TIGA

2304 Words
Sekolahku gempar. Penemuan mayat Ana di toilet membuat suasana di sekolahku menjadi mencekam. Semua orang saling memandang curiga dan ketakutan satu sama lain. Ana meninggal dengan tragis dan pelakunya belum tertangkap. Kepolisian yang datang sudah mengevakuasi mayat Ana serta mengamankan TKP ( Tempat Kejadian Perkara ). Menurut hasil penyelidikan Ana tewas setelah ditikam di bagian d**a dan perut. Walaupun di leher Ana terdapat bekas jeratan yang menunjukkan bahwa dia sempat dicekik, hal itu tidak membuat Ana tewas. Mungkin karena itulah, si pelaku menikam d**a dan perutnya untuk menghabisi nyawa Ana. Sungguh pembunuhan yang s***s. Ana Khairunnisa, siswi kelas X di kelas IPA-2. Namanya tidak terlalu menarik perhatian karena memang wajahnya biasa saja, tidak cantik atau jelek. Penampilannya sangat cocok dengan anggapan 'murid kesayangan guru'. Kacamata tebal, rambut kepang dua, suka membaca buku serta ahli dalam bidang pelajaran Kimia dan Fisika. Ditambah lagi seminggu yang lalu dia jadian dengan senior paling hits di sekolah, Kak Anton. Banyak yang tidak suka dengan kenyataan itu, bisa jadi salah satu dari cewek di sekolah yang menyukai kak Anton adalah pelakunya. Itu mungkin saja. Namun dibandingkan mencurigai mereka, aku lebih curiga pada cowok di depanku ini, Denis Aditya. "Oi, sampai kapan kamu mau liatin aku kayak gitu?" Lagi-lagi cowok bajay (Lebay dan Alay) ini menegurku. Entah bagaimana bisa cowok sekampret ini jadi kesayangan guru. "Aku nggak liatin kamu. GR," dengusku kesal. “Udah ketahuan masih nyangkal,” cibirnya. Denis kemudian melirik Mia yang duduk di sampingku. Dia memandang wajah Mia lalu bertanya dengan muka serius.   "Kamu setuju'kan kalau dari tadi temenmu ini liatin aku terus?" tanya Denis pada Mia. Mia langsung mengangguk pasti. Cewek itu menoleh ke arahku dan menunjukkan ekspresi protesnya. Aku cuma membalasnya dengan wajah BT. "Pengkhianat!" gerutuku kesal. Mia mengabaikan ucapanku, kembali melihat Denis sambil senyam-senyum sendiri. Aku rasa otaknya sudah konslet. Tak ingin stress karena ulah Mia, aku lebih memilih memalingkan wajahku ke arah mobil polisi yang masih ada di lingkungan sekolahku. Mereka sedang berupaya mencari pelakunya. Beberapa orang sudah dimintai keterangan termasuk Mia, orang pertama yang menemukan mayat Ana. Yang membuatku sedikit aneh adalah kenapa Mia biasa saja? Dia tidak tampak shock ataupun ketakutan setelah melihat mayat. Reaksi itu hanya dia tunjukkan ketika pertama kali melihat mayat Ana dan sekarang dalam hitungan jam, dia sudah kembali ceria. "Jadi, kenapa dua hari ini kamu jadi stalker-ku?" tanya Denis lagi membuat otakku yang baru saja ingin menganalisa menjadi terganggu. Rupanya Denis masih penasaran dengan tindakanku. Haruskah aku katakan padanya kalau aku melihat dirinya membunuh Ana makanya aku mengikutinya? Tentu saja itu tidak. Meski aku katakan pun, siapa yang percaya? Faktanya, dia sedang bersamaku saat mayat Ana ditemukan. "Mia stalker-mu dari dulu. Kenapa nggak tanya dia dulu aja?" protesku pada Denis. Mia terbatuk kecil mendengar ucapanku. Sahabatku itu menyikut lenganku sehingga aku menoleh ke arahnya. Mia memelotiku sebagai tanda protes. Bibirnya bergerak-gerak seolah sedang mengancamku untuk tutup mulut. Namun kali ini aku tidak peduli. Denis juga melihat ke arah Mia membuat sahabatku itu salting dan hanya bisa nyengir kuda. Cowok itu lalu tertawa membuatku dan Mia saling pandang karena heran dan penasaran. “Kamu mengikutiku karena suka aku kan?” tanya Denis pada Mia. Mia mengangguk mengakui tanpa malu-malu. "Tuh kan? Dia mengikutiku karena menyukaiku. Lagian cara dia stalker nggak kentara atau mengganggu. Berbeda denganmu yang selalu mengikutiku dan mengawasiku dengan mata yang penuh kecurigaan dan keingintahuan seolah kamu menuduhku akan melakukan kejahatan. Aura yang kamu tunjukkan ketika mengikutiku membuatku merinding. Dari jarak berkilo-kilopun kalau kamu berprasangka buruk duluan pada orang yang kamu ikuti, kamu akan ketahuan," jelas Denis lalu terkekeh pelan. "Memangnya aku segitunya sampai kelihatan banget sedang mengawasimu?" tanyaku lagi. Denis mengangguk pelan, membuatku kecewa pada diriku sendiri. Sepertinya aku memang tidak berbakat untuk menjadi seorang penguntit. Lagipula di dunia ini,  memang tidak ada orang yang mau jadi penguntit. "Hei, Mia. Kamu dipanggil ke kantor kepala sekolah." Seorang senior menghampiri kami bertiga dan menyampaikan berita yang membuat Mia kehilangan senyumannya. "Buat apa aku dipanggil?" Mia tampak ketakutan. Kali ini dia mulai menunjukkan tanda-tanda kecemasan, tangannya berkeringat dingin dan matanya berkaca-kaca.  "Nggak apa-apa, palingan cuma dimintai keterangan. Bagaimanapun kamu yang menemukan mayat Ana pertama kali," kataku mencoba menenangkan Mia. Mia berdiri ragu dari duduknya. Aku merangkul dan menawari diri untuk mengantarkannya sampai ke depan ruangan kepala sekolah. Mia hanya diam saja selama di perjalanan dan aku melihat tangannya yang gemetar. Aku pun berinisiatif untuk menggenggam tangan Mia seolah berkata kalau semua akan baik-baik saja. Saat kami sudah berdiri di ruangan kepala sekolah, Mia melihat sekali lagi ke arahku. Aku pun mengulas senyuman tipis untuk menghiburnya Dengan langkah gontai Mia kemudian masuk ke ruangan kepala sekolah. Saat pintu dibuka, aku melihat beberapa orang lain sudah ada di sana. Mereka adalah para saksi yang dikumpulkan untuk diminta keterangan. Orang pertama yang aku lihat di sana adalah Kak Anton, pacar Ana. Matanya tampak masih sembab karena menangis. Pacar yang dicintainya meninggal secara tidak wajar, tentu saja dia menangis. Samar-samar, aku juga melihat dagunya yang diberi plester. Sepertinya dia terluka. Karena apa, aku juga belum tahu. Orang kedua yang aku lihat adalah Bibi Martha, petugas kebersihan sekolah. Bibi itu seperti biasanya, diam dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Orang selanjutnya adalah Rani, teman sekelas Ana sekaligus mantan pacar Kak Anton. Dia orang pertama yang mengenali Ana dan mendekati serta menyentuh tubuh korban dengan tangan secara langsung. Yang aneh adalah saat dia mencoba memperbaiki rambutnya, aku melihat kuku palsu di beberapa jarinya terlepas atau memang sengaja dilepas. Entahlah. "Minggir!" Suara itu mengangetkanku. Aku spontan menoleh menatap Gunawan, ketua kelasku. "Kok kamu kesini juga?" tanyaku kepo. "Kemarin aku bertengkar dengan Ana, jadi mereka mencurigaiku. Aku juga sejak jam pertama sampai Ana ditemukan tewas berada di UKS. Nggak ada saksi yang mendukungku jadi wajar saja jika aku dicurigai sebagai pelakunya," jawab Gunawan dengan dingin. Ketua kelasku yang songong itu masuk lalu menutup rapat ruangan kepala sekolah. "Mereka bilang Ana meninggalkan pesan terakhir bertuliskan Mahal." Aku menoleh cepat, menatap si k*****t yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Aku cukup terkejut dengan sikapnya ini tetapi tak ingin menunjukkan hal itu padanya. aku merasa kalah jika sampai bertingkah demikian. "Mahal?" Denis mengangguk. "Kalau begitu...." "Iya. Salah satu dari mereka adalah pelakunya," kata Denis membenarkan dugaan yang bahkan belum aku ucapkan. Aku menelan ludah pahit, entah kenapa merasa gugup. Yang berada di dalam ruangan itu adalah orang-orang yang aku kenal. Jika memang apa yang dikatakan Denis benar, maka di antara mereka, pelakunya sedang bersembunyi. *** Aku dan Denis sudah berdua di kantin. Kali ini, kami bukan duduk untuk mengisi perut tetapi untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Kami sedang mencoba untuk menganalisa dying message  yang ditinggalkan Ana. Walau memiliki alibi, nuraniku masih berkeyakinan bahwa Denis adalah pelaku pembunuhan Ana. "Jadi, kamu adalah pelakunya bukan?" tuduhku pada Denis. "Hah?" Denis menatapku tajam. "Otakmu itu nggak pernah dipake atau terlalu dipaksa untuk dipake jadi tumpul?” ocehnya tidak terima. “ Lagian kalau aku pelakunya, ngapain coba ngajak kamu untuk mecahin petunjuk pembunuhan ini? Mending aku simpan sendiri aja biar nggak ketahuan," lanjut Denis dengan sedikit ketus, rupanya dia tersinggung berat. "Ya, bisa aja kan, biar kamu nggak dicurigai makanya sok mau mecahin padahal pelakunya depan mata," sahutku tidak mau kalah darinya. "Kamu udah nggak bakat jadi stalker, nggak bakat juga jadi detektif," sindir Denis. Aku menutup mulutku karena menguap, mengantuk. Rasanya berdebat dan menuduhnya sebagai pelaku hanya karena aku 'melihat'-nya di penglihatanku itu sedikit tidak adil. Bagaimanapun dari awal, kejadian ini sungguh aneh. Seharusnya kematian Ana itu adalah besok jika mengikuti alur waktu kematian penglihatanku selama ini. Selain itu, jika Denis adalah pelakunya, maka seharusnya dia adalah saksi atau orang pertama yang menemukan Ana. Namun semua hal yang terjadi mengalami penyimpangan. Kematian Ana berlangsung satu hari lebih cepat dan saksi yang menemukan mayatnya pun berubah. Itu artinya tempat kejadiannya juga berubah. Karena seharusnya Denis yang menemukannya, maka artinya mayat Ana ditemukan di toilet cowok. Namun Ana ditemukan di toilet cewek, apa ini artinya pelakunya juga berubah? “Oi, malah bengong," tegur Denis sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. "Kalau kamu bukan pelakunya, kamu tahu darimana soal dying message itu?" tanyaku penasaran. "Bukankah Mia dan Rani juga mengatakan itu? Kamu nggak denger?" Denis balik bertanya. Aku menggeleng pelan. Memang sejak penemuan mayat itu banyak sekali desas-desus. Banyak orang juga yang berupaya masuk untuk melihat mayat Ana secara langsung tetapi dari sekian banyak omongan yang masuk di telingaku, soal petunjuk itu aku baru mendengarnya dari Denis. "Jadi menurutmu siapa pelakunya?" tanyaku pada Denis. Aku ingin tahu analisisnya. "Entahlah, jika mahal yang dia maksud mengarah pada pelaku, bukankah dengan menghilangkan huruf vokal menjadi MHL, Maharani Hani Laurence," jawabnya santai. Aku berpikir sebentar tentang apa yang Denis katakan barusan. "Hah? Rani? Cewek populer yang menangis melihat Ana terbunuh itu?" tanyaku tidak percaya. Denis mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Itu kan cuma satu dari banyak kemungkinan. Kita 'kan nggak tahu Ana menulis itu dengan menggunakan metode apa," sahut Denis beropini. “Lagian jika kita balik, menghilangkan huruf konsonan maka akan menjadi AA, inisial untuk Anton-Ana,” ungkap Denis yang membuatku sedikit kagum dengan pemikirannya yang luar biasa cepat itu. “Jangan mangap begitu, aku sudah tahu kalau kamu naksir aku,” ledek Denis penuh percaya diri. Aku mendecih kesal mendengar pernyataannya yang terlalu percaya diri itu. “GR,” dengusku sebal. Denis hanya terkekeh pelan. “Tapi mahal jika dijadikan angka sesuai letak angka di handphone maka akan menjadi 61415. Itu adalah kode pos untuk kota Jombang. Satu-satunya perantau yang berasal dari sana dan nggak memiliki alibi adalah si Dandi Gunawan, ketua kelasmu,” kata Denis yang memberikan analisis yang luar biasa sekali kali. Aku terdiam, sedang berpikir tentang analisa-analisa dari Denis. Jika analisa Denis yang terakhir benar, maka Dandi Gunawan, ketua kelasku yang super dingin dan songong itu adalah pembunuhnya. Namun apa dia bisa setega itu membunuh Ana? Tadi Dandi memang bilang kalau diri diduga memiliki motif untuk membunuh Ana karena ada yang mnyaksikan mereka bertengkar kemarin. Namun aku tidak yakin dia adalah tipe orang yang akan membunuh seseorang hanya karena rasa benci atau hal sepele seperti itu. Kecuali, cowok di depanku ini. Aku sangat yakin dia akan membunuh siapapun dengan cepat, bahkan tanpa perlu motif lebih dulu. "Tapi Ana'kan bukan anak pramuka. Dia bahkan nggak aktif di ekskul manapun. Kemungkinan itu sandi angka rasanya terlalu kecil," kataku menolak analisis Denis. "Coba kita pikir lagi, Mia ke toilet sekitar pukul 09.50 wib bukan? Itu lima menit sebelum bel istirahat berakhir. Sedangkan Ana menurut kesaksian Rani masih hidup sampai bel istirahat berbunyi. Itu artinya Ana dibunuh tepat setelah dia ke toilet'kan?" Denis memberikan analisis ajaibnya lagi. "Apa iya hanya dalam waktu 20 menit pelakunya bisa membunuh Ana, menyingkirkan barang bukti dan juga melarikan diri?" Sekali lagi aku meragukan analisis Denis. "Membunuh orang itu nggak butuh waktu lama, sama kayak kamu nepuk nyamuk. Asalkan timing dan metode pembunuhnya tepat, maka korban akan mati dalam sekejap." Denis tersenyum penuh arti. Entah kenapa aku merinding melihatnya tersenyum begitu. "Kalau aku pembunuhnya, aku akan memberikannya racun sianida. Dalam semenit Ana sudah mati," kataku tidak mau kalah begitu saja. "Kalau pake racun, kamu harus ngasih dia minuman atau makanan'kan? Jika itu terjadi, kamu orang pertama yang dicurigai.” Denis menolak metode membunuh yang aku usulkan. "Tinggal nyuruh orang aja atau taruh aja diem-diem di mejanya. Tinggal bilang dari pacarnya. Aku bebas tuduhan, kak Anton yang jadi tumbal," balasku. "Kamu emang nggak bakat jadi pembunuh. Kalau kamu nyuruh orang, akan segera ketahuan setelah orang suruhanmu tertangkap. Jika kamu menuliskan sesuatu yang mengatasnamakan kak Anton, maka polisi akan menyelidiki kesamaan tulisan yang kamu tulis dengan tulisan kak Anton. Jika nggak sama, maka polisi akan mulai menyelidiki tulisan siapa itu. Pada akhirnya kamu akan tetap ketahuan. Selain itu, kamu itu cuma siswi SMA biasa. Darimana kamu akan membeli racun sianida? Internet? Emangnya kamu punya banyak uang?" Denis men-skakmat diriku. Aku hanya mampu mengerucutkan bibirku sebagai tanda protes. "Oke, aku akui nggak bakat! Jika kamu pembunuhnya, bagaimana kamu akan membunuh Ana?" Aku balik bertanya. Ini juga bisa dikatakan sebagai umpan untuk membuatnya mengaku. "Aku akan mengikutinya, menunggu kesempatan yang tepat, lalu aku akan membunuhnya secara perlahan. Karena kematian yang terlalu cepat, itu bukanlah gayaku," jawab Denis sambil menyeringai dengan bibirnya yang tipis. Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya. "Iya dah, Psikopat. Aku nggak kayak kamu. Aku cuma cewek yang mikir sederhana," tukasku. Denis tertawa geli mendengat sahutan sewotku. “Jangan begitu, dong. Kan tadi kamu yang nanya, kok marah sih?” protesnya. “Habisnya kamu nyebelin sih,” gerutuku. “Oke, Sorry,” katanya meminta maaf. “Tapi beradu argumen denganmu membuatku senang, Nisa.” Aku terdiam, menatap Denis yang juga menatapku. “Bagaimana kamu setenang ini? Padahal pertama kali melihat mayat Ana yang berlumuran darah kamu muntah-muntah,” tanyaku penasaran. “Mayatnya kan sudah dievakuasi, jadi nggak ada alasan bagiku untuk gugup atau panik kan? Lagipula kalau aku pelakunya, aku pasti sedang bingung mau membuang s*****a pembunuhannya di mana. s*****a pembunuhannya belum ditemukan bukan?” jawabnya santai. “Tapi, bukankah sangat aneh? Dia memiliki tanda-tanda seperti orang yang tewas dijerat dengan tali tetapi memiliki belasan tusukan di tubuhnya?” tanyaku. “Kalau soal itu ada dua kemungkinan,” jawab Denis. “Apa?’ tanyaku penasaran. “Satu, pelaku menjeret leher korban dengan tali sampai pingsan. Setelahnya pelaku menusuknya berkali-kali. Kedua, pelaku membunuhnya dengan menjerat lehernya lalu menusuknya berkali-kali untuk mengelabui cara pembunuhan,” jawab Denis menjelaskan. “Hm,” gumamku pelan. “Kenapa?” “Kamu sampai tahu sedetail itu, apa jangan-jangan..” Pletak. Denis menjitak kepalaku. “Aw, sakit!” protesku. “Makanya jangan asal nuduh,” tegurnya. “Sorry,” sesalku. “Tapi siapa ya yang kira-kira tega membunuh cewek keturunan Filipina-Jawa seperti Ana?” tanyaku penasaran. “Heh?” Aku dan Denis berpandangan sejenak.  "Oh!" Tiba-tiba Denis berteriak. Ekspresinya berubah dan mulai tertawa sendiri membuatku sedikit merasa ketakutan melihatnya begitu. "Makasih ya, Nis. Berkat kamu, aku tahu siapa pembunuhnya," kata Denis dengan wajah berbinar-binar. "Hah?" kataku setengah tidak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD