Chapter 01

865 Words
"Permisi, Mbak. Apa saya boleh menyimpan lamaran di sini?" tanya Thalia pada resepsionis di lantai dasar. "Boleh saja," jawab sang resepsionis ramah. "Wah, terimakasih, Mbak." Thalia menyerahkan amplop coklat yang dibawanya dengan senyum yang terus tercetak di bibirnya. Sang resepsionis menerimanya sambil menggelengkan kepala, menyaksikan betapa konyolnya gadis dihadapannya itu hanya dengan diperbolehkan menyimpan lamarannya. "Oke, good luck, Thalia!" kata sang resepsionis yang diketahui bernama Intan seraya membaca data diri dari balik amplop coklat yang di terimanya. "Thanks, Mbak Intan, kalau begitu saya permisi dulu." Intan menanggapinya dengan senyum dan melirik gadis itu sampai menghilang dari pandangannya. **** Thalia berharap, semoga dari beberapa lamarannya, ia akan beruntung mendapatkan pekerjaannya dengan cepat, meski hal itu tentu saja bukan hal yang mudah. Ia meneguk lagi minuman dingin yang dipegangnya sambil terus berjalan menyusuri trotoar yang sarat akan polusi. Sesekali ia mengusap peluh yang tak henti-hentinya mengalir di dahinya. Ia merogoh ponsel dari tasnya saat benda pipih itu bergetar. Tami's Calling... Begitu yang terpampang di layar ponsel pintarnya. Ah ya, Tami adalah sepupu Thalia yang memang berdomisili di ibu kota. Gadis itu sudah mengabari Tami sebelumnya, tepatnya sebelum ia berangkat ke ibu kota. Dan sampai saat ini keduanya belum bertemu dan hampir saja Thalia lupa mengabari sepupunya itu. "Iya, aku baru pulang melamar nih," "....." "Maaf deh maaf! Aku lupa, Tam. Nanti alamat kostnya aku whatsappin ke kamu ya," Thalia tertawa sambil menggaruk tengkuknya. "....." "Iya, Tami kan aku udah minta maaf! Aku langsung ngelamar jadi lupa ngabarin kamu," Thalia tertawa sekali lagi. **** "Jadi gimana, Intan? Apa ada yang melamar?" tanya Rayhan yang kini menghampiri meja resepsionisnya. "Ada sih, Pak," jawab Intan menggantung. "Tapi?" tanya Rayhan seperti membaca raut wajah resepsionisnya itu. "Hanya saja ia baru lulus dan belum punya pengalaman," jawab Intan pelan. "Hm," Rayhan mengusap kasar wajahnya. "Boleh saya lihat lamarannya?" "Boleh, Pak," jawab Intan ragu sambil menyerahkan amplop coklat berisi lamaran lengkap Thalia. "Saya bawa ya." Rayhan mengacungkan amplop coklat di tangannya sambil berlalu dan dibalas anggukan ramah dari Intan. Rayhan membaca data diri Thalia dengan seksama, sesekali ia melihat pas foto yang turut dilampirkannya. "Masih sangat muda dan anak rantau," gumam Rayhan sambil membolak-balik data Thalia. "Di fotonya sih, lucu, make upnya gak berlebihan." Rayhan membayangkan bagaimana jika sekertarisnya seimut ini? "Ah apa-apaan?" Rayhan mengenyahkan pikirannya yang membayangkan gadis muda itu? Terpaut cukup jauh dengan Rayhan yang sudah berusia tiga puluh lima tahun. Pria itu bahkan sudah masuk SMA saat Thalia lahir. Rayhan terkekeh pelan membayangkan dirinya yang sudah tidak lagi muda. Tetapi, pikirannya kembali teralihkan pada data Thalia. Apa ia akan menerima gadis itu bekerja di perusahaannya? Sedangkan, gadis itu belum berpengalaman sama sekali. "Ini ada nomor teleponnya. Ah, aku suruh Intan saja yang menghubunginya," gumam Rayhan sambil mengangkat gagang telpon dan menghubungkannya dengan sang resepsionis. **** Thalia menyadarkan punggungnya yang terasa agak pegal setelah melamar pekerjaan ke beberapa tempat hari ini. Ia bahkan baru melepas sepatunya saat tiba di kostan. "Wish me luck!" Tiba-tiba gadis itu mengingat keluarganya, meski baru dua hari pergi rasa rindunya sudah seperti dua tahun tidak bertemu. Pasalnya ia tak pernah pergi jauh dari rumahnya. Baru saja ia akan menelpon ibunya, terdengar ketukan di pintu depan dan membuatnya segera bergegas. "Iya, sebentar!" katanya setengah berteriak. "Halo, Sepupu!" sapa seorang gadis dari balik pintu, tak lepas senyum dari bibirnya. "Yeu, datang tuh salam, Tami!" Thalia memutar bola matanya. Ternyata sepupunya datang hari ini, padahal saat ditelepon gadis bernama Tami itu mengatakan tengah sibuk kuliah dan akan mengunjunginya keesokan harinya. "Katanya mau datang besok? Aku belum mandi, baru pulang," "Surprise!"pekik Tami dengan cengiran tanpa dosanya. "Jangan salahin aku kalau gak ada apa-apa," kemudian keduanya masuk ke dalam kost sederhana yang ditempati Thalia dua hari ini. "Kamu ini, kayak gak punya siapa-siapa aja pake ngekost! Aku, Mama sama Papa nunggu kamu tau! Pintu rumahku terbuka buat kamu!" sembur Tami pada sepupunya. Thalia hanya membalasnya dengan senyum tipis dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalau ada apa-apa atau butuh apa-apa cepat hubungi aku, oke!" omel Tami lagi. "Iya bawel iya!" Thalia membalasnya dengan memencet gemas hidung sepupunya itu. "Eh iya, Lia. Kamu ngelamar kerja kemana aja?" tanya Tami mengalihkan topik. "Lumayan lah, ada beberapa." Kedua gadis sebaya itu terus memperbincangkan banyak hal. Meski tinggal berjauhan, tapi mereka sering bertemu dan sangat akrab sejak kecil. "Ponsel kamu bunyi tuh," tunjuk Tami dengan dagunya saat ponsel Thalia berbunyi nyaring dan terpaksa menghentikan obrolan serunya. Thalia mengecek siapa yang menelponnya sore-sore begini. "Iya, saya Thalia Anandita," jawab Thalia ragu. "....." "Ah iya, Mbak Intan? Wijaya's Corp? Besok ya? Baik, terimakasih," Thalia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. "Tami, tahu gak? Masa aku dapat panggilan interview besok?" ungkap Thalia pada sepupunya itu. "Kok cepat, Li? Bukannya kamu baru ngelamar tadi?" tanya Tami kaget. "Iya mungkin lagi butuh kali." "Iya kali. Good luck ya! Semoga betah dan jangan lupa kabarin aku," ujar Tami sambil bangkit dari duduknya. "Lah, Tami mau pulang? Dikira mau nginep," Thalia mengungkapkan kekecewaannya. "Ada juga kamu nginep di rumah aku. Maaf ya, Lia. Tugas aku numpuk banget," Tami merasa tidak enak pada sepupunya. Dengan berat Thalia memaklumi Tami. Begitupun Tami, sepertinya masih betah berlama-lama dengan sepupunya itu. Setelah berpelukan, akhirnya Tami pamit dan berlalu dari hadapan Thalia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD