Byantara bangkit dari duduknya, meraih ponselnya yang terus bergetar di atas meja. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan menjauh, bukan sekadar beberapa langkah, tapi sampai ke sudut ruangan yang terasa cukup jauh dari tempat Meylin.
Meylin mengangkat wajahnya perlahan, mengikuti jejak langkah suaminya dengan pandangan yang dipenuhi tanya dan kecemasan. Ada yang terasa berbeda. Memang benar, Byantara bukan laki-laki yang mudah bercerita. Tapi jarak yang ia bentuk dari panggilan yang masuk itu bukan sekadar kebiasaan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Mas Byan… punya teman perempuan? gumam batinnya lirih, kalimat yang bahkan tidak berani ia jadikan suara. Ia buru-buru mengusir pikiran itu jauh-jauh, sebelum sempat tumbuh menjadi kecurigaan.
Mungkin itu sekretarisnya. Atau klien bisnis. Iya… pasti begitu.
Meylin mengepalkan kedua tangan yang diletakkannya di pangkuan. Ia menenangkan dadanya sendiri, memaksa diri untuk percaya, bahwa ketulusan jauh lebih mulia daripada kecurigaan. Ia tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu tetapi dia juga tidak mau menghakimi seseorang hanya karena luka yang ia bawa sendiri.
Sejak menikah, mungkin baru sedikit saja ruang yang dibuka Byantara untuknya. Namun dari caranya memperlakukan Meylin, dari sikap dingin yang sesekali mencair, dari gestur kecil yang mungkin tidak ia sadari sendiri, ada ketulusan yang perlahan mulai terlihat.
Dan itu cukup bagi Meylin.
Cukup untuk membuatnya yakin, bahwa ia harus mempercayai suaminya. Karena kepercayaan, adalah fondasi pertama agar pernikahan mereka bisa melangkah lebih jauh, lebih tenang dan lebih indah.
Meylin tidak pernah bermain-main dalam hal apa pun, terutama tentang pernikahan. Sejak dulu, dia berpegang pada satu prinsip:
Menikah adalah untuk seumur hidup.
Dia ingin mencintai dan dicintai dengan sungguh-sungguh. Menapaki hari demi hari bersama seseorang yang menggenggam tangannya, sepanjang hidup.
Dia ingin menua bersama, sampai uban menghiasi rambut mereka dan kerutan menjadi saksi cinta yang tetap bertahan, sampai maut memilih salah satu dari mereka lebih dulu.
******
Sementara itu, begitu merasa jaraknya cukup aman, Byantara mengangkat ponsel itu. Suaranya sengaja ia rendahkan, nyaris seperti berbisik.
“Ada apa, Wi?”
"Byan!” suara Dewi menyambar cepat, terdengar seperti seseorang yang tengah menuntut haknya.
“Aku barusan ke perusahaanmu. Asistenmu bilang kamu tidak masuk hari ini. Apakah kamu pergi bulan madu sama istrimu? Bukankah kamu sudah berjanji padaku kalau kamu tidak bakal bulan madu, kan? Atau ... jangan-jangan perempuan itu menuntut mu untuk pergi bulan madu dan kamu tidak bisa menolaknya. Aku tahu, biasa gadis kaya itu banyak maunya!"
Nada menuduh Dewi tidak hanya terdengar kecewa, tapi juga cemburu. Seolah-olah dialah yang menjadi istri sah dalam cerita ini. Bahkan mencap kalau gadis kaya banyak maunya, padahal Dewi sendiri yang berasal dari keluarga sederhana saja banyak maunya.
Byantara menutup mata, menarik napas panjang, dan membiarkan kepenatan itu menyelinap ke setiap sudut batinnya. Ia sempat melirik ke arah Meylin, tidak ada perubahan di wajah itu. Meylin masih duduk anggun, tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu atau curiga. Bahkan ekspresinya begitu tenang.
Dan justru itu membuat batin Byantara dilanda gelombang baru, rasa bersalah yang tiba-tiba hadir tanpa diminta. Apalagi dia merasa semua yang dituduhkan Dewi, sama sekali tidak benar, Meylin bukan perempuan seperti itu.
“Sudahlah, Wi,” ucapnya dengan nada yang ia usahakan tetap tenang. “Untuk apa kamu ke perusahaan? Kamu tahu kan, orang-orang di sana suka bergosip. Kalau ada yang lihat kamu nyari aku seperti itu, mereka bisa salah paham. Yang ada nanti malah bikin masalah barul”
Jawabannya mungkin terdengar datar, tapi sejatinya ia menahan banyak hal. Rumah tangganya yang baru berjalan satu hari sudah penuh dengan utang rahasia, dan suaranya dipenuhi ketakutan akan satu hal, kalau ibunya tahu. Byantara khawatir sakit jantung ibunya akan kambuh.
Dewi terdiam sesaat. Tapi kemudian suaranya terdengar lebih tajam, mengiris.
“Kamu takut ketahuan? Atau kamu memang sudah tidak mau lagi aku ada di hidupmu cuma karena kamu punya istri sekarang? Apakah kamu mau melanggar janji mu padaku?”
Byantara memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Suara Dewi selalu berhasil mengaduk emosinya, apalagi saat suaranya sudah berubah seperti itu, seolah memintanya memilih antara ketulusan dan pengkhianatan.
“Dewi, kamu salah paham…”
“Oh.. jadi aku yang salah paham?” potong Dewi cepat. Suaranya meninggi. “Selama ini aku yang jadi tempat kamu pulang kalau kamu capek. Aku yang selalu sabar mendengar semua unek-unek mu, aku sangat mengenal mu Byan! Aku merasa ada sesuatu yang berubah pada diri mu!"
Ada jeda. Dan setelahnya, suara Dewi tidak lagi meninggi, tapi justru melemah… terdengar seperti luka yang menganga.
“Aku pikir, meski kamu nikah sama perempuan pilihan keluarga kamu itu, kamu masih butuh aku. Tapi ternyata kamu mulai berubah? Padahal ini belum juga sepuluh hari. Aku ini apa buat kamu, Byan?”
Byantara terdiam. Kata-kata itu terasa seperti pukulan keras, bukan karena benar… tapi karena disampaikan dengan keputusasaan.
Dan tidak lama kemudian, Dewi melanjutkan, suaranya bergetar.
“Kita punya rencana, kan? Kamu sengaja tinggal jauh, supaya kamu tidak merasa terikat. Tinggal di rumah pinggir kota itu, datang ke perusahaan pagi, pulang malam. Tapi sekarang kamu malah memilih tidak ke perusahaan dan diam di rumah kampung kamu itu. Bagaimana aku tidak resah, sayang?”
Sekali lagi, keheningan menyergap. Byantara akhirnya membuka mata, menatap lantai seolah di sanalah jawaban dapat ia temukan. Bukan kemarahan yang kini mengalir, tapi keraguan kepada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu marah, padahal Dewi berkata setengah dari apa yang ia rasakan? Bahkan saat ini dia mulai sering membandingkan Dewi dan Meylin tanpa sadar.
Apa ia mulai berubah?
“Apa kamu masih dengar aku? Sayang?” suara Dewi memanggilnya, terdengar seperti seseorang yang takut kehilangan kendali.
Byantara menghela napas panjang. Ia tidak ingin berdebat lagi. “Dewi…” suaranya terdengar lebih tegas. “Kamu yang minta aku menikah dengan pilihan ibu. Kamu yang bilang itu hanya soal waktu. Kalau kamu tidak percaya, kenapa kamu mendesak aku dulu?”
Jeda.
“Aku tidak ke perusahaan karena aku pengen halaman ini cepat selesai. Selama aku di sini, lebih baik aku selesaikan sekalian sampai tuntas. Dan kalau kamu terus curiga begini… mungkin kita harus pikir ulang perjanjian kita. Kalau kamu merasa aku bukan lagi orang yang kamu percaya dan merasa dirugikan, kamu bisa cari pria lain yang cocok dengan kamu. Aku tidak akan menyalahkan mu.”
“Byan…” suara Dewi melemah, berganti isak lembut yang ia tahu selalu berhasil meluluhkan hati pria itu. “Maaf… aku terlalu cemburu membayangkan kamu hanya berdua saja dengannya di tempat sepi seperti itu. Aku cuma takut kehilangan kamu, sayang. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Kamu jangan pernah minta aku dengan pria lain, hanya kamu yang ada di hati ku. Aku lebih baik mati, kalau kamu memutuskan hubungan kita.”
Namun kali ini, sepertinya tidak sama dengan yang dulu. Byantara hanya menutup matanya sejenak, lalu mengakhiri panggilan itu.
“Jangan berkata yang tidak-tidak, Wi. Besok aku ke perusahaan. Aku akan ke apartemen kamu untuk bicara, bukan di telepon seperti ini.”
Panggilan terputus. Suasana menjadi senyap kembali.
Di sofa, Meylin masih duduk tegak dan anggun. Ia tidak tahu isi percakapan itu, tapi ia melihat perubahan ekspresi suaminya. Sorot mata yang semula jernih kini tampak gusar, rapuh, seperti seseorang yang baru saja kehilangan kendali. Namun alih-alih bertanya, Meylin memilih diam, memberi ruang.
Tanpa ia tahu, baru saja ada seseorang di balik telepon yang memanggil suaminya dengan sebutan "sayang".
Bersambung.......