Hari Minggu adalah hari yang begitu dinantikan oleh kebanyakan orang di dunia ini. Karena Minggu adalah waktu untuk memanjakan diri sendiri. Bagiku hari Minggu adalah waktunya untuk tidur. Ditambah lagi, sudah tiga hari berlalu semenjak kematian Ana. Selain itu, di hari minggu aku tidak perlu ke sekolah. Secara otomatis, aku tidak akan bertemu dengan si k*****t Denis. Penglihatan masa depan yang aku lihat tanpa sengaja tempo hari membuatku sangat ketakutan dibanding melihatnya membunuh seseorang. Akibatnya, aku menghindarinya sejak dua hari yang lalu. Aku harap cowok itu enyah saja dari dunia ini.
"Nisa, ada yang datang! Cepat turun, Nak!" teriak Ayah dari luar kamar.
Dengan ogah aku melirik jam wekerku dan ini masih jam 9 pagi. Seingatku aku tidak sedang janjian dengan Mia.
Mia bilang kalau ada acara keluarga minggu ini. Apa ia membatalkannya?
Dengan rambut berantakan, piyama amburadul, wajah yang masih penuh iler dan polosan aku keluar dari kamar. Sedetik kemudian aku mengutuk laki-laki yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Dia tertegun mennatapku, seperti tidak mempercaya dengan apa yang dilihatnya.
"Wuwah.. Nisa kamu jelek banget," ledek Denis sambil melanjutkan menguyah keripik pisang di mulutnya setelah sempat menundanya karena terkejut melihat penampilanku.
"Itu punyaku. Kok kamu makan sih? Udah jelas ada tulisannya, punya Nisa," protesku mengabaikan ledekan darinya.
"Ini ada di toples dan tergeletak di meja ruang tamu. Secara otomatis ini diperuntukkan untuk tamu'kan? Nah aku'kan tamu nih. Jadi wajar dong aku makan ini?" Denis kembali mengajukan argumen yang membuatku makin eneg untuk menerima kedatangannya ke rumahku.
"Jadi, ngapain kesini?" tanyaku sinis sambil duduk di sofa.
"Hm..Gini.....krkrkrk." Denis mencoba menjawab pertanyaanku di sela-sela tumpukan keripik pisang yang sedang ia coba kunyah dan telan.
"Kunyah dulu trus telan. Habis itu baru jawab pertanyaanku," dengusku kesal.
Denis hanya tersenyum dan ah..benar-benar cowok k*****t ini kelihatan manis meski rambutnya berantakan. Hah? Apa yang kukatakan?
"Apa? Ngapain liatin aku kayak gitu? Naksir ya?" goda Denis.
"Ogah!" ujarku menolak keras godaannya.
"Nisa, Denis udah bantuin kamu lho pas kamu pingsan. Masak diketusin gitu sih? Nggak boleh sayang."
Tiba-tiba ayah muncul sambil membawa minuman buat Denis. Aku yang melihat itu segera menghampiri ayah, mengambil minuman yang ayah buatkan untuk denis lalu meneguknya sampai habis.
"Eh, Nisa itu...."
"Habis,Yah," ujarku lalu menjulurkan lidahku untuk mengejek Denis. Denis hanya manyun lalu melanjutkan mengunyah keripik pisang yang sekarang digengam barengan dengan toplesnya.
"Duh maaf ya, Denis. Ini anak emang jail," kata ayah merasa tidak enak pada Denis.
Denis hanya menggeleng pelan dan berkata, "Nggak apa-apa Ayah nanti Denis ambil sendiri di dapur. Boleh'kan?"
"Hah? Ayah? Sejak kapan ayahku jadi ayahmu?" tanyaku protes.
"Lah, kamu nggak ingat?" tanya Denis heran.
"Ingat apa?" tanyaku kebingungan.
Denis menoleh ke ayah demikian pula sebaliknya. Mereka beradu pandang seolah memberi isyarat bahwa keduanya satu sama lain tidak mau menjelaskan apa-apa padaku.
"Ada apa sih, Yah? Nisa nggak ngerti."
Ayah hanya tersenyum kecil dan perlahan pergi ke dapur.
"Kalau gitu, aku cabut dulu ya. Makasih keripiknya," kata Denis hendak kabur.
"Heh, jelasin dulu! Ada apa?" tanyaku lagi.
Aku mencengkram baju Denis untuk mencegahnya kabur.
"Nah, tiga hari yang lalu, kamu'kan pingsan. Hm." Denis tampak ragu melanjutkan ucapannya.
"Iya, terus?"
"Kamu ngingau Nis,"
"Ngingau apa?" tanyaku.
"Ngingau bilang 'Iya Denis. Aku mau menikah sama kamu. Aku cinta sama kamu' trus..."
"Heh! Nggak mungkin banget aku gitu!!" kataku lalu spontan mencakar-cakar badan Denis.
Denis yang merasa kesakitan pun segera berlari menjauh. Namun aku tidak membiarkannya lari begitu saja, aku mengejar cowok k*****t itu. Kami berputar-putar di sofa ruang tamu dan tanpa sengaja kakiku tersandung sehingga kami jatuh bertindihan di sofa.
Aku menelan ludahku. Wajah Denis hanya berjarak beberapa cm dari wajahku. Jika aku amati, bulu matanya lentik dan panjang. Matanya bulat dengan sisi yang memukau. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan kulitnya benar-benar bersih.
"Oi, berat!"
Aku segera bangun lalu berlari ke kamar mandi. Malu.
"Oi, mandi ya? Cepatan ya kita bakalan kencan lho!" teriak Denis ketika melihatku berlari dengan wajah merah.
Aku hanya menutup pintu kamar mandi dengan terburu dan segera mencemplungkan kepalaku ke dalam bak. Wajahku panas karena merasa malu dan marah. Cowok kampet itu sudah membuatku kehilangan muka. Walau mukaku sebenarnya msih ada, itu hanya pereumpamaan saja.
Setelah menghabiskan waktu untuk mandi, berdandan (meski aku rasa tidak perlu), dan memilih pakaian akhirnya kami pun jalan berdua. Denis mengajakku kencan dengan menggunakan sepeda motor bututnya. Helm-nya saja norak tapi semuanya tertolong dengan wajahnya yang tampan. Lagi-lagi aku menyebutnya tampan.
Denis memarkirkan sepeda motornya lalu melepas helmnya. Aku turun dan melakukan hal yang sama.
"Ini di mana?" tanyaku heran.
"Kamu nggak pernah pacaran ya?" tanya Denis sambil menatapku dari atas kebawah.
"Nggak. Emang kamu pernah?" ketusku.
"Nggak juga sih, tapi setidaknya aku tahu ini adalah taman favorit para pasangan," jawab Denis dengan muka polosnya.
Aku sudah berniat mencakarnya lagi tetapi cowok k*****t itu segera meraih tanganku. Dia menggandeng tanganuku dengan entengnya sehingga kami berjalan dengan bergandengan tangan. Kami sudah seperti sepasang kekasih betulan.
"Oi, Denis lepasin!"
"Kenapa?" tanya Denis.
"Yang suka kamu tuh Mia bukan aku. Kalau Mia lihat gimana? Ntar dia salah paham!" jawabku sambil mencoba melepas genggaman tangannya.
Denis masih bertahan dan tiba-tiba cowok itu merangkul tubuhku membuatku meronta untuk bisa lepas dari pelukannya.
"Nisa, kamu sudah ingat kan? Bahkan di dalam penglihatanmu, kamu menikahiku," katanya. “Aku rasa, aku juga menyukaimu.”
Aku terkejut setengah mati mendengar pengakuan Denis.
Penglihatan?
"Jadi, kamu tahu?" tanyaku dengan takut.
Denis mengangguk pelan.
"Kamu mimpi kita nikah kan kemarin? Bukankah itu sama dengan penglihatan ya?" jawabnya. "Kata orang, mimpi itu adalah suatu keinginan paling kuat dalam alam bawah sadar kita. Yang saking pengennya jadi kenyataan sampai terinterpretasi dalam bentuk mimpi."
Aku hanya diam saja mendengar ocehannya. Untung saja dia tidak tahu mengenai 'penglihatan' yang benar-benar aku lihat sebagai masa depan bukan keinginan semata. Ngomong-ngomong, lanjutan dari ucapannya jadi apa? Aku tidak mendengar karena terlalu shock dengan kata ‘penglihatan’ yang dia katakan.
"Oi, Nis. Bengong aja. Udah ah, meluk kamu di depan orang kayak gini bikin aku gerah," kata Denis lalu melepas pelukannya.
Siapa juga yang minta dipeluk olehnya
Kami pun berjalan lagi sampai seorang cewek yang tampaknya berusia di awal dua puluh tahunan menyikut lenganku dan memicu penglihatanku kembali.
"Nisa, kamu nggak apa-apa?" kata Denis menggoyang--goyangkan lenganku.
Aku tersadar lalu menatapnya.
"Ada apa?" tanya Denis dengan cemas.
"Denis, pacar cewek itu ... Tidak! Seluruh keluarganya akan mati," jawabku yang membuatku dan Denis saling berpandangan.
Penglihatan kematian, kembali datang.