Yang Akan Datang : 2

1031 Words
Judul : #2 – Berita Kematian. "Dua hal yang tidak akan pernah kembali di hidup ini; waktu yang berlalu dan kalimat menyakitkan yang sudah diucapkan." PETI kayu berisikan tubuh Abbriana telah dimasukkan ke dalam tanah dengan luas yang cukup. Gundukan tanah di atas pekuburannya pun sudah dihiasi oleh taburan bunga warna-warni oleh para pelayat yang datang. Warna hitam dan putih mendominasi. Cahaya matahari yang terik seolah tak menghalangi, kemudian berganti dengan awan putih yang mendadak menjadi kelabu. Sepertinya langit ikut menangisi kepergian gadis malang itu. Bersama para pelayat yang terdiri dari keluarga dan kerabat, sang pastor yang disewa oleh Annisa Atmajaya, ibu dari Abbriana, mengakhiri doa bersama. Ia melontarkan harapan-harapan manis dengan tujuan menghibur hati keluarga yang berduka. Meski jauh dari percobaan itu, Annisa tak kuasa menahan semua penderitaan yang menimpanya dalam waktu bersamaan. Wanita itu berdiri di sana, paling dekat dengan batu nisan dengan figura foto Abbriana sebagai sandaran depan. Menatap kosong dengan kedua mata yang sudah bengkak. Namun sepertinya, adegan menangis itu masih akan berlangsung lebih lama. Kesedihan yang terjadi secara bertubi-tubi membuat jiwanya terpukul. Ia bahkan tak bisa menghentikan air mata yang jatuh membasahi kedua pipi. Terlalu lemah untuk menerima kenyataan bahwa putri semata wayangnya sudah jauh pergi meninggalkannya dari dunia. Sang pastor menutup pidato singkatnya dan para pelayat mulai meninggalkan makam. Sesekali mereka berpamitan kepada Annisa, menyampaikan bela sungkawa yang teramat dalam, sebagian lagi menguatkan dengan beberapa nasihat kecil yang menenangkan, sebelum akhirnya mereka semua benar-benar pergi dari tempat yang didominasi oleh tanah dan orang mati. "Ayo kita pulang, Tante." Annisa menoleh ke sumber suara. Sosok laki-laki muda dengan kemeja hitam bergaris putih horizontal itu berdiri di sana, menatap adik dari ibu kandungnya dengan prihatin. Lalu meraih kedua pundaknnya yang tampak lemah dan membantunya berjalan menuju sebuah mobil hitam di ujung pemakaman. Dia adalah Rian Pramudya, sepupu Abbriana yang kini tinggal di sebrang rumah Annisa. Orang tuanya sedang berada di luar negeri, sehingga segala kebutuhan sekolah dan harian, seringkali dibantu oleh Annisa dan Edwin. Jika bicara balas budi, inilah saat yang tepat bagi Rian untuk melakukannya. Laki-laki yang kini duduk di bangku kelas tiga menengah atas itu memapah tubuh Annisa sampai wanita itu masuk ke dalam mobil. Duduk di jok belakang dan dengan perlahan, memakaikan sabuk pengaman untuknya juga. Annisa kini hanya memiliki Rian, sebagai penghibur hatinya atas kematian Abbriana. Namun hal itu justru mengganggu Retha, Sabilla, Alisa dan Karina yang masih berdiri di kejauhan. "Tante Annisa udah pergi. Mau ke sana sekarang?" Suara itu berasal dari Karina. Karina tampil dengan gaun pendek selutut berwarna hitam. Menggunakan bahan kulit ketat yang membuat lekuk tubuhnya semakin kentara di mata orang lain. Sementara topi fendora hitam dan kacamata keluaran terbaru dari produk mewah GUCCI tersemat di tubuhnya sebagai pelengkap. Bahkan untuk hadir di pemakaman seseorang, gadis muda ini masih sangat memikirkan penampilannya. Ia kemudian melipat kedua tangannya di dada dan melihat ke tiga sahabatnya bergantian. "Jangan buang-buang waktu terlalu lama di sini. Mataharinya bisa bikin kulit gue gosong." Alisa, si gadis tomboy dengan jaket kulit hitam dan celana jeansnya itu berjalan lebih dahulu. "Yaudah, Ayo!" Tanpa menunggu lama, Retha, Karina dan Sabilla pun ikut berjalan bersama Alisa mendekati makam sahabat mereka, Abbriana. Atau bisa dibilang, makam dari mantan sahabat mereka. Hubungan mereka memburuk di hari-hari terakhirnya. Mereka bahkan tak lagi bergaul dengan Abbriana di sekolah selama beberapa hari ke belakang. Namun kini, gadis itu justru terbaring tak bernyawa dalam tanah yang masih basah dan dingin. Mereka berempat kemudian menghentikkan langkah di depan pusara Abbriana. Menatap gundukan tanah basah dengan hiasan bunga yang wanginya sangat khas dengan orang mati. Retha menangis, tapi dengan cepat, Karina menyela tangis itu. "Lo nangisin apa, Re? Orang kaya Abbriana itu nggak pantas buat ditangisin tahu." "Jangan gitu dong, Rin!" timpal Sabilla tak terima. Gadis dengan kaus polos panjang berwarna hitam dan rok pendek sepahanya itu lantas menatap Karina. "Gimanapun juga, dia pernah jadi bagian dari kita." "Lagian masa lo nggak ada rasa simpati sama orang yang udah mati, sih?" kata Alisa ikut-ikutan. "Kita harusnya sedih karena dia ngelakuin hal ini pas lagi berantem sama kita." "Yeah, whatever." Ada jeda di sana. Hanya keheningan dan penyesalan dari masing-masing mereka lah yang tampak jelas menyelimuti atmosfer. Angin mendadak berembus kencang, menyapu rambut-rambut halus milik keempat gadis yang masih berkabung di dekat makam Abbriana. Suasananya tenang dan canggung sampai kemudian, Karina berceletuk, "Menurut kalian, apa rahasia kita bakal aman sekarang?" Retha, Sabilla dan Alisa menoleh cepat ke arah Karina. Mereka saling beradu pandang sebelum kemudian Alisa menyilang kedua tangannya di dada dan menaikkan satu alisnya penasaran kea rah Karina. "Apa maksud lo, Rin?" Gadis berwajah campuran bule itu pun mengangkat kedua bahunya dengan acuh, sebelum kemudian menurunkan kacamata dari wajahnya dan melihat Retha, Sabilla lalu ke Alisa bergantian. "Abbriana adalah orang yang paling tahu soal rahasia di antara kita. She knows everything dan gue merasa ini adalah karma karena dia udah berani ngancem kita waktu itu." Sekitar beberapa waktu mereka tak bersuara. Sampai kemudian, Retha tiba-tiba berkata, "Seenggaknya, Abbriana nggak jadi laporin hubungan gue sama Haris ke nyokap." "See? Kita harusnya bersyukur karena dia sekarang udah mati." Karina berkata dengan penuh percaya diri. Ia bahkan tak terlihat merasa bersalah sama sekali setelah membicarakan orang yang sudah mati. "Nggak bakal ada yang tahu soal rahasia kita dan kita bakal tetap aman." "Terus gimana kalau ternyata ada yang tahu?" tanya Alisa. Karina menoleh. "Soal apa?" "Yaa ... soal apa yang udah kita lakuin ke Abbriana." Alisa mengangkat kedua bahunya dengan taky akin. Ia tampak ragu dengan kata-katanya sendiri dan melihat sahabatnya dengan bimbang. "Gimana kalau kita di salahin atas kematian Abbriana?" "Lo becanda, ya?!" timpal Sabilla tak senang. "Kita 'kan nggak ngapa-ngapain dia. Di aitu mati karena bunuh diri. Bukannya lo sendiri yang kirim chat itu ke kita di grup, Al?" Namun belum sempat Alisa memberikan klarifikasi untuk membela diri, suara ponsel milik mereka berempat berdering hampir secara bersamaan. Membuat keempat gadis itu pun segera memeriksa dan menyadari satu hal. Bahwa pesan yang masuk ke dalam ponsel mereka berasal dari notifikasi pesan di dalam grup, dimana nama dari pengirim pesan itu adalah Abbriana. "Apa-apaan, nih?!" seru Sabilla panik. "Abbriana ... kenapa Abbriana kirim pesan di grup?" ABBRIANA : Guess what? I may be dead, but your secrets it not.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD