EMPAT

1416 Words
Berkat analisis Denis yang luar biasa, kami akhirnya memecahkan misteri pembunuhan Ana. Denis bilang kita membutuhkan bukti dan untuk itu, kami berdua harus menangkap basah pelakunya. Sebenarnya aku tidak terlalu berani untuk mengungkapkan siapa pembunuh Ana tetapi melihat kesungguhan Denis, aku mengiyakan saja perkataannya. Sekolah telah usai sejam yang lalu. Kami mulai bersembunyi di dekat loker para siswa. Sudah sejam berlalu dan tidak ada tanda-tanda pelakunya muncul. Kakiku sudah mulai kesemutan. Ditambah jarak tubuh Denis yang cuma beberapa senti dariku entah kenapa membuatku berdebar. Aku harap dia tidak mendengar detak jantungku yang sudah melebihi batas normal. Aku hampir menyerah, namun tiba-tiba terdengar suara dari lantai atas. Seseorang muncul dari lantai atas, dengan langkah terburu dia mendekati loker miliknya. Dia membuka pintu loker dan mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam sana. Ada sedikit noda darah di ponsel itu, seseorang itu terkekeh pelan. "Benar'kan dugaanku. Kau pelakunya," ujar Denis sambil melangkah keluar dari persembunyian kami. Aku pun mengikutinya dibelakang. Seseorang itu hanya tersenyum walau tadi dia sempat kaget. Matanya teduh, sikapnya biasa saja dan entah bagaimana aku merasa seseorang itu terlalu santai. "Pembunuh Ana... Itu kamu Kak Anton," kata Denis sambil menunjuk kearah kak Anton yang menatapnya dengan senyum. Kak Anton melihat tajam ke arahku lalu terkekeh pelan. "Buktinya apa? Tuduhan tidak berdasar itu fitnah," bantah kak Anton. "Mahal," ujar Denis. "Ada apa dengan kata itu?" tanya Kak Anton. "Seperti yang kita tahu, Ana adalah seorang keturunan Filipina. Dalam bahasa Tgalaog, Mahal artinya Cinta yang mengarah pada kekasih. Mungkin kakak tidak tahu tentang itu sehingga ceroboh dengan menganggap kata itu bukan sebagai pesan kematian sehingga membiarkannya," jawab Denis sambil meletakkan tangannya di saku celananya. Sekilas dia jadi mirip Detektif beneran. "Bisa saja dia memiliki kekasih selain aku kan?" elak kak Anton lagi. "Jika benar begitu, maka seharusnya Ana memberikan pesan kematian yang merujuk ke nama bukan status." "Bisa jadi tapi apa kamu lupa? Jika memang aku pembunuhnya, bagaimana aku melakukannya? Bukankah aku tidak mungkin masuk ke toilet cewek?" "Kakak sudah membuntuti Ana selama seminggu ini bukan? Aku pernah melihat kakak melakukannya. Aku pikir kakak ingin mengejutkannya atau hal konyol lain yang sering pasangan baru lakukan. Sejujurnya aku tidak begitu peduli. Namun jika boleh berimajinasi, ini kronologis kejadiannya." Denis diam sejenak. Aku menunggu dengan gelisah lanjutan analisisnya. "Pagi ini kakak mengikuti Ana. Karena terburu-buru dan ceroboh tas seragam olahraganya terjatuh. Kakak memungutnya dan hendak mengembalikannya saat jam istirahat. Namun Ana langsung berkata dia ingin ke toilet tanpa menyadari kakak ingin mengembalikan seragamnya. Kakak mengikuti Ana yang diikuti oleh Bibi Martha. Ketika Bibi Martha keluar toilet, kakak masuk ke toilet yang saat itu sepi. Kakak datang mendekati Ana yang keluar dari bilik Toilet karena merasa ada seseorang yang mengawasinya. Saat itulah kakak mencekik Ana dengan tali senar yang sudah kakak siapkan. Merasa Ana sudah mati, kakak menuttup pintu Toilet dan menempelkan tulisan kalau toilet di mana Ana berada sedang rusak. Sayang, saat Kakak hendak keluar malah tertangkap basah oleh Rani. Kakak berdalih sedang linglung makanya nyasar ke toilet cewek dan entah bagaimana dia bisa percaya pada kakak. Kakak kemudian menghampiri Ana lagi dan terkejut karena belum mati, kakak pun menghabisi Ana dengan menikamnya. Tikaman Kakak juga sempurna seolah kakak sudah berlatih berulang kali sehingga Ana mati dalam sekejap. Tapi.. " Denis berhenti sejenak. "Ada apa? Kamu merasa kalau kamu hanya mengarang cerita?" Kak Anton berkata sinis. Denis menggeleng. "Kenapa kakak bersusah payah mengganti seragam Ana dengan seragam olahraga? Bagaimana cara kakak membuat Rani percaya?" Kak Anton tertawa, Denis menatapnya dingin dan aku hanya melongo menyaksikan seorang pembunuh dan detektif amatir (Denis) beradu argumen. "Kamu tidak penasaran kenapa aku membunuhnya?" tanya Kak Anton tiba-tiba. Pertanyaan itu konstan membuatku bergidik ngeri. Denis menyeringai mendengar kata-kata kak Anton. "Apapun alasan kakak membunuhnya, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting, kakak benar adalah pelakunya bukan?" Denis membalik kata-kata Kak Anton. "Apa buktinya?" tantang kak Anton. Denis tertawa, kali ini cukup keras. Entah apa yang membuatnya malah tertawa di situasi seperti ini. "Kakak sedang memegang buktinya. Selain itu, kakak yang melaporkan bahwa pintu toilet rusak. Padahal pintu toilet cewek baik-baik saja. Yang tahu pintu toiletnya rusak atau nggak, hanyalah pelakunya. Di ponsel yang kakak pegang, juga ada darah Ana'kan? Jika memang kakak memegang ponselnya sebelum Ana tewas, nggak mungkin ada noda darah di ponsel itu. Itu artinya. kakaklah pembunuhnya." Denis mengakhiri analisisnya dengan senyum sementara kak Anton hanya berdiri santai. "Kalian cuma berdua'kan?" tanya kak Anton sambil mengeluarkan pisau dari balik saku celananya. Aku merinding melihat kilatan pisau yang masih memiliki noda darah itu. dalam keadaan seperti ini rasanya kakiku ikut bergetar karena takut. Aku pun melirik Denis, cowok itu memberi isyarat padaku untuk lari. Kak Anton mendekat dan hendak menikam Denis, secara spontan aku berlari memeluk Denis untuk menghadang tikaman dari kak Anton. Saat itu entah apa yang aku pikirkan sehingga rela memasang badan untuk cowok sepertinya. Bahkan, aku sudah memejamkan mataku, pasrah. Walaupun tiba-tiba terdengar suara tembakan yang cukup keras. Aku membuka mataku lalu berbalik ke belakang, menatap. Denis yang berdiri dengan santai. Saat itu dia menunjuk ke depan membuatku mengikuti intruksinya. Aku meluhat  Kak Anton sudah terkapar dengan kaki kanan yang berdarah. Seorang polisi telah mendaratkan timah panas di kaki kanan kak Anton. Rupanya kepolisian sudah mencurigai Kak Anton sehingga mereka juga diam-diam mengamati gerak-gerik kak Anton untuk menyelidikinya. "Ayo, bangun. Anda kami tahan. Apapun yang anda katakan dapat memberatkan anda, lebih baik anda diam sampai kita tiba diruang interogasi." Seorang polisi dengan tubuh tegap, tinggi dan tampangnya sedikit sangar membantu Kak Anton berdiri dan mengiringnya ke mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk sekolah. "Terimakasih Dik Denis laporannya. Lain kali sebaiknya adik dan pacarnya jangan bertindak sendiri, mengerti?" Seorang polwan menghampiri kami . “Baik,” jawab Denis dengan santai. Pacar? Siapa? Apa-apaan dia itu? maksudnya apa? "Oi, jangan ngedumel dalam hati. Lagian apa-apaan adegan pasang tameng itu? kamu pikit kita lagi syuting film tragedi?” sindir Denis agak kasar. Dasar cowok k*****t nggak tahu terimakasih. Sudah ditolong masih saja begitu. Menyebalkan! Aku hanya bisa manyun, enggan berdebat. Dia memang dilahirkan sebagai cowok menyebalkan jadi berdebat dengannya hanya membuang-buang waktu. "Ayo pulang!" ujar Denis sambil meraih tanganku. "Eh.... Aku..." *** Seorang wanita dengan gaun dan tudung putih berjalan anggun menyusuri para undangan yang hampir seluruhnya memakai pakaian bernuansa merah tua. Semua mata tertuju pada wanita itu, di mana bisa terlihat kegugupan yang teramat sedang melandanya. Namun dengan agak malu, wanita itu mencoba tersenyum kepada para undangan. Seorang wanita yang tampaknya seorang wedding organizer memegangi gaun yang sangat panjang di bagian belakang sehingga menjuntai ke bawah. Saat berjalan, aku menyadari bahwa wanita bergaun pengantin itu tidak hanya berdua dengan wedding organizer-nya. Di samping wanita itu juga berdiri seorang laki-laki paruh baya dimana tangan wanita bergaun pengantin itu melingkar di lengan lelaki paruh baya itu. Aku mengenal lelaki paruh baya itu. Dia adalah ayahku. Hal yang paling mengejutkan bagiku adalah, di ujung altar tampak seorang pria mengenakan pakaian putih yang senada dengan wanita itu. Tampaknya dia adalah calon mempelai pria dari wanita itu. Pria itu mengulas senyum tipis dan aku juga mengenal wajah sombong dan penuh percaya diri itu. Itu adalah wajah si cowok k*****t. Wanita itu tetap mencoba menengakkan tubuhnya dan melangkah seanggun mungkin. Sejauh ini aku belum bisa melihat wajahnya yang tertutup tudung putih. Ayahku menggenggam tangan wanita itu dan berkata,”Nisa, tak kusangka engkau akan menikah secepat ini.” Aku membuka mataku dengan cepat, terkejut dengan penglihatan masa depan yang baru saja aku saksikan dengan kedua mataku sendiri. Lebih menyebalkan lagi selain mengetahui wanita yang hendak menikah itu adalah aku, pengantin prianya adalah si cowok k*****t. Bagaimana bisa aku berakhir dengannya? Apa itu mungkin? Aku bahkan membencinya sekarang. "Oi, Nis! Jangan pingsan mendadak, dong! Kasih tahu dulu dong kalau mau pingsan!" Omelan itu membuatku seketika menoleh pada sumber suara. Aku menatap bingung ke arah Denis yang sudah berada di dekatku. Mengingat apa yang baru saja dia katakan membuatku semakin kesal. Cowok k*****t ini membuatku benar-benar ingin membunuhnya. Aku perlahan bangkit dan duduk. Setelah itu aku menatap lingkungan sekitar. Sepertinya aku sudah berada di rumahku, tepatnya di kamarku. "Nisa, kamu sudah sadar?" seorang laki-laki yang aku kenal dengan baik menghampiriku. Aku menatap lekat pada ayah, wajahnya tampak cemas. Beliau memelukku lalu mengusap lembut rambutku. "Kalau gitu, saya permisi, Om," pamit Denis pada ayah. Ayah mengangguk pelan lalu meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya. Denis menoleh kearahku dan sedikit menaikkan hidungnya seolah mengejekku. Aku hanya bisa memeluk ayah dengan erat. Ini memang bukan penglihatan kematian, tapi masa depan Denis. Ironisnya, di masa depan Denis, aku akan menjadi istrinya. What The HELL!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD