"Aku capek hidup sama kamu!"
Suara piring yang dibanting terdengar memekik ruangan. Membuat gerakan tangan Sabilla yang sejak tadi sibuk mengaduk-ngaduk makanannya sendiri itu terhenti seketika. Ia menarik napas panjang-panjang lalu menghitung di dalam hati. Satu, dua, tiga, berharap pertengkaran orang tuanya tak terjadi di depan mata.
"Kamu pikir aku kerja lembur selama ini buat apa?" Nada suara pria itu meninggi. "Buat keluarga kita, May!"
Alih-alih mengalah, wanita bernama Maya itu justru menyilang kedua tangannya di dada dan mendengus geli. "Oh ya? Jadi kamu kerja lembur, nggak pulang beberapa hari itu buat kerja? Buat cari uang nafkahin keluarga? Gitu?" Tiba-tiba Maya tertawa rendah, terdengar mencemooh. "Tapi yang aku lihat justru sebaliknya tuh. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau kamu jalan sama perempuan lain ke hotel. Ke hotel, Bay. Apa yang kamu pikirin kalau kamu ada di posisi aku, hah?!"
Sabilla membanting sendok makannya dengan keras ke atas meja. Menimbulkan denting nyaring dari alumunium yang berbenturan dengan kaca. Mendistraksi perhatian Maya dan Bayu yang bahkan lupa bahwa Sabilla, putri sematawayang mereka, masih duduk di sana. Menyaksikan semua keributan rumah tangga yang seharusnya tidak pernah terjadi di antara mereka.
Maya menutup mulut, begitu juga dengan Bayu.
Mereka berdua terdiam dengan saling memunggungi satu sama lain ketika Sabilla turun dari kursinya. Gadis dengan seragam yang dibalut cardigan berwarna lilac itu menatap kedua orang tuanya bergantian dengan ekspresi dingin. Ia menarik napas panjang sekali lagi sebelum kemudian berkata, "Bisa nggak Mama sama Papa nggak usah berantem di depan aku? Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa dengar semua masalah kalian yang seharusnya aku nggak perlu tahu."
Maya adalah orang pertama yang bereaksi. Raut wajahnya berubah sedih dan menyesal. Ia kemudian berbalik, menghampiri putri kesayangannya itu dan mengusap lembut rambut panjang Sabilla dengan ekspresi penuh rasa bersalah di sana. "Sayang, maafin Mama ya." Wanita itu mengangkat sedikit sudut bibirnya yang pucat. "Kamu lanjutin lagi ya sarapannya biar nggak terlambat ke sekolah."
Namun dengan cepat, Sabilla menepis kasar tangan Maya. Ia mendelik tak suka pada wanita yang telah membesarkannya selama tujuh belas tahun itu sembari berujar, "Mama nggak perlu peduliin aku lagi mulai sekarang." Dan berpaling pada Bayu yang masih berdiri di tempatnya, membuang wajah karena malu dengan reaksi anaknya sekarang. "Papa juga sebaiknya cepat ambil keputusan. Apa Papa memang beneran sayang sama Mama, atau cuma sayang aja karena usia pernikahannya udah lama?"
"Billa...,"
Tanpa menggubris panggilan Maya, Sabilla berlalu pergi dengan menggendong ransel berwarna ungu di salah satu pundaknya. Ia terus berjalan keluar, meninggalkan rumah yang bahkan sudah tidak lagi memberikan rasa nyaman maupun rasa aman untuknya untuk kemudian berhenti di sebuah halte terdekat dari rumahnya.
Sabilla merogoh ponsel di dalam ranselnya karena mendengar dering panggilan masuk dari seseorang. Setelah benda pintar berukuran tipis itu berhasil digenggam, sebuah nama tak asing muncul di layar. Fajar. Pacarnya sendiri.
Sehingga tidak perlu menunggu waktu lama sampai gadis berambut panjang itu menekan ikon hijau pada layar dan menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo?"
"...,"
"Oke. Aku tunggu di tempat biasa kok."
Sabilla kemudian mematikan panggilan tersebut dan kembali menyimpan ponselnya di dalam ransel. Hanya sekitar lima menit kemudian, sampai akhirnya sebuah mobil berjenis jeep muncul di hadapannya. Gadis itu kemudian segera menghampiri mobil tersebut dan masuk, lalu duduk di samping pengemudi yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fajar.
"Are you okay, Sayang?" Fajar mengelus rambut Sabilla dengan satu tangannya. Mengingat bahwa satu tangan lainnya masih harus memegang setir mobil. "Muka kamu kok cemberut gitu sih? Papa sama Mama berantem lagi emangnya?"
Sabilla mengembuskan napas malas sembari memasang sabuk pengaman. "Aku capek dengar mereka berantem buat masalah yang itu-itu aja," pungkas Sabilla berterus terang. "Apa jadi orang dewasa tuh benar-benar serumit itu ya? Kalau mereka udah nggak saling suka, kenapa nggak cerai aja coba? Daripada tiap hari harus ribut, ribut dan ribut, tapi mereka sama sekali nggak pernah nemuin solusi untuk masalah mereka sendiri. Iya nggak, sih?"
Fajar menurunkan tangannya dari puncak kepala Sabilla sembari tertawa kecil. Ia lantas memegang setir dengan kedua tangannya dan menyunggingkan senyum di sana. "Sayang, jadi orang tua itu nggak mudah tahu. Banyak aspek yang harus mereka pikirin mateng-mateng sebelum ambil sebuah keputusan," jelasnya mencoba menenangkan Sabilla. "Salah satunya ya mungkin mikirin masa depan kamu seandainya mereka berpisah sekarang."
Gadis itu mendengus lagi dan bersedekap. "Aku udah nggak peduli mereka mau pisah atau mau bareng-bareng," tukasnya lugas. "Ada yang bilang kalau hubungan orang tua yang rusak, sama dengan anak bakal kehilangan rumah mereka. It means ... I don't have home anymore dan itu yang aku rasain sekarang, Jar."
Lagi, Fajar hanya tertawa kecil di balik kemudinya. Sesekali pria berusia 28 tahun itu memperhatikan sang pacar sebelum fokus kembali ke jalanan. "Jangan sedih gitu dong. Kamu 'kan masih punya aku," katanya mencoba menghibur. "Kamu punya nomorku, tahu rumahku, kamu bisa datangin aku kapanpun kamu butuh, Sab."
Namun sebuah kenyataan menghantam keras ke dada Sabilla. Ia memalingkan wajahnya ke jendela dan menghela napas pendek. "Jalanin hubungan sama kamu tuh cuma bikin aku gelisah setiap saat tahu, Jar."
Fajar menggumam pendek. "Memangnya kenapa?"
"Karena usia kita bedanya jauh, aku harus sembunyi-sembunyi jalanan ini sama kamu." Sabilla menoleh, menatap gamang ke arah Fajar yang masih fokus menatap jalanan di hadapannya. Ia menyeringai tipis dan mengangkat kedua alisnya penasaran. "Tapi anehnya ... aku nyaman banget jalanin hubungan ini sama kamu."
Fajar tertegun untuk sesaat, sebelum kemudian menoleh, menatap manik hitam milik Sabilla dalam-dalam dan tersenyum lembut. Ia kemudian mengangkat satu tangannya dan kembali mengusap lembut puncak kepala gadis yang dicintainya itu sembari berkata, "Aku sayang sama kamu, Sab."
Namun belum sempat Sabilla menjawab kata-kata manis yang dilontarkan oleh Fajar barusan, sebuah dering notifikasi dari ponsel di ranselnya pun memecah suasana. Sabilla segera memeriksa pesan masuk yang baru saja diterimanya dan merasa dadanya sesak seketika.
Sebuah pesan yang membuat kedua matanya membulat seketika karena dua hal.
Satu, karena nama pengirim yang tertera di atasnya.
Dan dua, karena isi pesan yang dikirimkan oleh nomor tersebut.
ABRIANNA :
Poor, Sabilla. Karena orang tua yang bermasalah, lo terpaksa cari pelarian dengan jalanin hubungan sama om-om. Anyway, apa om-om yang duduk di samping lo itu beneran suka sama lo? Atau jangan-jangan, dia juga cuma memanfaatkan situasi lo aja?
Well ... We'll see. -Abrianna.