6. Terlalu Baik untuk Diterima

1757 Words
Seminggu telah berlalu sejak hari pernikahan mereka. Selama itu pula Meylin berusaha membiasakan diri dengan suasana mewah dan luasnya mansion keluarga Santara. Bangunan yang tampak megah dari luar itu menyimpan banyak cerita dan tatapan yang membuatnya tidak selalu nyaman. Ia bisa merasakan sikap dingin, pandangan menilai, bahkan bisik-bisik halus yang menyudutkannya. Meylin tahu, tidak semua orang menyambutnya dengan tulus. Apalagi ia datang bukan sebagai cinta pertama yang mengisi hati Byantara, melainkan sebagai pilihan keluarga, hasil perjodohan. Pernah, salah satu sepupu Byantara, Patrik, mengatakan sesuatu yang masih membekas menusuk hatinya. "Mana Dewi mu. Dulu aku lihat kamu cinta banget sama Dewi, aku sampai kaget tahu-tahu kau menikah dengan perempuan lain." Tampak Byantara hendak menjawab saat melihat tatapan mata Meylin ke arah mereka, namun belum sempat, Patrik kembali berbicara dengan seenaknya. “Wah, beruntung banget sih lo, Byan. Nikah kaya jaman Siti Nurbaya aja bisa dapet cewek secantik ini. Ibu lo emang jago cari calon pengantin!” Perkataan itu disampaikan sambil menatap Meylin dari ujung kaki sampai kepala, seolah ia barang pajangan. Meylin hanya menghela napas sambil mencoba tersenyum. Ibunya selalu berpesan, harus menjaga keanggunan apapun situasi,nya tetap jaga sikap dan ucapan agar bisa dihargai. Sementara dalam hatinya, Meylin berusaha menutup rasa kecewanya dengan pikiran positif. Semua orang punya masa lalu, begitu juga aku. Aku juga pernah menjalin kasih dengan Andi, pria seumur mas Byan pernah menjalin kasih dengan seorang perempuan, tentu hal yang wajar.Biarlah yang sudah berlalu tidak usah disebut lagi, lebih baik menyambut lembar baru. Untunglah beberapa saat kemudian, ibu mertuanya, Risma, datang dan menegur Patrik. “Kalau mau cari mangsa, bukan di sini tempatnya. Lagian Tante merasa nggak undang kamu deh,” ucap Risma sambil mendorong Patrik agar menjauh. Itu pertama kalinya Meylin merasa ada yang janggal dalam hubungan keluarga ini. Namun, ia menghargai setiap rumah pasti punya sisi gelap yang tak bisa dihindari. Tujuh hari berlalu, dan mansion itu masih ramai oleh tamu-tamu yang hendak mengenalnya sebagai anggota baru keluarga Santara. Namun tujuh hari itu pula, Byantara, suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun. Walau tidur dalam satu kamar, Meylin merasakan jarak antara mereka lebih lebar dari tembok ruang manapun di rumah itu. Saat memutuskan menikah dengan Byantara, sebenarnya Meylin sudah siap lahir dan batin. Pikirannya yang modern membuat Meylin tidak ingin tinggal diam. Walau hubungan mereka masih terasa canggung, ia tahu, sebuah pernikahan tidak bisa hanya bergantung pada waktu. Karena itu, diam-diam ia mulai mencari tahu, membaca artikel, menonton video, bahkan membuka forum komunitas perempuan yang membahas tentang hubungan suami istri yang sehat dan perlu rasa saling menghargai. Meylin memang selalu seperti itu. Sejak kecil, ia diajarkan untuk tidak takut belajar hal-hal baru, terutama jika itu menyangkut masa depannya. Jika aku tidak paham, maka aku harus mencari tahu, begitu prinsipnya. Dan bagi seorang perempuan yang kini resmi menjadi istri, urusan hubungan fisik dan emosional bukan lagi sesuatu yang tabu. Ia sudah cukup dewasa, dan ia ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin, bukan hanya untuk mengenal kebutuhan suaminya, tetapi juga menjaga dirinya sendiri. Bahkan sejak dulu dia sudah bertekad akan menjadikan malam pertamanya, menjadi kenangan yang indah. Perlahan tapi pasti, ia mulai memahami bahwa pernikahan bukan sekadar janji di hadapan keluarga, tetapi tentang membangun jembatan di antara dua dunia yang berbeda. Dan ia ingin menjadi orang pertama yang memulai langkah itu. Mungkin lebih baik pria yang dingin seperti ini, Meylin mencoba menghibur diri. Suatu hari, aku yakin bisa membuatnya hangat. ******** Siang itu cuaca cerah. Angin berembus lembut saat mobil hitam yang dikendarai Byantara berhenti di depan sebuah rumah bergaya Eropa. Tidak semewah mansion keluarga Santara, tapi bangunannya terlihat hangat dan penuh ketenangan. Halamannya luas, dipenuhi tanaman hias berwarna-warni, pohon mangga dan belimbing, serta beberapa petak tanah yang tertata rapi dengan pot-pot kecil di atasnya. Meylin melirik hal itu dengan rasa kagum. Seorang pemilik perusahaan besar, tapi hobi berkebun…? pikirnya. Tapi bukankah aku juga memiliki hobi melukis? “Ini rumah kita,” ucap Byantara singkat. Suaranya datar dan rendah sambil melirik ke arah Meylin. Hanya sebentar. Meylin tersadar dari lamunannya. “Indah sekali,” ujarnya lirih, tulus. “Kau suka?” “Tentu saja. Selama punya tempat yang nyaman untuk beristirahat, rasanya sudah cukup. Apalagi… bersama suami.” Kalimat terakhir membuat Byantara terbatuk kecil. Ada sesuatu dalam nada Meylin yang terdengar apa adanya, tanpa dibuat-buat. Ia tidak menyangka wanita modern seperti Meylin bisa merasa cukup tinggal di tempat yang sunyi ini. Memang, sejak awal, Byantara memilih rumah itu untuk tinggal bersama Meylin dengan... maksud tertentu. Ia ingin tahu sejauh mana perempuan yang dibesarkan di kota dan belajar di luar negeri itu bertahan hidup di tempat sederhana dan sepi. Ia membayangkan, cepat atau lambat, Meylin akan bosan dan meminta kembali ke kota atau pulang ke rumah ibunya. Jika saat itu tiba, ia akan menolaknya. Lalu... biarkan Meylin yang meminta cerai. Bukan dirinya. Namun, kenyataan justru seolah membantah rencananya. Dari balik kaca jendela mobil, Meylin memandangi rumah itu dengan mata berbinar, lalu menarik napas dalam-dalam ketika mendengar empat kata yang terasa begitu hangat di telinganya: Rumah kita. Kata-kata itu pelan, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar. Walau hubungan mereka masih terasa kaku, Meylin merasa ada harapan kecil di sana. “Mulai sekarang, kita tinggal di sini,” ujar Byantara. “Aku berharap kita bisa... lebih mandiri.” Meylin mengangguk dan ikut turun. Ia memperhatikan langkah tegap dan sikap sopan suaminya dari samping. Di balik sikap dingin itu, ia tahu ada kebaikan yang sengaja disembunyikan. Sama seperti dulu, ketika ia hampir tenggelam di sungai karena terbawa arus deras, dan tangan itulah yang menyelamatkannya. Meylin masih ingat betul rasa hangat jemari itu di pinggangnya. Napas pria itu yang terdengar berat saat memastikan ia benar-benar selamat. Itu bukan mimpi. Itu adalah awal takdir yang kini... mungkin sedang diulang. Byantara membuka pintu rumah dan menoleh. “Masuklah.” Meylin pun melangkah, dan saat mata mereka sempat saling bertemu, lelaki itu tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Meylin berpikir: Mungkin, semuanya tidak akan semenakutkan yang aku duga. Aku yakin di balik sikap dinginnya, dia pasti memiliki sisi lembut juga. ****** Rumah itu terdiri dari dua lantai, cukup luas untuk ditinggali berdua saja. Meskipun tidak megah seperti mansion keluarga Santara, namun suasananya hangat, bersih, dan terkesan hidup, dan bangunannya pun terlihat berseni. Banyak ukiran di bagian tertentu yang terbuat dari kayu jati. Byantara mengajaknya berkeliling, menunjukkan satu per satu ruangan dengan tenang, sesekali menjelaskan fungsi dan tata letaknya. Ketika mereka memasuki dapur, mata Meylin langsung berbinar. Dapur itu luas, tertata rapi, dan dipenuhi sederet peralatan masak yang lengkap, mulai dari kompor modern, oven besar, hingga rak rempah-rempah yang ditata rapi dalam toples kaca. “Aku suka sekali dengan dapur ini! Bagaimana bisa peralatannya selengkap ini?” seru Meylin, tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. Ia berjalan mengitari area itu dengan kagum, menyentuh beberapa alat sambil tersenyum. Byantara hanya bisa memperhatikan dalam diam. Dalam hatinya, ia semakin dibuat terkejut, perempuan yang baru ia nikahi seminggu ini penuh dengan kejutan yang tidak pernah ia duga. “Ibuku yang suka memasak,” jawabnya akhirnya. “Kadang dia ingin ke sini kalau lagi ingin berlibur, jadi aku pastikan semuanya siap. Aku ingin dia merasa betah di mana pun dia berada.” Penjelasan itu membuat Meylin berhenti sejenak. Ada sesuatu dalam nada bicara Byantara yang terdengar hangat. Meylin tersenyum tipis. Pria yang sayang pada ibunya, pasti akan sayang juga pada istrinya, pikirnya. “Apakah kamu juga suka memasak?” tanya Byantara pelan setelah hening sesaat. “Kalau tidak, aku bisa saja meminta istri tukang bangunan di sini untuk...” Meylin langsung mengangkat tangan pelan, menghentikannya dengan senyum percaya diri. “Tidak perlu, Mas Byan,” balasnya lembut. “Aku bisa memasak. Memang tidak sehebat koki restoran bintang lima, tapi aku cukup bisa membuat masakan yang enak.” Sekilas, gurat kepuasan terlihat di wajah Meylin. Setidaknya aku punya kegiatan baru. Setelah seminggu ini di mansion ibu mas Byan hanya diam tanpa melakukan apa-apa… ini terasa lebih seperti rumah, batinnya. Namun reaksi Byantara justru berbeda. Ia menatap Meylin dengan bingung dan sedikit tidak percaya. Pikirannya langsung teringat pada kekasihnya Dewi. Dulu, saat rumah itu masih direnovasi, ia pernah mengajak Dewi untuk sekadar melihat-lihat. Hari makin malam, dan mereka merasa lapar. Ia pun menawarkan untuk memasak nasi goreng sederhana. Dewi hanya menemani dari meja makan, sesekali memuji tampilan makanan, tanpa menunjukkan sedikit pun niat untuk membantu. Dan kini, perempuan yang berdiri di hadapannya berkata dengan ringan bahwa ia bisa memasak untuk mereka berdua. Apa tadi aku salah dengar? Atau dia hanya ingin terlihat baik di awal pernikahan? gumam Byantara dalam hati. Namun, tatapan penuh keyakinan dan senyum alami di wajah Meylin membuat segalanya terasa... berbeda. Mungkin perempuan ini tidak seperti yang aku pikirkan. Byantara menatap Meylin sesaat lebih lama. Di matanya, ia masih belum bisa membaca dengan jelas siapa sosok yang kini mengisi status "istri" dalam hidupnya. Ada hal-hal yang membuatnya mulai goyah dari prasangka semula, namun ia tetap mencoba mengembalikan dirinya pada tujuan awal. Tetap ingat, Byan. Jangan sampai terjebak. Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu yang mulai mengusik di dalam diri. Ada yang terasa asing dalam sikap Meylin, terlalu baik, terlalu tenang, bahkan terlalu mampu menyesuaikan diri. Bagaimana bisa seorang perempuan yang cantik, modern, berpendidikan di luar negeri, dan seharusnya dikelilingi pilihan hidup… begitu saja menerima perjodohan dengannya? Semua terasa tidak masuk akal. Aku yakin, di mana pun dia berada, pasti banyak lelaki yang menyukainya, pikirnya. Bahkan ibunya sempat bilang, ada beberapa keluarga kaya yang tertarik menjodohkan putra mereka dengan Meylin, tapi dia menolak semuanya, dan justru memilihnya, lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Kenapa? Apa dia sedang hamil? pikir Byantara semakin curiga. Atau dia punya masalah besar di masa lalunya? Apa dia melihatku sebagai lelaki yang paling mudah ditipu? Apa lagi yang lebih mencurigakan daripada perempuan seanggun itu tiba-tiba menerima tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian kota, tanpa protes atau permintaan? Jangan-jangan dia ingin menyembunyikan sesuatu. Ia semakin menajamkan pikiran. Di luar negeri pergaulan bebas. Rasanya tidak mungkin ia bertahun-tahun di sana tanpa memiliki kekasih. Apa aku hanya jadi pelarian sementara? Pertanyaan itu seperti lingkaran tak berujung dalam benaknya. Dan tambah menyakitkan ketika ia ingat, setiap hal yang ia sengaja tunjukkan sebagai “kekurangan hidup bersamanya” justru tidak mendapat penolakan sedikit pun dari Meylin. Ia sanggup tinggal bersama lelaki asing, di rumah sepi seperti ini, tanpa pernah bertanya kenapa atau sampai kapan. Semakin aku memperlihatkan keburukan, semakin dia terlihat menerima. Kenapa? Siapa kamu sebenarnya, Meylin? Apa mau mu menikahiku? Untuk pertama kalinya setelah menikah, Byantara merasa sedikit gentar dan curiga. Bukan karena Meylin menakutkan, tetapi karena perempuan itu... terlalu tenang. Terutama untuk seseorang yang mungkin sedang menyimpan rahasia besar.! Bersambung......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD