannya sejak tadi malam, akan tetapi Denis dan ayah Nisa tidak mengizinkannya keluar. Nisa sempat berniat untuk kabur ketika semua orang tidur. Namun batal dilakukan karena dia malah baru bangun di pagi hari. Gadis itu menduga bahwa Denis telah memasukkan sesuatu pada minumannya sehingga membuatnya merasa mengantuk dan tertidur. Walau begitu Nisa tidak punya bukti sehingga tidak bias menyalahkan Denis atau ayahnya akan mengomel karena menuduh orang sembarangan. Nisa merenggut sebal. Bebrapa kali dia harus berbalik ke belakang dan menyeret Denis agar berjalan lebih cepat. Cowok beralis tebal itu seperti sengaja memperlambat gerakannya dengan berjalan pelan sekali. Setelah mencari ke sana-kemari akhirnya Nisa berhasil menemukan rumah Tasya. Rumah-rumah di Kawasan Cempaka -besar-besar dan mewah. Walau begitu jarang sekali ada penghuninya sehingga sulit untuk bertanya. Nisa mengedor-gedor pintu gerbang rumah Tasya dengan keras, bahkan meneriakkan nama Tsya berulang kali. Tak lama kemudiam muncul seorang lelaki berpakaian satpam berlari dengan terburu-buru untuk membukakan pintu. "Dek, berisik amat pagi-pagi gedor-gedor rumah orang. Tidak sopan!" Satpam itu memarahi Nisa segera setelah pintu terbuka. Nisa yang dimarahi tidak peduli. Gadis itu malah masuk ke dalam tanpa permisi. "Kak Tasya.. Kak Tasya.. Kak!" teriaknya nyaring. “Dek, jangan masuk sembarangan!” Satpam itu mencoba untuk menghentikan aksi Nisa. Sekali lagi, gadis keras kepala itu tidak memperdulikan teguran dari Kardi, si Satpam. Tasya yang merasa terganggu dengan teriakan Nisa pada akhirnya keluar dari rumahnya. Wajah gadis itu ditekuk dengan kemarahan yang tergurat jelas dari mimic wajahnya. "Ada apa sih? Berisik!" Nisa segera berjalan mendekati Tasya dengan kaki yang sedikit diseret karena belum sembuh total. Sejak tadi dia memaksakan dirinya untuk berjalan bahkan setengah berlari demi Tasya, kini puncak dari segala rasa sakit di kakinya mulai terasa. "Kak, keluargamu sudah mati atau masih hidup?" tanya Nisa to the point. "Hah? Apa maksudmu?" tanya Tasya dengan dahi berkerut. Bingung. "Hidup, kok. Ngapain sih ngomong gitu? Kamu sudah nggak waras ya?" jawab Tsya merasa sedikit ngeri. "Mereka mati," ujar Denis dengan nada dingin membuat ketiga orang lainnya menoleh ke arah cowok muda itu dengan ekspresi terkejut. "Sebaiknya kamu segera memanggil ambulan, atau mungkin polisi?” imbuhnya dengan tatapan yang sama sekali tidak menunjukkan rasa manusiawi. Tatapan semacam itu membuat bulu kuduk Nisa meremang. Ini pertama kali dirinya melihat tatapan Denis yang seperti itu. Dia memang tahu ada sesuatu yang janggal pada diri cowok k*****t itu. Akan tetapi kali ini berbeda. Dia merasa bahwa Denis menakutkan, bahkan seperti lubang hitam yang bisa menelan apapun dan siapapun tanpa pandang bulu. Tasya  terdiam, auranya tiba-tiba berubah. Nisa yang melihat perubahan itu mendadak merasa takut. Keduanya memiliki aura yang sama meski aura Tasya tidak sekuat Denis. "Tidak usah repot-repot.” Tasya menoleh kea rah Denis. “Seperti katamu, mereka sudah mati." Nisa menelan ludah. Untuk beberapa saat, Denis dan Tasya seperti dua lubang gelap yang ingin melahap satu sama lain. Kardi yang dari tadi hanya diam bergegas masuk ke dalam rumah. Disusul dengan Nisa, Denis kemudian Tasya. Nisa dan Denis memasuki sebuah kamar yang cukup lebar. Sepasang suami-istri ditemukan telah tidak bernyawa. Si istri berada di sebelah kanan tempat tidur dengan banyak sekali muntahan di sana-sini. Sedangkan si suami terbujur kaku di tempat tidur. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Tidak ada apapun di tubuh mereka. Hanya ada muntahan. Nisa mendekat untuk mengamati lebih dekat dan seksama. Dia merasa aneh dengan kuku mayat itu. Sebuah garis horizontal berwarna putih ditemukan di kuku kedua mayat. Sementara Nisa sedang fokus dengan mayat di depannya, Denis keluar menuju kamar di sebelahnya. Dengan santai ia membuka pintu kamar seolah tahu kalau tidak dikunci. Nisa yang mendengar suara pintu dibuka segera beranjak dari tempatnya. Dia pergi menyusul Deni. Sesuai prediksi, di kamar itu Sashi, saudara Tasya telah meninggal dunia. Tubuhnya sudah mengeras dan kaku. Nisa mendekati tubuh Sashi dan mengangguk-nganggukkan kepala ketika samar-samar mencium bau bawang keluar dari mulut mayat Sashi. Hal ini juga berlaku untuk dua mayat sebelumnya. Ada bau bawang yang cukup kuat tercium dari mulut mereka. Aku menoleh ke arah Denis yang berdiri di dekatku. Entah apa yang ada di pikirannya. Tak ada reaksi sama sekali. Padahal waktu melihat mayat Ana dulu dia sampai muntah-muntah. Apa karena kali ini tidak ada darah makanya dia biasa saja? "Nis, panggil ambulan!" suruh Denis sambil menatapku dengan tajam dan dalam. Aku mengangguk. Tak lama kemudian ambulan datang. Ketiga mayat itu kini telah ditangani. Kak Tasya tak menunjukkan apapun. Hanya diam dan sikapnya begitu tenang. Pak Kardi-satpam rumah itu entah kenapa juga hanya diam. Tak ada satupun dari mereka yang memintaku memanggil polisi. Dan kini pak Kardi sengaja ikut dengan mobil ambulan seolah dia tidak ingin berada di rumah ini lagi. Denis melihatku lalu menyeret paksa aku untuk keluar dari kamar. Di depan pintu gerbang dia memberikanku sebilah pisau yang entah darimana dia dapatkan. "Tunggu 30 menit. Jika bukan aku yang keluar, bunuh saja dia!" ujarnya sambil menoleh ke dalam rumah, tempat kak Tasya berada. "Tapi..." "Kalau kamu tidak berani, lari saja sekarang. Jangan kembali apapun yang terjadi!" kata Denis memotong ucapanku. "Dengar, Nisa! Jika dia datang. Jangan melawannya. Katakan saja welcome, my lord. I was waiting you so long." Setelah mengatakan kata misteri itu, Denis mengunci pintu pagar lalu masuk ke dalam. Sendirian. Aku mengerutkan dahi. Bingung, heran dan juga kesal. Bagaimana bisa dia menyuruh seorang cewek lemah sepertiku untuk memegang sebilah pisau di depan rumah orang? Terlebih dia memintaku membunuh siapapun yang keluar dari rumah ini jika itu bukan Denis. Ngomong-ngomong, aku merasa telah melupakan sesuatu. Tapi apa? **** Denis mengunci pintu gerbang lalu pergi meninggalkan Nisa yang masih kebingungan. Cowok itu berjalan santai menuju ke dalam rumah. Di ruang tamu Tasya telah duduk menunggunya. "Jadi, bisakah kamu melepas topengmu?" tanya Denis. Tasya menoleh ke arah Denis lalu menyeringai. "Bukankah pertanyaan itu juga pantas  diajukan untukmu?" Tasya membalas. Denis terdiam. "Kamu yang membunuh mereka," ujar Denis sambil menatap langsung ke dalam mata Tasya. Tasya terdiam beberapa saat lalu mendadak jatuh terduduk. Cewek itu tiba-tiba menangis. Semakin lama tangisannya semakin keras. Denis bergeming. Wajah cowok itu masih sama, tanpa ekspresi. "Nanika," panggil Denis pelan. Mendengar kata-kata itu Tasya menghentikan tangisnya. Perlahan Tasya berdiri dari duduknya. Sorot matanya berubah dengan drastis. Auranya yang awalnya redup kini menguat. Aura kuat yang menyeramkan dan penuh dengan kegelapan. "Bukankah, aku sudah bilang padamu? It's our secret. Don't out from your line. Cz you will regret it. I was said it, right?" Denis menghela napas berat. Sorot mata cowok itu mulai berubah dari datar menjadi penuh menunjukkan keangkuhan. Cowok itu lalu berjalan pelan menuju sofa ruang tamu. "Aku tidak berniat mencampuri rencana balas dendammu atau apapun itu. Aku bahkan membuatnya tidak mengacaukan tindakanmu tadi malam. Jika aku memang berniat melawanmu, aku pasti sudah di sini dengannya sejak tadi malam." "Dia?" Tasya mengernyitkan dahinya. Tampak berpikir. Ekspresinya masih menunjukkan keraguan atas ucapan Denis. "Cewek oon itu membuatku harus melakukan segala cara untuk membuatnya tidak datang kesini sehingga rencanamu berjalan sesuai rencana. Bukankah kamu seharusnya berterimakasih padaku?" Tasya terdiam. Dia terkekeh lalu tertawa terbahak. “Tidak ada yang tahu rencanaku, kawan!” kilah Tasya tidak percaya. “Yeach, but i don’t how, she know what will you do. But, i can stop her!” jelas Denis. Tasya tersenyum kecil. "Jadi, diakah yang akan kamu bunuh selanjutnya, Brother?” Denis menyeringai. Mereka berpandangan dengan sorot mata yang menyimpan rahasia mereka sendiri. Denis menyeringai. Mereka berpandangan dengan sorot mata yang menyimpan rahasia mereka sendiri. "Jadi sejauh apa kau tahu?" tanya Tasya penasaran. "Mengenai apa? Kamu atau kalian?" jawab Denis balik bertanya. Tasya tertawa. Dia memandang Denis dengan senang seolah dia menemukan teman yang sama dengannya. "Tell me everything you know," Denis hanya tersenyum sinis. "Akan sangat merepotkan jika aku melakukan itu. Bagaimana kalau kamu bertanya dan aku menjawab?" usul Denis. Tasya semakin merasa senang, cewek itu tersenyum lebar. "Sejak kapan kamu mengenaliku? Orang-orang di rumah ini saja menganggap mereka ada dua. Tapi di rumah sakit kamu bilang 'like two but three, isn't it?'" Tasya memulai pertanyaannya. "Mudah saja. Sejak awal aku sudah merasa kau aneh. Awalnya aku berfikir kau melihat hantu atau semacamnya namun ketika aku mengikutimu dan melihat kau bicara sendiri dengan memerankan dua peran sebagai Tasya dan cewek bermata teduh, aku tahu kalau kau menjadikan dirimu dua orang. Tapi.." Denis menghentikan ucapannya, memandang Tasya. Matanya tidak menunjukkan sedikit pun keraguan. "Saat di rumah sakit, aku tidak sengaja melihatmu sedang berbicara dengan kepribadianmu yang lain lalu kepribadianmu itu berkata, 'tapi.. Kalau begini nanti dia muncul dan ngelakuin hal yang nggak kita inginkan'. Aku jadi mengerti kalian ada tiga, bukan dua!" jelas Denis. “Ah, begitu. Lalu?” tanya Tasya meminta penjelasan lebih untuk mengukur sejauh mana Denis tahu tentangnya. "Sebagai alter ego, seharusnya kamu muncul saat kepribadian utama (Tasya) tertidur, tapi kamu berbeda. Kamu telah menyimpang, sangat dominan sehingga bisa mengambil alih kesadaran Tasya kapan pun kamu mau. Aku menyadari hal ini saat kamu pertama kali masuk ke ruangan Nisa bersama Aldo. Padahal aku hanya sedikit memancingmu tapi ternyata kamu masuk dalam perangkap. Kau membuka topengmu sendiri. Kau memperkenalkan dirimu, Nanik," kata Denis panjang lebar. Cowok itu menjelaskan dengan detail untuk menjawab rasa penasaran Tasya. Tasya bertepuk tangan untuk memuji ketelitian Denis dalam menilai kepribadiannya. Karena sebelumnya, ia berhasil menipu psikiater dan orang-orang di sekitarnya. "Kamu sangat jeli dan pintar. Tak heran jika kamu sangat mahir memerankan peranmu sampai sekarang. Jadi, bagaimana kamu tahu aku membunuh mereka? Apa karena ucapan cewek SMA itu?" tanya Tasya lagi. Dia begitu penasaran sejauh apa Denis tahu mengenai dirinya. "Aku memang sangat penasaran, bagaimana Nisa bisa tahu kalau keluargamu akan mati. Tetapi sejak aku tahu dirimu, aku tidak penasaran lagi. Karena aku tahu, kamu akan membunuh mereka semua!" Tasya tersenyum miring. "Apa kamu juga tahu apa alasanku membunuh mereka?" Denis menggeleng. Cowok itu menyisir rambut bagian depannya ke belakang lalu tersenyum penuh arti. "Membunuh... Bukankah itu sangat menyenangkan? Kenapa butuh alasan untuk melakukannya?" Denis balik bertanya Tasya tergelak pelan setelah mendengar jawaban dari Denis walau sempat sedikit tertegun. "Kamu memang menarik. Tapi apakah kamu cukup smart untuk menyadari bagaimana caraku membunuh mereka?" tanya Tasya dengan senyum yang sedikit menunjukkan kesombongan. "As203 (Arsen Tri-oksida), sejenis racun yang sulit di deteksi oleh sang korban karena tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna dan bercampur sempurna dengan makanan ataupun minuman. Selain itu, sangat mudah mendapatkan racun ini. Kamu membunuh mereka dengan itu bukan?" Denis menyeringai pelan membuat Tasya semakin terkagum-kagum dengan Denis. "Great! Kamu bahkan mengetahui dengan pasti nama racun yang aku gunakan. Apa kamu sangat pengalaman membunuh orang?" sindir Tasya sedikit kesal karena Denis menebak dengan benar pertanyaannya. "Tidak juga, aku tahu karena kamu begitu ceroboh. Arsenik memang sulit dideteksi tapi tidak cukup efektif untuk menghilangkan jejak. Meski arsen hanya terdeteksi dengan otopsi tapi ada  tanda-tanda yang jelas untuk mengetahuinya. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan memakai racun ini," balas Denis menyindir Tasya. Tasya memandang tidak suka pada Denis. "Tanda apa maksudmu?" tanyanya penasaran. "Garis mee, garis horizontal di kuku Mama dan papamu adalah tanda mereka diracuni arsen. Selain itu rambut mereka rontok,  kuku mereka merapuh dan tercium bau bawang dari mulutnya. Terlebih muntahan mereka yang berwarna hijau kekuningan itu memperkuat dugaanku!" "Ah..." gumam Tasya. Cewek itu kembali bertepuk tangan. "Kamu memang cerdas. Tapi apa kaum lupa sesuatu? Aku tidak melakukan otopsi. Aku meminta Pak Kardi segera menguburkan mereka. Para pengganggu itu, seharusnya sudah lama aku menyingkirkannya!" Denis terdiam. Cowok itu terlihat kalem tapi seram pada saat bersamaan. "Kenapa? Kamu merasa ini membosankan karena aku tidak memanggil polisi?" tanya Tasya merasa heran melihat perubahan sikap Denis. "Tidak. Aku tahu kamu tidak akan memanggil polisi. Meski mereka datang, dokter akan mengatakan mereka meninggal karena muntaber akut. Karena gejala kematiannya sama. Lagipula kamu tidak akan mengizinkan mereka melakukan otopsi!" ujar Denis menyanggah ucapan Tasya. "Lalu kenapa kamu jadi diam seolah kamu kehilangan ketertarikan padaku?" Tasya bertanya lagi. "Aku kecewa padamu," jawab Denis santai. Seulas senyum tersungging di bibirnya membuat Tasya merasa diejek. "Apa maksudmu?" Tasya mulai kesal, nada suaranya meninggi. "Kamu belum membunuhnya bukan?" tanya Denis sambil menunjuk kamar tamu yang ada di depannya. "Ah.. Aldo. Cowok itu lebih smart dari dugaanku. Rupanya dia sadar aku telah meracuninya. Jadi dia hanya memakan sedikit makanannya. Tapi tenang saja, tak akan lama lagi dia akan mati. Aku bukan tidak ingin membunuhnya, hanya ingin menikmati kesakitannya lebih lama lagi!" jelas Tasya lalu tertawa geli. Tasya menghentikan tawanya beberapa detik kemudian lalu ia berjalan mendekati Denis yang masih diam di tempatnya. Cewek itu melingkarkan tangannya di leher Denis sesaat setelah berdiri di depan Denis. "Kita ini sama. Kenapa kamu tidak meninggalkan cewek SMA itu dan bersamaku saja?" bisik Tasya dengan suara manja. Denis membuang napas kasar. Bruk!! "Argh..." Tasya melenguh pelan sebelum akhirnya jatuh tersungkur di depan Denis. Rupanya, Denis telah mendaratkan sebuah tinju tepat di ulu hati Tasya sehingga gadis itu langsung pingsan tak sadarkan diri. "Sama katamu? Kamu bahkan bukan tandinganku," ujar Denis dengan sinis. Denis mendecih ke arah Tasya sebentar sebelum memandang kamar di depannya lalu  menyeringai penuh arti. Denis melangkah santai menuju gerbang, membuka pintu gerbang dan segera menghindar ketika sebilah pisau muncul secara tiba-tiba di hadapannya. "Minggir! We....wel...co....me.." Denis tersenyum geli melihat Nisa sedang berdiri di depannya dengan mengacungkan pisau yang tadi diberikan olehnya dengan kedua tangan. Mata cewek itu tertutup dan tangannya gemetaran. Sepertinya dia mengira Tasya yang keluar. "Ini aku oon," ujarnya lembut. Nisa membuka matanya perlahan lalu tersenyum bahagia dan penuh haru saat melihat Denis. Ia buang pisau di tangannya dengan segera lalu memeluk Denis dengan erat. "Huwa... Denis.. Lama amat sih! Aku khawatir. Aku takut kamu mati!" kata Nisa cemas, bahkan ia menangis. Denis membelai lembut rambut Nisa. "Maaf ya." Nisa mengangguk. Cewek itu semakin memperat pelukannya. Tiba-tiba dua mobil polisi datang dan berhenti di depan rumah Tasta. Seorang cewek turun dari mobil, menghampiri Nisa dan Denis yang masih berpelukan. "Kalian nggak apa-apa?" tanya cewek itu dengan cemas dan panik. Nisa melepas pelukannya dari Denis lalu beralih memeluk cewek di depannya. "Huwa... Mia..." rengeknya lalu tangisnya pun tumpah. Mia menghela napas lega melihat Nisa dan Denis baik-baik saja. Meski sempat merasa cemburu karena melihat sahabatnya Nisa memeluk gebetannya, Denis. Seminggu kemudian kepolisian pun menangkap dan memutuskan Tasya sebagai tersangka dalam insiden pembunuhan keluarganya setelah dilakukan otopsi untuk keempat korban. Tiga di antaranya positif meninggal karena racun arsen sedangkan seorang lagi ditemukan tewas karena lehernya patah. Mempertimbangkan kondisi jiwa Tasya, gadis itu tidak dipenjara. Ia dimasukkan ke ruang isolasi di sebuah rumah sakit jiwa tempatnya dirawat. Pak Kardi, satpam rumah itu mengakui kalau dia sudah tahu mengenai penyakit DID (Dissociative Identity Disorder) atau sindrom kepribadian ganda yang diderita Tasya. Tetapi karena permintaan majikannya, dia terpaksa merahasiakan dan bersikap biasa saja jika kepribadian Tasya yang lain muncul. Dengan demikian, kasus Tasya pun ditutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD