MISSING-8

1231 Words
Kami berempat telah duduk di ruang tamu. Kami tengah membicarakan soal hilangnya kak Della. Sebenarnya Betty sudah ingin melaporkan kejadian ini pada kepolisian tetapi diurungkannya karena belum 24 jam. Walau aku sudah berpraduga kalau kak Della disekap pacarnya tetap saja kami belum menemukan petunjuk apapun selain satu hal yaitu peralatan masokis. Fakta mengejutkan itu sempat mengejutkan Betty tetapi sepertinya rasa kehilangan Betty lebih besar sehingga kini dia tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Kini dia tengah duduk dengan ekspresi wajah cemas dan mata yang sembab karena baru selesai menangis. Selain aku, Betty dan kak Della ada dua orang lagi di rumah kontrakan ini. Mereka adalah Fina dan Lupna. Fina, entah siapa nama panjangnya, anak Psikologi semester 5. Rambutnya pendek, badannya ideal dan yang paling menonjol darinya adalah sikapnya yang tomboy mirip cowok. Bisa dikatakan, dia lebih tampan jika dibandingkan dengan lelaki tulen kebanyakan. Lupna, entah itu nama asli atau hanya sekadar nama beken. Feminim dan menganut aliran 'pakaian kekurangan kain'. Bisa dikatakan secara kasar kalau dia 'lacur' yang suka gonta-ganti pasangan untuk ngeseks. Di kamarnya-kata Betty-sekilas penuh dengan video porno dari dalam hingga luar negeri. Anehnya, dia itu jurusan statistika. Aku penasaran bagaimana dia menyeimbangkan otak kanan dan kirinya. Bagaimana bisa ilmu hitung dan fantasi liarnya begitu kuat dan sebanding. Sempat ingin aku bunuh dan bedah kepalanya tetapi kuurung kan. Karena jika dia menghilang atau terbunuh, polisi akan datang ke kontrakan kami dan mengeledah tempat kami. Jika itu terjadi, mereka akan menemukannya. Ya, dia-akan ketahuan. Aku tidak mau itu terjadi. "Jadi, bagaimana?" tanya Lupna mengakhiri keheningan di antara kami. Aku terdiam, berpikir sejenak lalu melirik Betty yang sepertinya telah bisa mengendalikan dirinya. "Apa kamu tahu kak Della punya pacar?" tanya Betty pada Lupna. Lupna menautkan alisnya lalu mengangguk pelan. "Kamu tahu?" tanya Betty terperanjat kaget. "Apa kamu juga tahu soal…." Betty berhenti, bimbang antara mengatakannya atau tidak. "Ya, aku tahu. Bahkan sepintas saja aku sudah tahu mengenai hobby anehnya," jawab Lupna santai yang seketika membuat Betty menganga. Betty menoleh pada Fina dan gadis itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu," katanya tanpa menunggu Betty bertanya. Betty menelan ludah, pasti pahit rasanya menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa di saat semuanya telah tahu. "Bagaimana bisa kamu tidak memberitahuku?" tanya Betty setengah kecewa sambil menatapku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku. "Aku rasa akan sangat mengecewakanmu jika kamu tahu bahwa satu-satunya orang yang kamu anggap normal ternyata abnormal. Ya kan?" jelasku. Betty hanya menghela napas panjang sembari mengerucutkan bibirnya. "Tapi kamu bisa saja memberitahuku agar aku tidak terlihat bodoh seperti ini," rajuk Betty. "Ya, apa boleh buat, aku tidak tahu jika yang lain juga tahu," sahut Lupna memberikan pembelaaan untukku. "Sudahlah, Betty, yang terpenting kamu pun sudah tahu sekarang." bujuk Fina. "Jadi, apa kita akan melaporkan kejadian ini pada polisi besok?" tanya Fina. Aku menggeleng tegas. "Tidak! Sebaiknya jangan libatkan polisi," cegahku. "Kenapa tidak?" tanya Betty heran. "Aku tidak ingin kasus penyekapan ini berakhir menjadi kasus pembunuhan hanya karena kita gegabah," terangku. "Bagaimana kamu tahu ini penyekapan?" tanya Lupna heran. Aku tersenyum tipis. "Kamu tahu, Della itu masokis, secara otomatis pasangannya pun mengalami kelainan seksual yang sama. Bagi seorang masokis mencari partner seks yang satu selera itu susah. Jadi menurutku, Della telah sial bertemu dengan seorang maniak. Jika kita membuat maniak itu tersudut atau terancam, dia akan membunuh Della. Jadi jangan lapor polisi," jawabku menjelaskan panjang-lebar. "Wah, kamu berbakat jadi profiler," puji Lupna. "Jiwa Psikologimu bagus, apa kamu seorang psikopat?" sergah Fina yang membuatku langsung menatapnya tajam. "Heh? Dia psikopat? Jangan ngarang!membunuh nyamuk saja dia tidak bisa!" bela Betty dengan tegas. "Iya, iya, aku hanya bercanda," kilah Fina lalu memalingkan wajahnya ke arah Betty yang tengah berkecak pinggang karena kesal. "Aku tahu dia temanmu, sudah, jangan bersikap begitu!" ujar Fina membuatku yang nyaris menghantamkan kapak padanya mengurungkan niatku. "Aku bercanda, maaf," kata Fina sambil menoleh ke arah Betty. Aku hanya tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalaku. "Tapi, aku tahu pacar Della," ungkap Lupna yang langsung membuat kami bertiga menoleh kepadanya. "Kenapa tidak beritahu dari tadi huh?" kata Betty sambil berdecak kesal. "Lah, tidak ada yang nanya tuh," kilah Lupna. "Jadi dari mana kamu tahu?" tanya Betty penasaran. "Della bergabung dengan situs porno online. Ada satu lelaki yang selalu rutin menyewanya. Aku pernah melihat mereka jalan bersama dan lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang nyaris menghilangkan nyawaku karena bermain terlalu ekstream." jelas Lupna. Betty ternganga. "Ka-kamu p*****r?" tanya Betty dengan terbata. Dari raut wajahnya menjelaskan kalau dia tidak ingin bertanya tetapi ingin tahu. Lupna terkekeh. "Kamu pikir dari mana aku dapat uang kalau tidak bekerja begitu? Aku ini hanya anak buruh petani," jawab Lupna tidak menyangkal sama sekali. "Bukankah itu artinya kamu w************n?" sergah Fina yang membuat Lupna seketika tertawa. "Lebih baik murahan daripada gratisan. Lebih baik jadi p*****r, aku dapat uang dan mendapat kepuasan daripada hanya diberi status pacaran dan tubuhku dinikmati secara gratis lalu ditinggalkan. Bukankah wanita begitu tidak bernilai?" balas Lupna santai. "Ya, wanita gratisan begitu memang pantas mati," sambungku membuat Lupna menyeringai. Aku tidak suka dengannya. Kalau bukan karena Betty, aku sudah membunuhnya sejak dulu. "Kamu benar, tetapi aku ini p*****r bukan pembunuh," sanggahnya. Aku terkekeh. "Ya, aku rasa memang kamu begitu," ucapku. "Jadi di mana dan siapa lelaki yang menyekap Della?" tanya Fina kembali pada fokus utama. "Namanya Alvian, 25 tahun, seorang anak pemilik perkebunan teh. Sehari-hari dia hanya menganggur dan menghamburkan uang orangtuanya untuk memuaskan hawa bejatnya. Yang paling membuatku kesal, dia menyetrumku demi kepuasannya!" Betty tersentak kaget. "Se-setrum?" Lupna mengangguk. "Ya, jika wanita biasa tentu saja akan tewas seketika, karena itu aku tidak mau dia sewa lagi. Aku lebih menyayangi nyawaku!" jelas Lupna. "Kamu tahu dia tinggal di mana?" tanyaku. "Ya, jika dugaanku benar, dia pasti menyembunyikan Della di villanya!" kata Lupna memberikan informasi. "Di mana Villanya?" tanyaku. "Bandung," jawab Lupna. Aku terdiam saat Lupna memberitahu kami alamat lengkapnya. Villa lelaki itu secara kebetulan, berada dekat dengan villaku. "Apa kita langsung ke sana?" tanya Betty. "Kita ini wanita, kita tidak bisa langsung kesana," cegah Fina. "Lagipula ini hanya sebatas asumsi, belum tentu Alfian menyekap Della. Jika kita kesana, menuduhnya dan ternyata salah, kita akan rugi!" terang Fina lebih lanjut. "Rugi?" tanya Betty tidak mengerti. Fina mengangguk mengiyakan. "Ya, bagaimana jika dia tidak terbukti bersalah dan memeras kita agar tidak melaporkan kita ke polisi. Bisa-bisa kita jadi b***k seksnya," jawab Fina menjelaskan. "Heh? Ngeri!!" ujar Betty bergidik ngeri. "Betul juga katamu, Fin. Duh, amit-amit aku jadi budaknya. Aku masih belum mau mati!" kata Lupna menjelaskan. "Karena itu, jangan gegabah," nasehat Fina. "Kalian semua setuju kan?" Fina meminta pendapat. Aku hanya tersenyum tipis. Sementara Betty dan Lupna menganggukkan kepala mereka. "Jadi kita tunggu saja besok, jika Della belum juga kembali, kita lapor polisi!" usul Fina. Betty dan Lupna pun menyetujui usul Fina. Rapat selesai dan kami kembali ke kamar masing-masing. Namun, aku tidak selemah itu! Aku sudah memutuskan akan menyelamatkan Della. Karena aku tidak mau polisi terlibat. Aku tidak boleh ketahuan, bagaimanapun caranya. Di tengah malam, aku keluar kamar secara diam-diam, berjalan mengendap-edap di kegelapan, hendak pergi ke tempat Della berada. Tentu saja, prioritasku bukan untuk menyelamatkannya, tetapi bersenang-senang. "Kamu mau ke mana?" tanya suara itu sembari melihatku yang sudah membuka pintu sampai setengah. Aku cukup terkejut, tetapi berusaha untuk tetap santai. "Aku akan menyelamatkan Della," jawabku. "Sendirian? Apa kamu berani?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ya, apa kamu mau ikut?" Aku menawarkan. Dia tersenyum miring. "Boleh," jawabnya menerima ajakanku. "Akan aku mengawasimu," katanya. "Silakan, lakukan sesukamu," sahutku. "Kita ke sana naik apa?" tanyanya. "Mobil," jawabku lalu keluar rumah disusul olehnya. "Mobil bututmu?" tanyanya meremehkan. "Bukan," jawabku. "Yang mana?" tanyanya heran. Selama ini, aku memang tidak pernah memberitahu kalau aku adalah orang kaya. Lagipula, itu tidak terlalu penting. Aku hanya meletakkan jari telunjukku di tengah bibir sambil memandangnya lekat. "Jangan banyak bertanya, karena aku bisa membunuhmu kapan saja," ungkapku. "Kamu paham, Fina?"             Wanita itu terdiam dengan dingin, tak ada rasa takut di wajahnya, atau dia hanya beruaha menyembunyikan ketakutannya setengah mati dariku. Apapun itu, saat ini aku belum tertarik untuk membunuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD