MISSING-11

1469 Words
"Hei, kamu di mana?" panggil Fina dari luar. "Halo, kamu di mana? Jawablah," teriaknya lagi. Dia memang selalu mengganggu saat-saat penting untukku. Menyebalkan. Perempuan keras kepala yang sangat menyebalkan. Mungkin, dia tidak pernah diajari tata krama sejak kecil sehingga kurang ajar saat sudah dewasa. Langkah kakinya semakin mendekat ke tempatku membuatku semakin bimbang. Haruskah aku membunuhnya saja? Aku melirik ke arah Della yang mengernyitkan kening, mulai sadarkan diri. Tertarik, aku melangkah mendekatinya yang terpasung. Dia mendongakkan kepalanya lalu sedikit terkejut saat melihatku sudah berada di depannya. Bibirnya tergerak, ia mengiba meminta pertolongan. Entah kenapa saat melihatnya begitu sungguh membuatku ingin menebasnya. "To..long," ucapnya terbata. Aku menyentuh dagu Della, menariknya pelan sehingga kami saling bertatapan. "To..long," ibanya lagi. Aku tersenyum kecil. Entah kenapa aku sangat menyukai keadaan ini. Apa yang terjadi padanya saat ini membuatku senang, bahagia, seolah aku adalah raja dan dia adalah budaknya. "Della," panggilku. Della menatapku lekat, manik matanya menunjukkan sorot mata penuh harap. Aku hanya diam, tersenyum tipis tanpa berniat untuk menolongnya sedikitpun. "To..long." Della mengiba sekali lagi. "Arggh." Rintihan itu membuatku mengalihkan pandanganku dari Della menuju ke lelaki tadi. Dia bergerak, mengeliat dan sedikit merintih lemah. "Belum mati juga rupanya," gumamku pelan. Tidak, aku tidak kecewa. Sebaliknya, aku suka karena bisa membunuhnya lagi. Jadi, aku mendekat, berjongkok di sisi lelaki tadi. "Baguslah, kamu tidak boleh mati dengan mudah," ujarku sembari menyeringai membuat lelaki itu bergidik ngeri. "Si..apa, ka..mu?" tanyanya dengan alis yang nyaris menyatu saat dia berupaya menahan sakitnya. Aku tidak menjawab, hanya terpana menatap pisau yang berada di perutnya. "Jika aku mencabut pisau ini, apa yang akan terjadi? Apa kamu akan mati kehabisan darah?" tanyaku sembari memandangnya lekat, “Perlukah aku membuktikannya? Haruskah aku mencabut dan mengurai isi perutmu keluar?” Pertanyaan dariku membuat lelaki itu berwajah masam, ketakutan karena merasa akan dibunuh. Padahal, tadi begitu dia begitu sombong. Dasar lemah! "Kalau pisau yang di pahamu dicabut, kamu juga akan pendarahan meski tidak mati," ujarku memberitahukan kebenaran. “Tentu, kamu akan lumpuh seumur hidup.” Dia bergidik ngeri. Tentu saja, dia tidak boleh memohon. Percuma. Jadi, aku mencengkram pisau yang berada di pahanya lalu mencabutnya dalam satu hentakan. Kesakitan yang menyiksa, dia berteriak keras. "Hei, kamu di mana?" Suara Fina semakin panik saat mendengar jeritan dari lelaki itu. "Kamu sedang apa?" Dia memang tidak bisa diandalkan. Mencariku saja, dia tidak bisa. Della yang sudah sadar bertanya-tanya dengan apa yang sedang terjadi. Bingung. Tentu saja. Aku ke sini bukan untuk menyelamatkannya. Memang, Betty sangat menyukai Della dan ingin perempuan p*****r itu tetap hidup. Sayangnya, aku tidak suka dengannya. Betty hanya temanku. Selamanya, akan tetap begitu. Urusanku dengan lelaki b*****h itu sudah selesai, aku pun berjalan mendekati Della. Dia seperti tahu bahwa akan dibunuh, beberapa kali, dia memohon. Sayangnya, aku tidak berniat mengubah keputusanku. “Berdoalah,” suruhku. Saat itu dia menangis. Sebab tahu kalau hidupnya akan segera berakhir di tanganku. Setelahnya, segera aku segera menikamkan pisau ke perut Della berkali-kali tanpa kenal ampun. Della pun hanya mampu membelalakkan mata, memuntahkan darah yang sedikit mengenaiku. Setelahnya, dia tidak lagi bergerak. Aku menyeka darah Della yang bercampur dengan sedikit darah di leherku yang disebabkan oleh lelaki busuk tadi. Della tewas dengan masih terpasung. Ia menghembuskan napas terakhirnya tanpa perlu memikirkan apapun lagi. Dia sudah menuju tempat paling damai, kematian. "Kamu gila!" Lelaki itu rupanya masih bernyawa meski darah telah banyak keluar dari kakinya. Memang, aku hanya melumpuhkannya, bukan mengambil nyawanya. Aku berbalik, menuju ke arahnya lalu melukai lengan kiriku sendiri. Darah segar menetes cepat hingga melumuri pisau yang sedang aku pegang. Kini pisau itu telah bercampur dengan darahku, Della dan lelaki itu. Itu tidak akan cukup. Jadi, aku memaksa tangan Della yang belum mengeras untuk mencengkram pisau itu. Dengan begitu, sidik jari kami aka tumpah-tindih. Mereka tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. Sekarang, masalahnya, hanya lelaki ini. Aku menatapnya lekat, dengan memikirkan cara untuk lolos dari semua ini tanpa membuat Betty marah atau curiga. "Ka..mu mau apa?" tanyanya ketakutan. Aku memaksanya memegang pisau di tanganku ke tangannya. "Terima kasih, berkatmu aku bersenang-senang," ucapku sambil tersenyum lalu menancapkan pisau digenggaman tangan kami ke lengan kananku. Aku tersenyum saat dia kesakitan karena tangannya kembali terluka karena dipaksa bergerak dengan kuat. Pisau itu telah berhasil menancap, kupukul dia hingga pingsan dengan tangan kiri. Setelah itu kurebahkan tubuhku di sampingnya. "Della!!!" Fina berhasil masuk. Nice timing. "Hei, hei!" Fina beralih kepadaku, mengguncang-guncang tubuhku tapi sayangnya aku terlalu lelah hingga sudah serupa dengan orang pingsan. "Bangun, bangun!!" teriak Fina dengan nyaring, disusul dengan isak tangis. "Della, Della!!" panggilnya dengan suara kesedihan yang begitu menyayat hati, mungkin. Aku tidak terlalu tahu perasaan manusia hanya saja kekencangan tangisnya menandakan betapa ia sangat kehilangan Della. Karena nuraniku, sudah kuberikan pada Betty sepenuhnya. "Dasar lelaki b******k!" umpat Fina. Beberapa kali aku mendengarnya menendang lelaki itu, tapi aku tidak perlu cemas, Fina tidak akan bernyali membunuhnya. Jika bernyali pun, aku akan sangat berterima kasih padanya.   *** Suara sirine polisi menyadarkanku yang tengah tidur, walau aku yakin dikira pingsan. Saat membuka mata, aku melihat Betty sudah menemaniku di sebuah mobil ambulans yang terparkir di lokasi. Lenganku sudah diperban, demikian pula leherku. "Jahat!" desis Betty begitu melihatku telah sadar dan membuka mataku. "Della, bagaimana dia?" tanyaku. Mata Betty sembab, habis menangis. Wajahnya berubah suram dan muram saat aku menanyakan tentang Della. Padahal, dia tidak perlu begitu. Sudah saatnya bagi Della untuk pergi. Dunia tidak membutuhkannya. Betty hanya menggelengkan kepalanya sembari menggigit bibir bawahnya. Agaknya dia tidak kuasa untuk mengatakan Della sudah meninggal dunia. Aku menggenggam tangan Betty dengan tangan kiri. "Sabar ya, Betty," ucapku pelan, berpura-pura berduka cita. Betty hanya diam, air matanya menggenang di ujung kelopaknya. "Kamu jahat!" desisnya sekali lagi. Jahat? Apa aku ketahuan? "Betty, ka-," "Bagaimana bisa kamu senekad itu huh? Bagaimana kalau kamu juga kehilangan nyawamu seperti Della? Bagaimana bisa aku kalau sesuatu terjadi padamu, hiks!" Air mata Betty bercucuran. Dia berteriak keras lalu tangisnya tumpah. Dia menangis tersedu-sedu dengan terus mengomel dan setengah mengumpatku. Sudah kukatakan bukan? Nuraniku sudah berpindah pada Betty dan aku bahagia, dia sudah menangis lagi untukku, bukan orang lain. "Fina, bagaimana keadaannya?" tanyaku setelah tangis Betty mereda. "Ada, dia sedang diinterogasi oleh polisi," jawab Betty sembari menyeka airmatanya. "Fina tidak terluka, dia baik-baik saja. Penjahatnya sudah dibawa ke rumah sakit karena lukanya cukup serius. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Betty penasaran. Aku hanya memutar bola mataku ke atas, berpura-pura berpikir. Cukup lama kulakukan dan membuat Betty gemes. Hei, katakan padaku," bujuknya. "Tolonglah! Aku ingin tahu bagaimana bisa penjahatnya separah itu. Tidak mungkin kamu yang menghajarnya bukan?" tanya Betty bertubi-tubi. Aku hanya mengangkat kedua bahuku. "Aku tidak ingat, Bet," sahutku membuat Betty menghela napas panjang. "Yah, padahal aku sangat ingin tahu. Aku harap pembunuh Della itu celaka!" doa Betty. Aku hanya diam. "Dia sudah celaka," ucapku. "Iya, tapi dia masih bernyawa. Aku ingin dia mati," ucap Betty geram. "Janganlah," kataku mencoba menenangkan Betty yang dikuasai amarah. "Kamu kenapa, sih? Dia sudah membunuh kak Della, dia sudah menghilangkan nyawa seseorang!" pekik Betty kesal. "Sudahlah, tenangkan dirimu!" nasehatku. "Iya, Begitu. Tenangkan dirimu!" celetuk Fina yang ternyata sudah selesai memberi keterangan. Aku melirik ke arah Fina yang menyunggingkan senyuman tipis saat melihatku. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Fina. "Lumayan," jawabku singkat. Fina menatapku lekat, arah bola matanya memindai lengan dan leherku. "Lukamu tidak terlalu dalam, hanya lenganmu butuh waktu untuk bisa digerakkan secara normal," infonya. "Wah, aku rasa aku tidak bisa kuliah," ujarku setengah menggoda Betty. "Hah? Hei kau kan kidal," desis Betty kesal. Aku hanya tertawa kecil sedangkan Fina berubah ekspresi wajahnya saat mendengar informasi kalau tangankukidal. "Kamu kidal?" tanya Fina masih ragu dengan perkataan Betty. Aku mengangguk mengiyakan. Tak ada niat untuk menyembunyikan soal itu. "Lalu bagaimana bisa kamu menikam pahanya jika kamu menggunakan tangan kiri?" tanya Fina penuh selidik. Aku tak menyahut, hanya tersenyum tipis. "Aku bisa menggunakan kedua tanganku," ucapku membuat Fina seketika tersentak kaget. "Kamu-," "Tidak! Dia lemah, aku bisa jamin bahwa kecurigaanmu salah," potong Betty cepat. Aku menoleh ke arah Betty yang memandang Fina dengan matanya yang tajam. Fina menghela napas panjang sambil menatap ke arahku setelah melihat Betty memelototi dirinya. "Baiklah, aku pamit dulu," ucap Fina lalu pergi meninggalkan aku dan Betty. Aku melihat Betty menggepalkan tangan dengan kuat. Ada kemarahan di sana walau aku tidak tahu mengapa begitu. Polisi mendatangiku dan meminta keteranganku. Kebanyakan aku mengatakan tidak tahu dan Betty yang menjadi perisaiku, mengatakan pada mereka bahwa aku mengalami trauma sehingga amnesia mendadak. Ia juga bersaksi bahwa aku tidak melakukan apapun selain sebuah tindakan pembelaan diri. Entah bagaimana nasib si lelaki busuk itu. Sekilas kudengar dia lumpuh dan buta. Rupanya pukulanku di matanya telah mengenai saraf matanya sehingga ia mengalami kebutaan. Dia akan dihukum tetapi mengingat kondisinya aku rasa dia akan terus terbaring di rumah sakit jiwa. Dia mungkin akan dianggap mengalami gangguan kejiwaan karena terus berteriak nama Betty. Selesai meminta keterangan dariku, aku dan Betty diantar pulang. Tiba di rumah Betty mengantarkanku ke kamar. Fina dan Lupna yang sudah di rumah hanya memandang sinis padaku. Mereka berdua berpakaian hitam seolah berduka atas kematian Della. Jenasah Della sudah dipulangkan ke kampung kelahirannya dan dikebumikan di sana. Betty membantuku duduk di kasurku. "Thanks, Bet," ucapku. Betty hanya mengangguk. "Istirahatlah," suruhnya. Aku mengangguk. Betty melangkah ke pintu, sebelum menutup pintuku, sekilas mendengar dia bergumam pelan. "Jangan bunuh temanku lagi." Aku termenung. Sedetik. Lalu aku menyadari satu hal bahwa anak dombaku sudah tumbuh besar. Jika benar begitu, cerita ini akan semakin menarik. Sebab, di akhir cerita, mungkin kami harus saling membunuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD