1. Perjodohan yang tidak diduga
Langit pagi ini tampak agak mendung, matahari masih bersembunyi di balik awan . Di dalam mobil yang melaju pelan menembus jalanan sepi menuju pinggiran kota, Meylin duduk diam di kursi samping suaminya yang membawa mobil itu sambil menatap ke luar jendela. Bayangan pepohonan yang berlari mundur di kaca seolah menggambarkan pikirannya, bercampur antara ragu dan harapan.
Sudah satu minggu sejak pesta pernikahan mereka digelar. Selama itu pula Meylin dan Byantara tinggal di mansion milik ibu mertuanya, rumah besar yang terasa asing baginya, meski setiap sudutnya dipenuhi kemewahan. Kini, untuk pertama kalinya, mereka akan benar-benar memulai hidup sebagai suami istri di rumah baru yang telah disiapkan Byantara di luar kota.
Namun suasana di dalam mobil terasa hening. Tidak ada percakapan berarti selain suara lembut mesin yang beradu dengan deru angin. Sesekali, Meylin melirik ke arah Byantara yang tengah fokus menyetir. Wajah lelaki itu terlihat tenang, tapi tatapannya dingin dan jauh, seakan pikirannya berada entah di mana.
Meylin menarik napas pelan.
“Rumahnya jauh juga, ya,” ucapnya sekadar memecah keheningan.
Byantara menoleh sekilas, kemudian tersenyum tipis. “Sedikit di luar kota. Lebih tenang,” jawabnya singkat.
Tenang. Kata itu terulang di benak Meylin. Entah mengapa terasa seperti ironi, karena hatinya justru tidak tenang sama sekali. Ia ingin percaya bahwa kehidupan barunya akan membawa kebahagiaan, tapi setiap kali menatap suaminya, ada jarak tidak kasat mata yang membuatnya merasa sendirian.
Mobil terus melaju, melewati jalan berbatu yang mulai menanjak. Dari kejauhan, tampak siluet rumah bergaya Eropa, dengan taman yang luas di depannya. Pemandangan yang indah, sebuah rumah di atas bukit seperti menyambut dua insan yang akan memulai babak baru dalam hidup mereka.
Meylin tersenyum kecil, berusaha menumbuhkan semangat baru dalam dirinya. Ia menggenggam jemarinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya, bahwa mungkin saja... di rumah baru ini, akan ada harapan baru juga.
*****
Enam Bulan Sebelum Pernikahan
Udara sore Jakarta menyapa lembut ketika Meylin melangkah keluar dari taksi bandara. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di luar negeri, akhirnya ia kembali ke rumah. Di wajahnya terselip lelah, tapi bukan hanya karena perjalanan panjang, melainkan karena hati yang masih remuk oleh pengkhianatan yang tidak pernah ia duga.
Kekasih yang selama ini menemaninya menempuh kuliah di luar negeri, yang dulu berjanji akan menunggu hingga mereka sukses bersama dan menikah setelah mereka lulus, ternyata berselingkuh. Yang lebih menyakitkan adalah Andi berselingkuh dengan teman satu apartemen yang sudah ia anggap sahabat sendiri, di hari Meylin wisuda.
Namun semua itu disimpan Meylin rapat-rapat. Ia tidak ingin ibunya tahu, tidak ingin membuat perempuan yang telah membesarkannya itu ikut bersedih, apalagi akhir-akhir ini kesehatan sang ibu agak memburuk. Dia hanya berkata pada ibunya kalau mereka berpisah karena berbeda prinsip.
Sore itu, ibunya menyambut dengan pelukan hangat dan tatapan penuh rindu.
“Anakku sudah pulang juga,” ucapnya lembut, sambil menepuk punggung Meylin.
Meylin tersenyum, mencoba menyembunyikan getar suaranya. “Akhirnya, Bu. Aku juga kangen rumah,, kangen ibuku tersayang.”
Hari-hari berikutnya berjalan damai. Meylin menghabiskan waktu di rumah, membantu ibunya, dan menolak beberapa tawaran pekerjaan yang datang. Ia masih butuh waktu untuk menata diri, untuk melupakan luka yang belum sembuh. Tapi di mata sang ibu, semua itu terlihat berbeda.
“Meylin, kamu sudah cukup umur dan sudah sukses dengan pendidikan mu. Pada akhirnya seorang perempuan akan menikah juga, itu sudah menjadi kodrat kita,” ujar sang ibu suatu sore, saat mereka duduk di ruang tamu sambil menikmati teh.
“Ibu khawatir kamu terlalu sibuk mengejar karier nanti, sampai lupa menikah. Ibu cuma ingin melihatmu bahagia dengan keluarga kecilmu sendiri. Mempunyai seorang suami yang akan melindungi mu, agar ibu bisa merasa tenang.”
Meylin menatap ibunya dengan senyum samar. “Bu, aku baru pulang, belum sempat mikir sejauh itu.”
Tapi sang ibu ternyata sudah bersiap dengan sesuatu. Ia meletakkan beberapa foto pria di atas meja dengan ekspresi penuh semangat.
“Lihat ini, Lin. Semua dari keluarga baik-baik, dan mereka serius mencari pasangan hidup. Siapa tahu salah satunya cocok.”
Meylin memandangi foto-foto itu, lalu tertawa kecil.
“Ibu ini mirip sales, tahu nggak? Semua difotonya ditata seperti katalog dagangan.”
Sang ibu ikut tertawa, walau tatapannya tetap serius. “Kalau tidak Ibu yang berusaha, siapa lagi? Ibu cuma takut kamu menunda terus. Ibu tidak mau kamu jadi perawan tua hanya karena terlalu sibuk bekerja.”
Tawa Meylin perlahan mereda. Ia menatap satu per satu foto di tangannya, masih dengan nada menggoda, sampai matanya berhenti pada satu gambar.
Meylin yang tadinya tidak serius dengan permintaan ibunya dan menjawab santai, tawanya perlahan terhenti. Matanya terpaku pada satu foto di antara tumpukan itu, seorang pria dengan wajah tegas dan sorot mata tajam namun tenang. Ada sesuatu yang familiar di sana.
Deg.
Jantung Meylin berdetak lebih cepat. Ia menatap lebih lama, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat pria itu. Dan seketika, potongan kenangan lama muncul di kepalanya.
seorang laki-laki yang terjun ke sungai demi menarik tangannya yang hampir tenggelam. Nafas terengah, pakaian basah kuyup, dan suara lembut yang berkata, “Tenang, kamu sudah aman.”
Waktu itu Meylin masih duduk di kelas sepuluh, dan sejak hari itu, wajah penyelamatnya tidak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.
Dan kini, setelah bertahun-tahun, pria itu muncul lagi, dalam bentuk foto perjodohan.
Kini wajah itu tampak lebih dewasa, lebih matang, lebih memikat. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibir Meylin.
“Yang ini saja, Bu,” ucapnya pelan, menunjuk foto tersebut.
Sang ibu menatapnya heran, tidak menyangka Meylin secepat itu setuju dengan permintaannya. Ibunya tersenyum bahagia. “Kamu yakin? Ibu juga suka yang ini. Namanya Byantara, ibu dan ibunya bersahabat cukup dekat. Orangnya sopan dan pekerja keras. Makanya ibunya mencari jodoh untuk anaknya, katanya Byantara kegiatannya hanya bekerja terus, kalau tidak dicarikan istri, bisa-bisa tidak nikah-nikah.”
"Aku tahu Bu, orangnya memang baik," ujar Meylin tersenyum.
"Memang kamu mengenalnya?" tanya sang ibu.
Meylin hanya mengangguk samar. “Pernah bertemu sekali, dia tengah menolong orang. Tetapi biarkan kami mengenal nanti saja, takutnya dia sudah lupa dengan pertemuan kami waktu itu, atau aku salah mengenal orang. Kupikir usul ibu ada benarnya juga, ada baiknya langsung menikah saja. Pacaran terlalu lama belum tentu berakhir bahagia.”
Ia berkata sambil tersenyum tenang, meski dalam hatinya ada rasa getir yang tidak bisa dijelaskan.
Sang ibu menggenggam tangan putrinya dengan penuh syukur, tidak tahu bahwa keputusan itu lahir dari hati yang masih terluka, dan mungkin juga dari takdir yang diam-diam menuntun mereka berdua.
"ibu tidak mau lama-lama, besok ibu akan mengatur pertemuan mu dengan Byantara. ibu harap setelah pertemuan ini kalian bisa cocok dan melanjutkan ke jenjang pernikahan," harap sang ibu.
Bersambung......
komennya diisi ya sayang2 ku, biar semangat authornya🥰