Malam itu langit begitu indah, bertabur bintang yang berkilau lembut di antara awan tipis. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma bunga dari taman sekitar restoran tempat pertemuan dijadwalkan. Meylin memandang langit sejenak dari dalam mobil, bibirnya melengkung kecil.
Entah kenapa, langit malam itu terasa menenangkan. Seolah memberi pertanda baik untuk pertemuan yang akan mengubah hidupnya.
Ia turun dari mobil dengan langkah tenang, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, warna yang selalu membuatnya merasa damai. Restoran itu tidak terlalu mewah, tapi suasananya elegan dan hangat, cocok untuk pertemuan dua orang yang belum saling mengenal namun diikat oleh niat yang sama: perjodohan.
Saat melangkah masuk, Meylin sempat menoleh ke sekitar. Beberapa pasangan tampak berbincang hangat, sementara pelayan menyambutnya dengan senyum ramah. Ia memeriksa jam di pergelangan tangannya, baru pukul tujuh lewat lima belas.
Ternyata ia datang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan.
Senyumnya muncul lagi, kali ini disertai tawa kecil yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
“Seperti biasa, aku terlalu cepat,” gumamnya pelan.
Namun ia memang lebih suka begitu. Sejak lama, Meylin memegang prinsip: lebih baik datang lebih awal daripada membuat orang lain menunggu. Kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun di luar negeri, di mana menghargai waktu adalah bentuk menghargai orang lain.
Sambil menunggu, ia duduk di meja yang sudah dipesankan ibunya, menghadap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota. Lampu-lampu jalan tampak berpendar lembut, berpadu dengan gemintang di langit.
Sesekali ia menyesap air putih yang disajikan, mencoba menenangkan diri. Ada sedikit gugup yang sulit dihindari. Bagaimanapun, malam ini ia akan bertemu pria yang mungkin akan menjadi suaminya.
Pikirannya sempat melayang. Bagaimana sosoknya di dunia nyata? Apakah masih sama seperti di foto itu? Apakah ia masih memiliki sorot mata yang tenang seperti dulu, saat menyelamatkanku di sungai itu? Apakah dia masih mengenaliku?
Meylin menatap pintu masuk restoran. Setiap kali seseorang masuk, dadanya berdebar sedikit lebih cepat, namun belum juga sosok yang ia tunggu muncul.
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Mungkin sebentar lagi…” bisiknya lirih.
Di luar, bintang-bintang tampak semakin terang. Malam terasa tenang, tapi di hati Meylin mulai tumbuh rasa yang sulit dijelaskan, antara gugup, penasaran, dan harapan yang diam-diam ia pupuk sendiri.
******
Pintu restoran terbuka, dan sosok pria tinggi dengan langkah tenang memasuki ruangan. Pandangan Meylin spontan terarah padanya.
Pria itu, mengenakan kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans biru gelap. Penampilannya sederhana, tapi tetap rapi. Ada kesan santai sekaligus berwibawa yang memancar tanpa ia perlu berusaha.
Meylin sempat terpaku. Ia tidak menyangka, Byantara jauh dari bayangannya. Dalam pikirannya, calon pewaris perusahaan keluarga seperti dia pasti datang dengan jas rapi, sepatu mengilap, dan sikap kaku penuh aturan. Tapi yang muncul justru seseorang yang tampak lebih manusiawi: tenang, sederhana, dan… hangat.
Senyum tipis muncul di bibir Meylin tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang menenangkan dari caranya melangkah, dari tatapan mata yang tidak menilai, hanya menatap dengan tenang seolah sedang memerhatikan dunia apa adanya.
Dari cerita yang ia dengar, Byantara memang bukan pria yang suka keramaian. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan tanaman-tanamannya di kebun rumah keluarga, menikmati kesunyian dan udara segar. Temannya tidak banyak, hanya segelintir orang yang benar-benar ia percayai. Ibunya bahkan sempat berpesan agar calon menantunya kelak bisa memahami sifat Byantara yang pendiam dan tidak mudah terbuka.
Semakin Meylin memperhatikannya, semakin ia merasa… mungkin ini memang takdir yang tepat.
Ia teringat pada Andi, mantan kekasihnya. Pria yang supel, pandai bicara, selalu dikelilingi teman-teman dan tawa. Tapi justru di balik keramahan itu, Andi menyimpan pengkhianatan yang tidak pernah ia duga.
Sekarang, melihat sosok Byantara yang kalem dan terkesan jujur, Meylin justru merasa lebih aman.
Mungkin benar, pikirnya pelan. Pria seperti ini yang seharusnya kupilih. Bukan yang pandai merayu, tapi yang diam-diam bisa membuat hati tenang.
Saat pelayan mengantar Byantara ke meja yang sama, Meylin buru-buru menegakkan duduknya. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, namun ada senyum halus yang menenangkan di wajahnya.
Ini mungkin awal dari kisah yang tidak pernah ia rencanakan… tapi diam-diam ia harap akan berakhir bahagia.
*****
Tanpa sadar, Meylin melirik jam di pergelangan tangannya. Tepat waktu. Masih kurang tiga menit dari janji mereka, dan sosok itu sudah muncul di depan restoran.
Senyum kecil menghiasi wajahnya. Rasa kagum pada pria yang baru ia kenal dari foto kini semakin tumbuh.
Begitu Byantara melangkah masuk, Meylin segera bangkit dari duduknya. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya, lalu memasang senyum manis ketika pandangan mereka akhirnya bertemu.
Tatapan mata Byantara sekilas saja, tapi cukup untuk membuat Meylin yakin, pria ini memang berbeda.
Dengan langkah mantap, Meylin mengulurkan tangan lebih dulu.
“Nama saya Meylin, senang mengenal Anda,” sapanya sopan, nada suaranya lembut namun penuh percaya diri.
Byantara menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya. Sentuhannya ringan, hanya sekilas menyentuh ujung jari sebelum segera dilepaskan.
“Byantara,” jawabnya singkat, suaranya tenang dan dalam.
Ia kemudian menunduk sedikit, lalu dengan isyarat halus menunjuk kursi di hadapan Meylin, memberi tanda agar ia duduk kembali.
Gerakannya sederhana tapi berwibawa, membuat Meylin tanpa sadar menuruti isyarat itu dengan anggun.
Sejenak, suasana di antara mereka terasa hening.
Pelayan datang membawa dua buku menu, namun Meylin bahkan belum membuka miliknya, matanya masih menatap pria di depannya yang kini duduk tenang, menatap pemandangan di luar jendela dengan ekspresi sulit ditebak.
"Pilih sesuai selera mu saja," ujar Byantara yang kembali menghadap ke arahnya.
Ada jarak di antara mereka, tapi bukan jarak yang membuat risih. Justru ada sesuatu yang menenangkan, seperti keheningan yang mengizinkan mereka mengenal satu sama lain tanpa kata, menurut Meylin.
Pelayan meninggalkan mereka berdua setelah mencatat pesanan. Suasana meja itu menjadi hening, hanya diisi suara musik lembut dari pengeras suara restoran dan denting sendok dari meja lain.
Meylin mencoba membuka percakapan.
“Tempatnya nyaman, ya. Ibu Anda yang memilihkannya?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
Byantara menatapnya sebentar, lalu mengangguk singkat.
“Ya. Ibu saya yang mengatur semuanya,” jawabnya datar, kemudian menyesap air putih di depannya tanpa menatap lagi ke arah Meylin.
Senyum di bibir Meylin perlahan memudar, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia sadar, mungkin ini hanya sifat alami pria itu, pendiam dan tidak banyak bicara.
“Kalau begitu… sepertinya Ibu Anda tahu tempat yang bagus,” ucap Meylin lagi, mencoba mencairkan suasana.
Byantara hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang, nyaris tanpa perubahan.
Sekilas, Meylin memperhatikan sosok di depannya. Tubuh itu tegap, wajahnya tegas dengan rahang kokoh, namun sorot matanya menyimpan sesuatu. Bukan dingin karena angkuh, melainkan dingin yang lahir dari sesuatu yang lebih dalam: mungkin kesedihan, atau perasaan yang belum tuntas.
Berbeda jauh dengan pertama kali mereka bertemu dulu. Saat itu, Byantara masih kurus dan jangkung, tapi sikapnya hangat, penuh perhatian, meski mereka belum saling mengenal dekat. Mungkin kini, Byantara telah melupakan masa itu. Namun bagi Meylin, kenangan itu masih tersimpan rapi, terlalu berarti untuk dilupakan begitu saja.
Ia menunduk sejenak, menatap jemarinya sendiri yang saling menggenggam di atas meja.
Mungkin ini hanya perasaan saja. Mungkin memang begini caranya menghadapi orang baru.
“Kalau boleh tahu,” Meylin memberanikan diri lagi, “Anda suka tanaman, ya? Ibu Anda bilang begitu.”
Kali ini Byantara menatapnya sedikit lebih lama. Ada kerlip kecil di matanya, tapi suaranya tetap datar saat menjawab,
“Ya, saya suka hal-hal yang… tidak terlalu banyak bicara.”
Kalimat itu menggantung di udara, seperti angin dingin yang melewati d**a Meylin pelan-pelan. Ia hanya bisa tersenyum tipis, berusaha memahami.
Dalam hati, ia berbisik, Mungkin aku harus belajar berbicara dengan diamnya.
Mereka kembali terdiam, hanya diisi oleh suara lembut pelayan yang membawa hidangan. Meylin menatap makanan di depannya tanpa benar-benar lapar, sementara di seberang, Byantara sibuk dengan pikirannya sendiri, pikirannya yang mungkin bukan tentangnya.
Dan malam itu, di bawah langit bertabur bintang yang semula terasa hangat, perlahan berubah dingin.
Tapi bagi Meylin, dingin itu bukan alasan untuk mundur. Justru di situlah, ia mulai berjanji dalam hati, jika ini takdirku, aku akan berusaha membuatnya mencintaiku, perlahan… walau dari hati yang beku.
Bersambung.......