Deg!
"Hei, Nisa. Nisa!" Ratna menggoyang-goyangkan lenganku.
"Hah?" kataku setengah sadar. Mendadak kepalaku sakit.
"Kamu kenapa?" tanya Ratna merasa khawatir.
Aku menelan ludah lalu menatap cewek di depanku. Entah kenapa aku jadi teringat pada Mia. Jika memang tiga hari dari hari ini Ratna akan meninggal, aku harus mencegahnya. Kali ini aku harus berhasil. Harus. Aku tidak boleh membiarkan Ratna meninggal seperti Mia. Tidak!
"Ratna, kamu mau berteman denganku?"
Ratna melihatku heran. Ia seolah tak percaya aku yang selama ini menunjukkan ekspresi terganggu akan kehadirannya mendadak mengajaknya berteman.
"Tentu!" jawabnya yakin.
Ratna tersenyum lebar sepertinya ia sangat senang. Aku membalas senyumannya. Tulus. Aku benar-benar ingin menyelamatkannya.
Berdasarkan pada penglihatanku, maka ada beberapa point yang bisa jadi petunjuk. Pertama, Ratna akan mati di sekolah. Karena dia masih memakai seragam dan TKP (Tempat Kejadian Perkara)-nya berada di sekolah lantai tiga. Kedua, ia tidak bunuh diri tapi dibunuh. Ketiga, selama ia selamat di sekolah, ia akan baik-baik saja.
Karena alasan itulah selama dua hari ini aku selalu menemani Ratna. Aku pun mulai mengetahui tentang latar belakang Ratna.
Ratna Dewi adalah seorang cewek yang masuk ke sekolahku dengan beasiswa. Meskipun dia tidak ahli dalam akademik, ia jago dalam berenang. Beberapa kali ia memenangkan kejuaraan renang dan membanggakan sekolah. Meski aku baru tahu karena aku termasuk murid yang telsi (Telat Informasi).
Ratna tinggal di panti asuhan. Dia seorang anak yatim piatu. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia sejak dia berumur tiga tahun. Ratna juga meluangkan waktunya untuk bekerja sebagai penjaga counter handphone di malam hari. Sungguh kehidupan yang keras bagi seorang Ratna. Padahal di sekolah, dia diperlakukan tidak adil. Sekarang, aku malah harus melihat dia akan mati. Ironis memang, tapi begitulah hidup.
Dua hari sudah berlalu dan hari ini adalah hari H. Selama dua hari ini aku tidak melihat hal aneh. Aku selalu menemani dan mengawasi Ratna. Ketika dia tiba di sekolah, aku orang pertama yang menyapanya. Aku menemaninya ke kantin dan bahkan mengantarnya pulang. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja. Namun aku tak menemukan suatu kejanggalan atau orang yang mencurigakan.
Apa penglihatanku kembali meleset? Ah.. Aku harap tidak.
"Nisa, aku pulang dulu ya. Hari ini tidak usah mengantarku. Aku akan pergi ke suatu tempat," ujar Ratna ketika seperti biasa aku ingin mengantarnya pulang.
"Kemana?" tanyaku.
"Aku mau membelikan kue untuk adikku. Hari ini dia ulang tahun," jawabnya sambil tersenyum.
Aku lega mendengar jawabannya. Dia akan ke toko kue itu artinya dia tidak akan ke sekolah. Dia akan baik-baik saja.
"Mau aku antar?" tanyaku menawarkan diri untuk menemaninya.
"Tidak usah. Lagipula beberapa hari ini kamu harus bolak-balik karena mengantarku pulang. Padahal rumahku dan rumahmu berbeda. Pulanglah. Nanti aku kabari jika aku sudah di rumah." katanya menolak ajakanku dengan sopan.
Aku mengangguk, menuruti keinginan Ratna.
"Kalau begitu aku pulang ya. Jaga dirimu dan hati-hati di jalan. Sampaikan salamku pada adikmu!" ujarku panjang-lebar.
"Iya, sampai jumpa besok ya!" katanya sambil tersenyum
"Ok. Sampai besok." sahutku sambil berlalu meninggalkan Ratna.
Ratna melambaikan tangan padaku. Akupun membalas lambaian tangannya.
***
Pagi ini aku sangat mengantuk. Semalaman aku tidak bisa tidur. Ratna tidak ada kabar. Aku sudah menghubunginya tapi ia tak juga menjawab. Aku sangat khawatir. Aku ingin ke rumahnya tadi malam tapi ayah melarang.
Aku melangkahkan kaki ke sekolah dan di pintu gerbang aku melihat seseorang yang aku kenal. Juga aku rindukan, sedikit. Aku berlari ke arahnya dan tanpa sadar langsung melompat memeluknya.
"Denis...!!!"
Denis menangkapku. Ia membalas pelukanku. Setelah cukup lama, aku melepas pelukanku.
"Kangen ya?" kata Denis menggodaku.
"Ho'oh," jawabku dengan jujur membuat Denis kaget karena aku mengiyakan godaannya.
"Jangan naksir aku ya. Sainganmu banyak!" katanya sambil merangkulku.
Ah.. Entah kenapa aku sangat senang dan merasa lega setiap kali Denis bersamaku. Aku merasa akan baik-baik saja selama bersamanya.
"Ah, kamu sudah lihat? Sungguh mengerikan."
"Aku tidak menyangka akan begini."
"Apa kamu merasa itu salah kita?"
"Apa aku terlalu kejam padanya?"
"Kasihan sekali dia. Nggak tega."
"Ngeri banget ya."
Desas-desus dari banyak murid yang aku lewati membuatku resah. Ada kerumunan di depan gedung kelas XII. Gedung itu terdiri dari tiga lantai dan kini di depannya dipenuhi murid dan guru sehingga tidak kelihatan apa yang terjadi. Sebenarnya apa yang sedang mereka lihat?
Aku menyeret Denis untuk mendekat. Rasanya ada yang aneh.
Deg!
Kakiku mendadak lemas. Ratna telah terbaring di jalan beton yang keras. Sama dengan penglihatanku, kepalanya sedikit penyok. Darah memenuhi seluruh tubuhnya. Kakinya patah dan beberapa bagian mukanya hancur. Airmataku menetes dan aku melihat kue tart hancur di samping mayatnya.
Denis meraihku. Cowok itu memelukku dan ia menutup mataku dengan tangan kanannya yang halus dan kekar itu. Seolah dia tak ingin aku melihat mayat itu lebih lama. Dia seakan mengerti kalau aku mengenal mayat yang ada di depanku.
Denis tiba-tiba bangkit. Ia mendekati mayat Ratna. Cowok itu menatap ke atas, ke balkon lantai tiga. Denis memandangku dan ia segera membawaku masuk ke dalam gedung. Ketika aku dan Denis masuk, polisi baru saja datang. Mereka segera mengamankan TKP.
Denis berlari ke atas meninggalkanku sendirian. Ketika aku menyusulnya, ia sudah memegang sebuah surat di tangannya. Di dekatnya, tepat di balkon-yang ada di penglihatanku ada sepatu Ratna. Aku sudah mengamatinya selama ini, jadi aku tahu persis itu sepatu milik Ratna.
"Denis itu apa?" tanyaku penasaran.
"Surat wasiat Ratna," jawabnya lirih.
Aku mengambil surat itu darinya kemudian membaca surat wasiat itu.
[ Teruntuk temanku yang baik.
Ini adalah pesan dari hati.
Aku merasa diperlakukan tak adil.
Rasanya semua yang kulakukan selalu dianggap gagal.
Aku memilih untuk bungkam.
Hari ini aku memilih "die".
RATNA.D ]
Aku tertegun.
Pesan apa ini? Bagaimana bisa dia bunuh diri seperti Mia? Dasar bodoh.
"Jadi dia bunuh diri? Itu tidak mungkin. Kemarin dia bilang mau merayakan ulang tahun adiknya. Dia bilang padaku sampai jumpa besok. Lantas kenapa? Kenapa dia bunuh diri? Jika dia ingin mati, kenapa dia melakukan itu hah? Denis, ak-." Aku lepas kendali. Sesak rasanya mengetahui keadaan ini.
Denis tidak mengatakan apa-apa, hanya mengamati surat wasiat itu dengan seksama. Lalu tiba-tiba dia memegang kedua lenganku. Dengan sorot mata yang tajam, dia bertanya padaku.
"Nisa, apa itu tulisan Ratna?" tanya Denis dengan wajah serius.
Aku melihat baik-baik tulisan itu. Aku mencocokkannya dengan tulisan di buku catatan Ratna yang aku pinjam. Aku lakukan berkali-kali dan hasilnya 99,99 % cocok.
"Iya, ini tulisan Ratna!" jawabku memastikan.
"Kalau begitu, dia benar-benar dibunuh." ujar Denis sambil menatap lurus ke arahku.
Aku terkejut mendengar ucapan Denis.
"Apa maksudmu?" tanyaku penasaran.
"Di surat itu dia sudah mengatakan siapa pembunuhnya." ujar Denis sambil tersenyum.
"Dibunuh?"
Aku berdiri mematung. Ratna dibunuh? Bagaimana bisa? Ini salahku. Ini salahku. Aku tidak bisa menyelamatkannya.
Aku menangis sejadi-jadinya. Denis hanya berdiri di depanku. Ia membiarkanku menangis sesuka hatiku, mengeluarkan seluruh kesedihan dan rasa sesak yang memenuhi relung jiwaku.
Tak lama setelah tangisku mereda, Denis mendekatiku lalu memelukku.
Dengan suara samar, dia berkata:
"Siapapun yang membuatmu menangis, ia akan membayarnya seribu kali lipat."
Aku tertegun mendengar pernyataannya. Aku rasa, aku telah benar-benar bergantung padanya.
"Sorry ngeganggu syuting drama Korea kalian. Tapi aku butuh surat wasiatnya." Ferdi telah berdiri dibelakang kami.
Aku melepas pelukan Denis dan melihat ke arah Ferdi. Cowok itu mendekat dan ia meminta surat wasiat Ratna pada Denis. Tanpa aku duga Denis langsung memberikan surat itu pada Ferdi. Padahal aku kira mereka akan bertengkar lagi.
Ferdi menerima surat wasiat itu dan membacanya sekilas. Dahinya berkerut lalu kemudian dia menyeringai. Aku merasa heran dengan sikapnya itu.
"Dia dibunuh." Ferdi menghela napas kasar.
"Eh? Kamu juga udah tahu pelakunya?" tanyaku kaget, setengah tidak percaya.
Ferdi mengangguk.
"Kok bisa? Kalian berdua sekilas langsung tahu. Siapa? Siapa yang membunuh Ratna? Akan aku balas." Kataku dengan geram.
"Benarkah akan kamu balas?" Denis menatapku.
"Apa kamu mau aku membunuhnya juga?" Dia menimpali.
Aku menelan ludah pahit. Tatapan matanya serius dan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia sedang bercanda.
"Aku akan membantumu untuk kali ini." Ferdi memberikan dukungan.
Apa-apaan mereka ini? Aku merinding dengan aura yang mereka perlihatkan sekarang. Apa membunuh semudah itu hingga mereka mengatakan kata itu dengan mudah dan tanpa beban?
"Maksudku bukan membunuh pelakunya, tetapi menangkapnya dan memasukkannya ke penjara." Kataku mencoba memperbaiki kata-kataku.
"Kamu yakin hanya akan memasukkannya ke penjara? Nisa, yang mati adalah temanmu." Denis mencoba meyakinkanku.
"Kamu tidak akan punya kesempatan untuk membunuh pelakunya lagi selain ini. Jika aku jadi kau, aku akan membunuhnya." Ferdi menimpali ucapan Denis.
Aku menatap mereka berdua. Tatapannya seram dan menakutkan seolah jika aku terlalu lama melihatnya, aku akan terhisap kedalamnya.
"Membunuhnya terlalu mudah. Aku ingin dia menderita sampai mengharapkan kematian." Aku menatap Denis dan Ferdi.
Entah kenapa tatapan mereka membuatku berfikir seperti itu. Ratna sudah menderita selama ini dan kini dia mati. Kematiannya akan dianggap sebagai bunuh diri padahal dia dibunuh. Aku tidak ingin pelakunya bebas dari semua ini. Setidaknya dia harus dihukum.
"Wah.. kau memang cewek yang tepat untuk Denis!" kata Ferdi lalu terkekeh pelan.
Dari nada bicaranya sepertinya ia sedang setengah mengejek dan memujiku dalam waktu yang bersamaan.
"Sebaiknya kita segera pergi. Sebentar lagi polisi akan kesini." Ferdi memperingatkan kami.
Aku dan Denis segera meninggalkan tempat itu setelah meletakkan kembali surat wasiat Ratna. Kami akan melihat dulu apa yang polisi katakan tentang kasus ini. Jika memang mereka menganggap ini pembunuhan dan berhasil menangkap pelakunya, kami sepakat berdiam diri. Tetapi jika tidak, kami yang akan menghukum sendiri pelaku pembunuhan Ratna.
***
Kasus Ratna masih dalam tahap penyelidikan. Karena hal ini pula kelas dibebaskan. Mayat Ratna telah dievakuasi. Dugaan sementara Ratna bunuh diri karena ditemukan surat wasiat di dekat sepatunya. Namun pihak kepolisian juga mencurigai ini sebagai kasus pembunuhan karena ditemukan beberapa kejanggalan.
Kejanggalan yang dimaksud adalah telpon Ratna pada kepala panti kalau dia akan pulang telat karena masih akan membelikan kue untuk merayakan ulang tahun adiknya. Selain itu, kesaksianku yang mengatakan Ratna baik-baik saja dan tak menunjukkan tanda frustasi juga menjadi bahan pertimbangan. Karena tidak mungkin orang yang bunuh diri masih merencanakan sesuatu jika dia ingin mati.
Selain aku, pihak kepolisian juga meminta keterangan dari Ferdi, cowok yang beberapa hari ini dikuntit Ratna. Tentu saja, three angels, geng pembully Ratna juga diperiksa. Tia, Lusi dan Amanda. Namun mereka kompak menjawab kalau mereka tidak mengganggu Ratna lagi sejak Ferdi membelanya.
Sekarang kami bertiga sedang di kantin, aku, Denis dan Ferdi. Kami akan membahas mengenai 'keputusan akhir' untuk kasus kali ini. Akan tetapi aura mereka membuatku seperti semut di tengah gedung raksasa. Kedua cowok aneh itu sedang duduk berhadapan seolah mereka sedang melakukan perang dingin. Denis duduk di sampingku sedangkan Ferdi di depanku.
"Jadi, siapa pelakunya?" tanyaku memecah keheningan.
Ferdi menatap Denis, lalu Denis menghela napas berat.
"Oon, akan aku kasih petunjuk aja ya," ujarnya dengan agak malas.
Aku mencibir Denis.
Dia pikir aku seoon apa sih sampai malas nerangin?
"Ambil huruf pertama dan terakhir tiap kalimat lalu susun secara vertikal. Kau akan menemukan pesan kematian Ratna."
Aku mengamati surat wasiat Ratna yang tadi sempat aku foto. Aku berpikir sejenak. Jika petunjuknya begitu maka....
[ Teruntuk temanku yang baiK.
Ini adalah pesan dari hatI.
Aku merasa diperlakukan tidak adiL.
Rasanya yang aku lakukan selalu dianggap gagaL.
Aku memilih bungkaM.
Hari ini aku memilih "diE". ]
"Jadi, apa kamu menemukan jawabannya?" tanya Ferdi penasaran karena aku tiba-tiba diam.
"Bisakah kita membunuhnya tanpa ketahuan?" ucapku lirih.
Denis dan Ferdi agak terkejut mendengar pernyataanku. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.
"Nisa, kamu yakin?" tanya Denis memastikan.
"Kamu akan menyesal jika melewatkan ini," ujar Ferdi memastikan aku tidak mengubah keputusanku.
Aku memandang Denis dan Ferdi dengan air mata yang sudah menumpuk. Entah kenapa dadaku sesak dan merasakan kebencian yang teramat sangat.
"Aku tidak ingin dia mati dengan mudah. Aku ingin dia sendiri yang menginginkan kematian itu. Bisakah kalian melakukan itu?"
"Itu sangat mudah bagiku," katanya lantas berdiri.
"Aku akan mengaturnya untukmu. Jangan menyesal. Karena aku tak akan mengampuninya." Dia menimpali ucapan rekannya.
"Bagaimana Nisa, apa kamu yakin akan membunuhnya?" tanyanya sekali lagi. Memastikan aku tak akan ragu atau mengubah keputusanku nanti.
"Apa kamu tidak keberatan jika aku menggunakan cara yang aku suka untuk melakukannya?" Cowok itu bertanya dengan senyum seolah ini adalah permainan yang menyenangkan.
Aku membisu. Ada sedikit keraguan tetapi bagaimanapun aku harus menemukan jawaban.
Aku menatap Denis dan Ferdi sekali lagi. Dengan tegas aku menjawab pertanyaan mereka.
"Mari kita biarkan dia hidup dalam kematian!"
Denis dan Ferdi tersenyum. Dalam kebisuan mereka mendekatiku dan memelukku seolah aku telah menjadi bagian dari mereka sekarang.
Jika ini cara terbaik untuk menguji hipotesisku tentang mereka berdua. Maka akan aku korbankan satu nyawa untuk menyelamatkan banyak nyawa. Tenanglah. Tak akan ada yang mati selama aku memegang kendali pada dua malaikat maut yang ada di dekatku