MISSING-7

1325 Words
Aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak basah karena hujan tadi pagi. Hari ini aku berniat lari pagi untuk menemui seseorang. Aku sudah janjian dengan calon mangsaku. Jika sedang sial, dia tidak akan datang pagi ini. Sebaliknya, dia akan beruntung menjadi santapan apabila datang. Aku berhenti sejenak lalu mendongakkan kepala, memandang langit luas berawan yang masih agak gelap karena mendung. Suara burung terdengar menyambut pagi penuh duka, memaksa kedua sayap hitam di punggungku segera mengembang dan terbang. Jangan berpikir aku malaikat, dewi atau semacamnya. Aku hanya sesuatu yang memiliki sayap iblis. Selebihnya, aku manusia, sama seperti kalian. Aku terus melangkah ketika sepasang mata itu terdeteksi. Seseorang tengah mengawasi gerak-gerikku dan dari aura yang dipancarkannya, aku menyadari bahwa dia berniat melakukan sesuatu yang menjijikkan padaku. Aku terus berlari, sengaja ke tempat sepi, kuundang dia masuk dalam permainanku. Dia datang mendekat, perlahan dalam sekejap dia telah berada di belakangku. Srat. Grap. Aku menangkap tangannya yang hendak menjerat leherku dengan tali. Dia tergagap, panik dan hendak menyerang. Namun aku tidak selemah itu, kucengkram kuat tangannya yang ditangkap. Aku menekannya juat lalu terdengar patahan tulangnya saat saraf dan urat nadinya rusak dan pecah. Dia merintih, mengumpat dan berusaha melawan semampunya. Akan tetapi,semua sia-sia karena aku telah menekan titik tendon sarafnya sehingga dia mengalami kelumpuhan dari tangan sampai ke ujung kakinya. Dia melemas kemudian jatuh pinsan. "Oi, jangan macam-macam denganku. Pemerkosa sepertimu tidak selevel denganku," ucapku lalu meninggalkan maniak m***m itu. k*****t kelamin sepertinya memang berhamburan di dunia ini. Seandainya dia pintar, mungkin dia akan memilih target yang benar-benar lemah untuk memuaskan nafsunya. Dengan begitu, mungkin hasrat birahinya akan terpenuhi. Sayang, pagi ini, dia beruntung bertemu denganku. Seharusnya aku membunuhnya, tetapi tanganku terlalu berharga untuk membunuh k*****t asing seperti dirinya. Dia juga tidak akan enak saat dimasak. Aku mmeutuskan melanjutkan perjalanan, berjalan pergi meninggalkan k*****t itu, keluar dari tempat sepi untuk menuju ke jalan utama lagi. Rencanaku sedikit berantakan karena si maniak m***m itu. Akan tetapi sepertinya akan baik-baik saja ketika melihat mangsaku telah tiba. "Hai, Betty," sapanya. "Hai juga," balasku. "Lama ya, hujan sih jadi aku molor lagi," katanya menjelaskan. Dia tergelak, merasa lucu dengan kelalaian yang disebabkan sendiri. Geli. "Tidak masalah," sahutku lalu tersenyum ramah. "Ah, hari ini aku juga janjian sama satu temanku. Nggak apa-apa kan?" katanya meminta persetujuan. Aku hanya diam, sebenarnya ini menyebalkan. Rencanaku untuk menghabisinya jadi tertunda, tapi tidak masalah. Ada banyak kesempatan dan untuk saat ini sebaiknya aku berperan sebagai teman yang baik. "Tidak masalah," jawabku saat melihat ekpresinya yang terlihat memohon. "Sip, thanks," katanya lalu melambaikan tangan pada seseorang yang sudah berdiri tidak jauh dari tempat kami. Aneh, aku tidak menyadari keberadaannya. "Ini Sinta," katanya memperkenalkan dirinya. "Betty," aku pun memperkenalkan diriku. "Wah, kamu cantik banget, Bet!" pujinya. "Makasih," kataku. "Sama-sama. Ah iya, aku anak TI, kalau kamu?" tanyanya sok asyik. "Hukum," jawabku singkat. "Wuih, keren!" katanya berusaha memuji meskipun aku tahu, dia tidak tertarik melakukannya. Aku merasakan hal tidak biasa darinya untuk sesaat, sebelum dia terus mengoceh, sok mengenalku, sok asyik dan yang lebih menyebalkan, dia sok jadi temanku. Apa aku harus mmebunuh kedua orang ini hari ini? Ah, tentu itu akan sangat merepotkan dan memakan banyak waktu. "Bet, kok badanmu indah gitu sih, ikut senam atau yoga nggak? Dimana?" tanya Sinta, kembali sok akrab meski aku jarang menanggapi. "Udah, Sin. Bawel amat," tegur Veronica, mangsaku. "Nggak apa-apalah, Betty juga nggak masalah." kilahnya. "Ya kan? Kamu nggak keberatan kan Betty?" tanya Sinta dengan penuh penekanan. Aku hanya tersenyum tipis. "Tidak masalah," jawabku. "Ah, daripada ngobrol terus, ayo kita beli minuman!" usul Veronica. Aku mengangguk setuju. "Sip, usul yang bagus," sahut Sinta dengan girang. Kami pun menuju tempat duduk, sementara Veronica membeli minuman untukku dan Sinta. "Hentikan saja niatmu membunuhnya," kata Sinta begitu kami telah duduk berdua. Aku menoleh pada Sinta, agak terkejut tetapi sudah menduga dari pertama kali bertemu. Dia memang berbeda dari manusia yang biasa aku temui. Mungkin, bisa dibilang, kami memiliki garis takdir yang sama, tetapi sedikit berbeda. "Apa maksudmu?" tanyaku berpura-pura tidak mengerti. "Kamu bukan Betty bukan? Siapa kamu?" tanyanya penuh selidik. "Aku Betty," bantahku. "Aku sudah menyelidikinya, Betty anak hukum semester 3 itu bukan kamu!" katanya menyudutkan aku. "Nama Betty banyak," kataku beralasan. "Ya, dan Betty temanmu itu lumayan segar," katanya membuatku nyaris menusukkan pisau lipat dibalik jaket lariku pada jantungnya. "Jangan menyentuhnya," kataku memperingatkanku. "Tergantung sikapmu," jawabnya meremehkan. "Aku bisa membunuhmu kapan saja," ancamku. "Aku pun juga bisa melakukannya," katanya sembari menunjukkan pisau yang juga terselip dibalik bajunya. "Jangan Betty," kataku mulai melemahkan nada suaraku. "Mengapa?" tanyanya penasaran. "Dia sekutuku," jawabku. "Sekutu? Kamu mempercayainya?" tanyanya setengah mengejek. "Tidak, tapi dia mudah dibodohi," jelasku. "Hati-hati," kata Sinta. "Untuk apa?" "Kadang manusia yang dianggap bisa dibodohi bisa menghancurkan dirimu," pesannya. "Mengapa begitu?" tanyaku penasaran. "Kelak, kamu akan tahu alasannya sendiri." jawabnya berteka-teki. "Soal Vero, menjauhlah!" kata Sinta bersungguh-sungguh. "Ternyata benar," gumamku lirih. "Benar? Tentang apa?" tanya Sinta dengan nada bicara yang berubah, berbeda 360 derajat dengan pertama kali dia bersuara. "Kau berniat membunuhnya juga," jawabku. Sinta terkekeh. "Aku sudah mengincarnya selama ini, jadi jangan mencoba merebut mangsaku. Kalau tidak, kamu akan menguxcapka selamat tinggal untuk teman dan dirimu selamanya," katanya dengan nada sedikit mengancam. "Baiklah, aku menyerahkan dia padamu!" kataku mengalah. "Begitu saja?" tanyanya heran karena aku menyerah begitu cepat. "Aku tidak terlalu menginginkannya," jawabku. "Dalam hal apa?" tanyanya heran. "Tubuhnya," jawabku. Sinta menautkan alisnya. "Vegetarian?" tebaknya. Aku mengangguk. "Kamu memang luar biasa," pujinya. Aku hanya terkekeh pelan. Vegetarian, bukan dalam arti sebenarnya. Bagi kaum kami, itu artinya kami adalah pengolah daging manusia, bukan pemakan. Namun, kami juga bukan pecinta daging hewan, kami pecinta sayuran sebagai penghormatan terhadap daging-daging yang kami olah. Tak lama kemudian Veronica kembali, kami mengobrol sebentar lalu aku pamit lebih dulu. Sebelum pergi, kujabat tangan Veronica untuk terakhir kalinya. Aku pun pergi, menjauh dan tinggal mencoret nama Veronica. Walau aku tidak bisa mendapatkan kepalanya, setidaknya aku tahu satu hal. Kalau di dunia ini, kaum sepertiku masih berkeliaran. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah, sudah dekat ketika ponselku berdering. Betty meneleponku. "Halo?" "Halo? Kamu di mana?" tanya Betty. "Sedang lari pagi, ada apa?" tanyaku. "Kak Della hilang," jawab Betty dengan nada yang mulai terisak. "Heh?" "Sejak semalam dia tidak kembali. Aku pikir dia di kampus, sibuk dengan acara pemilihan ketua Hima ( himpunan Mahasiswa ) tapi tadi kutanya pada seniorku, dia bilang kak Della sudah pulang dari jam 10 malam." jelas Betty panjang lebar. "Tenanglah, Betty," kataku berusaha menenangkan Betty. "Kamu sudah mencoba menelponnya?" tanyaku. "Sudah tapi ponselnya tidak aktif," jawabnya. "Apa kamu tahu alamat pacarnya?" tanyaku. "Pacar?" tanya Betty heran. "Huum, pacarnya," jawabku meyakinkan. "Tapi kak Della tidak punya pacar," kata Betty heran. "Ada, coba masuk kamarnya. Geledah dengan seksama, cari petunjuk sekecil apapun. Aku akan segera pulang!" pesanku sebelum menutup telpon. Aku pun mempercepat langkahku, aku tidak suka Betty menangis. Karena sekutuku itu adalah tipe wanita yang biasanya tegar. Jika dia sampai begitu, itu artinya jiwanya benar-benar terpukul. Soal Della, seperti dugaanku-sepertinya dia sudah memilih pria yang salah. "Betty!!" panggilku begitu tiba di kontrakan kami. Betty yang dipanggil pun keluar dengan tergesa dari kamar kak Della. "Hei," sapanya senang saat melihat kedatanganku. "Bagaimana?" tanyaku. "Ada petunjuk siapa pacarnya?" tanyaku lagi. Betty menggeleng. "Tidak ada!" jawab Betty dengan ekspresi wajah bersalah. "Tenanglah, ayo kita cari sekali lagi!" ajakku. Betty dan aku pun kembali masuk ke kamar kak Della, kami harus menemukan petunjuk. Kak Della adalah seseorang yang penting bagi Betty karena itulah aku tidak membunuhnya sampai sekarang. Namun, kini dia menghilang. Kemungkinannya hanya dua : dia disekap atau sudah dibunuh. "Hei!" pekik Betty saat melihat sebuah kotak yang diletakkan dibawah kolong tempat tidur kak Della. "Buka!" suruhku. Betty pun melakukan perintahku dan aku hanya bisa menautkan alisku saat yang kulihat di dalam kotak itu sungguh di luar dugaan. Disana-sudah ada penutup mata, borgol, cambuk, tali dan juga pakaian dalam ekstrem. "I-ini apa?!" tanya Betty terkejut. Aku menghela napas panjang. "Sepertinya kak Della polos kita itu seorang masokis," ucapku. Betty terlihat bingung. Masokis?" tanyanya kebingungan. Aku hanya menghela napas panjang dan tersenyum tipis ke arah Betty. "Tidak usah dipikirkan. Setiap orang punya rahasia dan ini tidak harus membuatmu shock. Benar bukan?" Betty hanya tertunduk lemas. “Jika pikiranku benar apakah maksudmu masokis di sini adalah yang itu?" tanya Betty. Aku mengangguk mengiyakan. "Ya, kelainan seksual di mana makin disiksa, dia akan semakin b*******h!" jelasku. Betty tertunduk lemas lalu menangis. Hatinya belum cukup menerima kenyataan kalau kak Della yang berwajah polos itu hanyalah seorang wanita yang kecanduan disiksa untuk sebuah gairah seks. Aku menyadari itu sejak mengamati tubuhnya. Karena itulah, aku tahu dia punya pacar. Bet, tenangkan dirimu! Jika ini sesuai dugaanku, kak Dellamu masih hidup. Karena dia di tangan pemerkosa, bukan kaum vegetarian sepertiku. Kalaupun dia terbunuh, dia tidak akan dimakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD