AUTHOR’S POV
Sebuah guyuran air membangunkan Mia, cowok itu menyeretnya ke halaman belakang. Sebuah kolam renang membentang di depannya.
"Pancing dia kesini maka akan aku tukarkan nyawamu dengannya."
Mia hanya menangis. Cowok di hadapannya sedang menyuruhnya memilih, antara hidupnya atau hidup cewek yang ada di depannya. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
"Jadi apa jawabanmu, Mia?" tanya cowok itu sambil memegang dagu Mia.
Mia tertunduk. Ia tak kuasa memilih. Baginya nyawanya ataupun nyawa cewek yang fotonya sedang ia lihat-sangatlah berharga. Bagaimana mungkin dia mengorbankan nyawa cewek itu untuk menggantikannya?
"Kenapa kamu melakukan ini? Apa salahku padamu?" tanya Mia dengan airmata yang terus keluar seolah ini adalah hari terakhir ia menangis.
"Tidak ada. Aku hanya mewujudkan keinginanmu untuk bisa bahagia. Aku tahu rasanya hidup dalam keadaan broken home. Aku akan membantumu kembali utuh dengan keluargamu."
Mia terdiam. Selama ini dia selalu menunjukkan sisi cerianya bahkan cewek yang dia anggap sahabat pun tidak tahu soal keadaan keluarganya. Bagaimana bisa cowok ini mengetahuinya? Mia sangat bingung mengapa semuanya bisa begini.
"Pancing dia kemari. Jika kau memilih nyawamu, aku akan membunuhnya di hadapanmu." kata cowok itu tegas, tak ada sedikit pun keraguan di ucapannya.
"Jika kau memilih menyelamatkannya, aku akan membiarkanmu memilih sendiri caramu untuk mati." cowok itu menimpali.
Mia terdiam. Cukup lama ia berpikir hingga akhirnya ia membulatkan tekadnya. Ia mengambil napas dalam lalu sembari menghapus airmatanya, ia berkata:
"Bisakah kamu mengabulkan dua permintaan terakhirku?" Mia menatap tajam ke arah cowok di hadapannya.
Cowok itu memandang mata Mia. Disana tak ada sedikit pun ketakutan ataupun keraguan. Cewek itu telah menentukan pilihannya.
"Apa permintaanmu itu?" tanyanya penasaran.
"Pertama, aku yang akan mengatur semua skenario pembunuhan ini. Kedua, jangan biarkan dia mati."
"Hanya itu?"
Mia mengangguk.
"Kalau begitu, apapun rencananya, aku akan menyerahkannya padamu."
Cowok itu berdiri. Ia melepas ikatan Mia dan melangkah pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti. Dia membalikkan badannya lalu berkata:
"Jika kau mencoba mengkhianatiku, aku akan membunuh kalian berdua." Ujarnya memperingatkan.
Mia tertunduk. Ia memandang foto yang terpampang di layar handphonenya. Ia tersenyum getir dengan air mata yang bercucuran.
"Selamat tinggal, Nisa."
***
NISA’S POV
Sudah seminggu berlalu sejak kematian Mia dan aku belum bisa menghentikan air mata yang selalu saja menetes setiap kali aku mengingatnya. Rasanya baru kemarin aku bersamanya dan kini dia telah tiada.
Aku sungguh tidak menduga, Mia akan tega melakukan itu. Membunuh keluarganya lalu bunuh diri hanya karena ia ingin keluarganya tetap bersama. Mia yang aku kenal bukan orang yang seperti itu. Aku tidak tahu lagi bagaimana caraku untuk bisa menerima semua ini. Rasanya, ada sesuatu yang janggal. Tapi apa? Aku belum menemukan jawabannya.
Kepolisian yang menangani kasus Mia membenarkan bahwa di tubuh orang tua Mia, hanya ada sidik jari Mia. Pengakuan Mia padaku dan Denis bahwa dia pelakunya juga membuat penyelidikan ditutup. Karena pelaku dalam kasus ini-yang tak lain adalah Mia telah meninggal. Kata-kata yang ia lontarkan padaku tentang 'my lord help me to be the God', masih mengusikku. Kata lord ini sungguh menggangguku. Siapa dia sebenarnya?
Awalnya aku mencurigai Denis tetapi penjelasannya dan juga sikapnya selama ini kepadaku membuatku meragukan hipotesisku sendiri. Jika dia bukan pasien DID, lalu apa yang bisa menjelaskan soal perubahan sikapnya saat itu? Radit itu siapa? Benarkah dia hanya berpura-pura sebagai Radit? Apakah benar dia menjadi Radit secara sadar? Jika benar begitu, dia pantas mendapatkan piala oscar.
Ferdi juga aneh. Jika benar dia adalah panglima yang Denis maksud, lalu kenapa dia bilang ingin melenyapkan Denis? Apa karena dia tidak ingin Denis-tapi Radit? Mereka dua orang yang sama'kan? Lalu kenapa harus memilih salah satunya jika bisa memiliki keduanya dalam satu wujud? Ah.. Kepalaku sakit.
"Nisa." Denis memegang tanganku.
Aku hanya meliriknya lalu kembali memejamkan mata.
Seminggu ini aku tidak masuk sekolah. Hanya berdiam diri dalam kamar. Menangis dan merenung. Hanya itu yang aku lakukan.
Setiap pulang sekolah Denis akan ke rumah. Menemaniku di kamar tanpa berusaha menghiburku. Terkadang ia hanya duduk di ruang tengah bermain catur dengan ayah. Aku semakin bingung, Denis itu orang baik atau jahat?
Hari ini, dia kembali menemuiku. Sekadar memastikan aku baik-baik saja.
"Aku datang kesini untuk memberitahumu. Aku akan pergi selama beberapa hari."
Mendengar ucapannya aku kembali membuka mataku. Kaget. Aku bangkit dari tidurku dan menatapnya dengan serius.
"Kemana?" tanyaku penasaran.
"Amerika," jawabnya sambil tersenyum karena berhasil membuatku bicara dengannya setelah sekian lama kami hanya saling diam.
"Untuk apa?" tanyaku lagi.
"Urusan keluarga. Apa kau mau ikut?" tanyanya setengah bercanda.
"Tidak." Aku menolak tegas lawakannya.
Denis mendekatiku. Ia duduk di samping tempat tidurku.
"Selama aku pergi jangan membuat masalah, jangan dekati Ferdi dan jangan terlibat kasus pembunuhan. Mengerti?" katanya memberiku nasehat.
Aku mengangguk mengiyakan nasehatnya.
"Kapan kau pergi?" tanyaku sambil menatap cowok di hadapanku dengan seksama. Entah kenapa rasanya aku tidak rela dia pergi.
"Nanti sore. Besok kembalilah ke sekolah. Berhenti jadi cewek keras kepala. Ok?" Katanya lagi membuatku kesal karena dia menasehatiku seenaknya. Padahal hari itu-aku sudah berniat membunuhnya. Bagaimana bisa dia sebaik ini?
Denis mengelus kepalaku lembut lalu berdiri. Sebelum meninggalkan kamarku ia berbalik dan memandang wajahku lama sekali.
"Nisa, seandainya suatu hari nanti aku berniat membunuhmu. Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan-antara kesedihan dan kesungguhan.
Aku terdiam mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Apa dia bersungguh-sungguh? Atau ini hanya balasan karena aku menodongkan pisau padanya waktu itu?
Aku mendesah pelan lalu tersenyum ke arahnya.
"Aku akan melawanmu!" jawabku tegas membuat Denis tersenyum lebar. Sepertinya dia menyukai jawabanku.
Aku rasa siapapun di dunia ini akan membela diri jika nyawanya terancam. Begitu pula aku. Jika suatu saat nanti Denis ingin membunuhku, aku akan melawannya. Tapi sepertinya itu mustahil, jika dia memang berniat begitu seharusnya dia melakukannya dari dulu. Karena ada banyak kesempatan dia bisa melakukannya.
"Aku pergi. Jaga dirimu!" pamit Denis lalu pergi meninggalkanku sendiri yang masih tidak mengerti dengan dirinya.
Denis, siapa kamu sebenarnya?
***
Hari ini aku kembali ke sekolah. Meskipun hatiku masih merasakan sakit saat aku melihat bangku Mia yang kosong, aku harus melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa selamanya berduka.
Untuk menjaga nama baik Mia dan juga sekolahku, kematian Mia dan keluarganya diberitakan sebagai kasus perampokan yang berujung kematian. Dengan begitu, semua orang tidak akan tahu tentang kebenaran dibalik kasus ini. Walaupun kebenaran ini menyakitkan, aku setuju merahasiakannya. Karena aku mau nama baik Mia dan keluarganya tetap baik di mata orang lain.
Sekolah sungguh membosankan tanpa Mia. Ditambah lagi Denis tak ada. Entah karena merindukan Mia atau karena kesepian, aku sedikit merindukan cowok k*****t itu.
Aku biasanya mengobrol dengan Mia saat di kelas, pulang sekolah bersama, makan bersamanya di kantin sekolah. Kalaupun Mia tidak bisa, masih ada Denis yang menemaniku. Terkadang kami bahkan duduk bertiga di kantin. Ah, sungguh moment yang sangat indah dan menyedihkan. Karena sekarang itu tidak akan terjadi lagi.
Aku menghela napas memandang bangku kosong di depanku. Sekarang aku dikantin, seorang diri. Begitu sunyi dan menyedihkan disini. Aku merindukan mereka-Mia dan Denis.
"Nisa."
Sapaan tak terduga itu mengejutkanku. Aku menoleh dan Ferdi sudah berdiri di sampingku.
"Boleh aku duduk denganmu?" tanya Ferdi ramah.
Aku terdiam. Memang, aku sudah berjanji tidak akan mendekati Ferdi pada Denis tetapi.. Tunggu! Bukankah saat ini Ferdi yang mendekatiku, bukan aku? Jadi, tidak masalah kan?
Aku mengangguk. Ferdi pun segera duduk di sampingku. Ia tersenyum dan aku baru menyadarinya, dia tampan.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya berbasa-basi.
Aku tahu dia tidak mengkhawatirkan aku. Dia pasti ingin membicarakan sesuatu.
"Aku sudah baikan. Terimakasih sudah bertanya." jawabku tulus.
"Nisa," panggilnya lirih.
"Ya?"
"Apa kamu sangat mempercayai Denis?" tanya Ferdi sambil menatapku langsung. Dalam jarak sedekat ini pun dia sama sekali tidak membuatku takut.
"Aku mencoba percaya padanya. Meski aku belum tahu Radit itu siapa. Apakah itu alter ego-.."
"Nisa!" potong Ferdi tiba-tiba membuatku terkejut.
"Ada apa sih?" kataku merasa kesal.
"Kamu menganggapnya mengidap DID?" tanya Ferdi dengan wajah serius. Sepertinya aku sudah membuat pemikiran yang salah.
Aku mengangguk.
Ferdi terdiam. Dia menghela napas berat dan menatapku dengan perasaan yang entah bagaimana seperti suatu perasaan empati dan rasa iba.
"You were fell down to the his game's circle!"
"Hah?" Aku tidak mengerti ucapanku.
"Aku tidak akan memberitahumu saat ini. Tapi sebagai gantinya, aku akan memberikanmu petunjuk!" ujar Ferdi sambil tersenyum.
Ferdi mengeluarkan lima buah dadu. Ia meletakkan kelima-limanya di telapak tangan kanannya. Ia kemudian meletakkan tangan kirinya diatas telapak tangan kanannya. Perlahan-lahan ia mulai menarik tangan kirinya ke bawah dan kini di telapak tangan kanannya hanya tertinggal satu dadu. Ia memandangku dengan tatapan yang seolah berkata,'seperti inilah Denis'.
"Lho? Kok bisa?" tanyaku heran.
Ferdi hanya tersenyum, tidak memberiku jawaban apapun. Cowok itu lantas bangkit dari duduknya.
"Cz everyone just wanna see what they wanna see."
Setelah mengatakan kata misteri itu, Ferdi menyentuh lembut puncak kepalaku. Entah kenapa aku tidak merasa takut lagi dengannya.
Ketika ia berjalan menjauh, entah kenapa aku melihatnya sebagai seorang malaikat yang sengaja melangkah dalam kegelapan untuk bisa terus hidup. Apa kamu seperti itu, Ferdi?
***
Aku menghela napas berat, hari ini aku kembali sendirian. Si cowok k*****t belum kembali sedangkan si cowok horror sejak kemarin mengabaikanku. Bagus sih, jadi aku tidak perlu menghindarinya tetapi entah kenapa jadi kesepian.
Selama dua hari ini tidak ada yang terjadi, sepertinya hidupku kembali normal. Aku merasa menjadi cewek biasa seperti yang lain. Walaupun tetap saja aku tidak punya teman akrab yang bisa aku ajak ngobrol seperti Mia.
Ah.. Aku kembali mengingatnya.
Prangg.
Suara piring pecah itu mengangetkanku. Aku menoleh ke sumber suara.
Seorang cewek yang menurutku berpenampilan agak katrok-tengah membereskan piring yang pecah. Makanannya sepertinya jatuh. Tiga orang cewek berdiri di hadapannya dengan berkecak pinggang.
"Eh, hati-hati napa kalau bawa makanan. Pecah kan jadinya." Kata seorang cewek angkuh.
Aku mengenalnya. Dia Tia, anak satu-satunya dari kepala sekolahku. Orangnya sih biasa saja cuma sombongnya itu berkubik-kubik.
"Iya nih, katrok. Bawa makanan aja nggak becus. Dasar nggak guna." Seorang cewek di samping Tia menimpali.
Nama cewek itu Lusi, pengikut setia Tia yang selalu mengekor kemanapun Tia pergi. Bisa dibilang sih benalu yang nggak kelihatan. Orangnya rada cantik, tetapi ember parah alias nggak bisa jaga rahasia.
"Idih, nangis lagi. Pulang aja kau ke ibu-bapakmu. Dasar cengeng." Seorang cewek lain lagi ikutan gabung.
Cewek itu Amanda, anak salah satu guru di sekolahku. Orangnya tinggi dan kurus. Wajahnya manis tapi kelakuannya bikin miris. Kalau bicara, sinis banget.
Ya, kira-kira begitu info yang aku dapat dari Mia dulu. Mereka menyebut nama geng mereka sebagai geng three angels. Walau sebenarnya lebih cocok three demons.
Aku tidak sekelas dengan mereka. Aku juga tidak berharap aku sekelas dengannya. Aku lebih baik terjebak dengan Denis meski harus saling membunuh daripada harus berurusan dengan mereka. Karena aku tidak akan bisa menang melawannya.
Tiara Hermansyah, anak dari kepala sekolah. Lusiana Purnama Sari, anak dari guru killer bahasa Indonesia, bu Fatma. Sedangkan Amanda Giel, ayahnya pengusaha batu bara yang kaya raya. Aku? Ayahku cuma guru honorer yang keuangannya nggak stabil. Tapi aku bahagia memilikinya. Setidaknya, aku masih punya ayah yang sayang padaku.
Mereka bertiga terus saja membulli Ratna, cewek yang berpenampilan memang sedikit katrok itu. Aku tidak tahu apa-apa soal dia. Yang pasti, bukan rahasia lagi kalau dia disebut pikachu-nya geng three angels.
Aku kasihan padanya tetapi akan sangat merepotkan melawan mereka bertiga. Jadi, aku memilih berdiam diri. Walau itu pengecut sekali.
"Hentikan!"
Suara itu membuat ketiga member three angels itu terdiam. Aku menoleh dan ternyata itu si cowok horror.
"Apa sih, kamu itu cuma murid pindahan. Nggak usah ikut campur deh." Ujar Tia kesal. Baru kali ini ada yang berani melawannya.
Ferdi mengacuhkan Tia. Dia malah sibuk membantu Ratna. Ia membantu cewek itu berdiri. Tia yang melihat itu terlihat sangat geram. Ia nyaris menampar Ferdi tetapi cowok horror itu ternyata pandai bertarung. Tanpa melakukan apapun, hanya suatu dorongan kecil Tia telah jatuh tersungkur.
Kedua rekan Tia membantunya berdiri. Tia makin geram. Wajahnya merah padam menahan rasa malu dan marah yang bercampur menjadi satu.
"Awas kau. Aku pasti akan membalasmu!" Ancam Tia.
Tia dan kedua pengiringnya pergi meninggalkan kantin. Aku menatap Ferdi dan samar-samar aku lihat dia tersenyum ke arahku. Apa itu hanya perasaanku saja?
***
Sejak kejadian di kantin, Ratna sepertinya menjadi fans dadakan Ferdi. Sudah dua hari aku melihat bunga mawar di atas bangku Ferdi setiap pagi. Meski tidak ada inisial pengirimnya tetapi kelakuan Ratna yang kegirangan saat Ferdi datang dan mengambil bunganya membuatnya terlihat jelas.
Ratna juga semakin mirip stalker karena setiap saat selalu mencuri kesempatan untuk mengikuti Ferdi walau tetap menjaga jarak. Aku yakin pasti cowok horror itu sedang menyesali keputusannya menolong Ratna.
Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam urusan mereka namun si Ratna ini sudah mengusikku.
Setiap hari meski aku tidak ingin, aku melihatnya sedang stalking. Ketika aku datang ke sekolah, ia sudah dibangku Ferdi nyium-nyium bunga dengan ekspresi nge-fly yang membuatku eneg. Setiap mau ke kantin, dia duduk di dekatku berpura-pura bicara padaku padahal lagi mengintip Ferdi pakai teropong yang entah ia dapat darimana. Parahnya, dia selalu bicara padaku tentang Ferdi meski aku tidak mendengarkannya sama sekali. Sama seperti sekarang, ia sedang mengomentari penuh nafsu foto-foto update-an Ferdi di akun sosmednya. Benar-benar maniak parah.
"Eh... Nis-..."
***
Samar-samar aku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di balkon lantai tiga. Dia menatap ke bawah dengan ketakutan. Aku bisa mendengar suaranya tetapi aku tidak melihat jelas wajah cewek itu.
Ia menoleh ke belakang, seolah sedang bicara dengan seseorang. Dari gerakan bibirnya, ia seolah berkata 'ampuni aku'. Lalu sebuah tangan datang mendorongnya. Cewek itu terjun bebas ke bawah.
Braakkk.
Darah segar merembes dari kepalanya. Karena posisi kepalanya yang jatuh lebih dulu cewek itu meninggal seketika. Matanya terbelalak menatapku.
Saat itu aku tahu, kalau cewek yang meninggal itu adalah Ratna