4. Harga sebuah perpisahan

1214 Words
Pagi itu, matahari baru menyapa halaman depan mansion keluarga Santara. Burung-burung kecil berkicau di antara pohon flamboyan yang tumbuh rapi di taman. Namun, bagi Byantara, suasana itu terasa hampa. Byantara baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi lokasi proyek sejak subuh, dan belum sempat beristirahat ketika suara ibunya terdengar dari ruang makan. “Byan, kemari sebentar,” panggil sang ibu dengan nada datar, tapi tegas seperti biasa. Byantara menahan napas sejenak sebelum melangkah masuk. Di meja makan, ibunya duduk anggun mengenakan setelan warna krem, memegang cangkir teh porselen. Tatapannya tajam tapi tenang, seperti selalu bisa membaca isi kepala siapa pun di depannya. “Duduklah,” ucapnya. Byantara menuruti tanpa banyak bicara. Beberapa detik keheningan berlalu sebelum ibunya kembali bersuara. “Jadi, bagaimana pertemuanmu dengan Meylin semalam?” Byantara mengangkat pandangan, berusaha terdengar tenang. “Baik, Bu. Kami hanya berbicara sebentar.” “Sebentar?” Alis sang ibu terangkat halus. “Kau tidak menyukainya?” “Dia tampak sopan dan cerdas,” jawab Byantara hati-hati. “Tapi sepertinya… terlalu modern.” “Modern?” sang ibu meneguk tehnya pelan, bibirnya tersenyum tipis. “Kau takut dia tidak akan tunduk padamu?” “Bukan begitu,” sahut Byantara cepat. “Hanya saja, saya rasa dia… bukan tipe yang mudah diarahkan.” Ibunya tertawa kecil. “Baguslah kalau begitu.” Byantara menatap ibunya, bingung dengan jawaban itu. “Perempuan yang terlalu penurut justru mudah dipermainkan, Byan,” lanjutnya pelan. “Aku ingin menantuku bukan hanya cantik, tapi juga kuat. Perempuan yang bisa mengimbangi keras kepalamu.” Byantara terdiam. Ia tahu ibunya jarang memuji siapa pun, apalagi calon menantu. Tapi kali ini, nada suara ibunya terdengar berbeda, seolah benar-benar puas dengan pilihannya. “Aku sudah bicara dengan ibunya Meylin,” ucap sang ibu lagi. “Mereka keluarga terhormat. Tidak perlu kau ragukan latar belakangnya.” Byantara menunduk, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja. “Bu, aku masih belum yakin soal pernikahan ini.” Sang ibu meletakkan cangkir teh dengan perlahan. Tatapannya berubah tajam, menusuk seperti belati. “Byantara.” Nada suaranya turun satu oktaf. “Sudah terlalu lama kau menunda. Aku tidak akan melihat anakku mengulang kesalahan ayahmu, mengejar perempuan yang hanya akan menjerumuskanmu.” Byantara terdiam, kedua tangannya terkepal di pangkuan. Di satu sisi, ia ingin membantah. Tapi di sisi lain, kata-kata ibunya selalu punya kekuatan yang membuatnya tidak berdaya. Byantara sangat menghormati sang ibu, ibunya yang membesarkannya sendiri sejak usia lima belas tahun, setelah ayah mereka lebih memilih perempuan yang lebih muda dari ibunya. “Aku sudah memilih perempuan terbaik untukmu,” lanjut sang ibu. “Meylin bukan hanya cerdas, tapi juga punya latar belakang yang bersih. Tidak ada alasan untuk menolak.” Byantara menarik napas dalam. “Bagaimana kalau aku belum bisa melupakan...” “Cukup!” potong sang ibu tajam, tatapannya menembus. “Kalau kau masih memikirkan perempuan itu, berarti kau belum belajar apa-apa dari masa lalu ayahmu.” Suasana hening beberapa saat. Byantara hanya bisa menunduk, menatap ujung jarinya sendiri. Sang ibu berdiri anggun, merapikan selendang di pundaknya, lalu berkata datar, “Pernikahanmu akan tetap berjalan. Aku sudah berbicara dengan keluarga Meylin. Kau hanya perlu bersikap sewajarnya sampai hari itu tiba.” Sebelum meninggalkan ruangan, sang ibu berhenti sejenak di depan pintu. “Dan satu hal lagi, Byan,” katanya pelan tapi menusuk. “Belajarlah mencintai perempuan yang tepat, sebelum kau kehilangan segalanya seperti ayahmu.” Byantara hanya bisa memejamkan mata. Dalam hatinya, nama Dewi kembali bergema pelan, seperti bayangan yang enggan hilang. ****** “Ambil uang itu, atau kau tidak akan mendapatkan apa-apa sama sekali!” suara Risma, ibu Byantara terdengar tajam, menusuk di antara keheningan ruang tamu yang megah itu. Tatapannya dingin, nyaris tanpa ekspresi, ketika ia mendorong selembar cek ke arah Dewi yang kini duduk kaku di hadapannya. Dewi diminta datang menemuinya saat Byantara berada di perusahaan. Dewi menatap cek itu lama, sebelum mengangkat pandangannya. “Tante, aku mencintai Byantara dengan sungguh-sungguh,” ucapnya lirih tapi tegas. “Aku tidak bisa meninggalkannya hanya karena uang.” Senyum sinis terbit di bibir Risma. “Cukup sudah sandiwaramu,” katanya dingin. “Aku tahu perempuan seperti kamu, Dewi. Aku tahu latar belakang keluargamu yang pas-pasan. Dan aku tahu, untuk artis yang masih merintis seperti kamu, uang dan penampilan adalah segalanya. Kau pikir aku tidak tahu kalau Byan sering mensponsori mu?” “Tante salah menilai saya...” “Salah?” Risma memotong cepat. “Jangan munafik, Nak. Perempuan sepertimu tidak akan bertahan lama tanpa uang. Hari ini kau bilang cinta, besok bisa berubah kalau saldo rekeningmu kosong.” Ia lalu melempar cek itu ke meja, hingga kertas tipis itu melayang dan mendarat tepat di depan Dewi. “Ambil. Satu Milyar. Cukup untuk membayar semua kebutuhanmu, dan mungkin sedikit harga dirimu.” Dewi menatap angka yang tercetak di atas kertas itu. Nominalnya besar, bahkan lebih besar dari total penghasilannya selama ini. Tangannya bergetar tanpa sadar. Namun di balik keraguannya, ada rasa sakit yang sulit dijelaskan. “Tante pikir cinta saya bisa dibeli semurah ini?” tanya Dewi dengan suara nyaris bergetar. Risma menyandarkan punggungnya, menatap dengan dingin. “Cinta?” ia tersenyum miring. “Cinta tidak bisa memberi rumah, tidak bisa membayar tagihan, dan tidak bisa membeli masa depan, Nak. Jangan terlalu naif.” Dewi terdiam. Kata-kata itu seperti racun yang perlahan meresap. Ia tahu, sebagian dari ucapan Risma ada benarnya. Dunia hiburan yang ia geluti memang keras, dan selama ini, Byantara yang selalu menutupi kekurangannya, diam-diam membayar sewa apartemen, membantu biaya keluarganya, bahkan membelikan busana untuk audisi. Sekarang, di hadapannya, ada cek bernilai satu miliar rupiah. Dan sekaligus ancaman yang tersirat jelas: kalau ia menolak, ia akan kehilangan segalanya, termasuk Byantara. Dewi tahu, Byantara tidak berani melawan ibunya, Byantara khawatir dengan sakit jantung sang ibu. Risma mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya pelan tapi penuh tekanan. "Ambil, atau kau akan menyesal tidak mendapat apa-apa. Kau hanya perlu memutuskan hubungan dengan Byantara agar dia mau menikah dengan gadis pilihanku. Saat itu, uang ini akan cair ke rekeningmu,” ujar Risma dingin. Dewi menunduk, merasakan berat dunia seolah menekan bahunya. Di hadapannya, cek bernominal besar itu berkilau seperti janji palsu. Nafasnya tersengal, lalu ia menghela napas panjang, sebuah napas yang lebih menyerupai penyerahan daripada kemenangan. “Baiklah, Tante,” suaranya lirih namun tegas ketika akhirnya ia mengangkat pandangan. “Saya akan putuskan hubungan dengan Byantara.” Tangan Dewi gemetar saat meraih cek itu; kertas itu terasa dingin di telapak tangannya. Risma tersenyum puas, senyum yang membuat rasa perih di d**a Dewi semakin membakar. “Bagus. Ingat, keputusanmu ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk masa depan keluargamu. Jangan mendekati anak ku lagi setelah Byantara menikah!” Dewi menelan ludah. Di balik penyerahan ini ada luka yang menganga, bukan pada cintanya kepada Byantara yang, melainkan pada harga diri yang diperlakukan seperti komoditas. Setelah Risma berlalu dengan langkah anggun, Dewi duduk lagi sendirian. Ia membuka cek itu, menatap angka besar yang tertulis. Mata yang tadi berlinang kini menyala dengan kilau yang berbeda, tekad yang mulai membara. Baiklah, perempuan tua, batinnya dingin. Kau pikir uang mu sebesar apa? Aku ambil hari ini, tapi jangan kira aku akan pergi selamanya. Di benaknya muncul rencana yang dibuat. Ia akan menelpon Byantara agar menerima pernikahan dari ibunya, biarkan dunia melihatnya sebagai milik orang lain. Waktu akan bekerja untuknya, dan ketika saatnya tiba, ia akan kembali menuntut apa yang pernah menjadi miliknya. Bersambung.........
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD