MISSING-12

1274 Words
Betty dan aku sudah duduk di meja makan, bersama Lupna dan juga Fina. Kami tengah sarapan di meja yang sama dengan menu yang sama sekali berbeda. Betty tengah mengunyah daging. Temanku itu sudah bangun dan membuat dendeng daging sepagi ini. Ia bahkan tidak menawarkannya pada dua teman yang lain. Lupna tengah menikmati aroma kopinya. Wanita itu pecinta kopi dan selalu meneguk kopi di pagi hari. Ia bilang meneguk kopi membuatnya bersemangat menjalani hari. Rupanya ia telah kecanduan dengan kafein yang berada di dalamnya. Lain halnya dengan Fina, agak kebarat-baratan, wanita itu tengah menyantap sepotong roti dengan balutan margarin dan selai. Ia juga terkadang mencelupkannya pada s**u putih yang juga sedang ia konsumsi. Aku melirik menu makananku, sepotong apel. Ya, hanya apel karena aku vegetarian. Minumanku? Hanya segelas air hangat yang dicampur dengan lemon. Bukan menu diet, tapi ini makanan yang memang harus dikonsumsi. "Aku berangkat," kata Betty yang langsung berdiri tanpa membereskan piringnya. "Piringmu bereskan dulu!" Lupna menegur. "Beresin kamu ya," kata Betty lalu menyandangkan tasnya di lengan kiri lalu berjalan terburu keluar setelah menyerahkan urusan piring kotornya pada Lupna. "Ck, Betty menyebalkan," dengusnya kesal. Aku pun bangun dari dudukku. "Aku juga berangkat," kataku lalu pergi meninggalkan Fina dan Lupna yang mengabaikanku. Mereka terlalu asyik dengan makanan mereka. "Bet!" panggilku sembari mengejar Betty. Betty menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arahku. "Ada apa?" tanyanya. "Kamu tahu?" tanyaku tanpa basa-basi. Betty menautkan alisnya. "Soal apa?" tanyanya balik. "Hm…" Aku berdehem sebentar, sedang berpikir sekaligus memandang ekspresi wajah yang tidak bisa ditebak tentang apa yang tengah dia pikirkan. "Soal kata-katamu semalam," ucapku. "Ah, soal jangan membunuh temanku lagi itu?" tebaknya. Aku mengangguk mengiyakan. "Aku mengatakannya pada ini," kata Betty sambil menunjukkan foto lelaki yang sudah menyandera Della. "Kok kau punya fotonya?" tanyaku penasaran. "Aku memfotonya saat di kantor polisi," jawab Betty. "Jadi kamu bilang pada foto ini?" tanyaku memastikan dugaanku. Betty mengangguk. "Iyalah, apa kamu merasa aku mengatakannya padamu?" tanya Betty penuh selidik. "Ah, Tidak! Mana mungkin," elakku. "Lalu kenapa kamu menanyakan apa aku tahu atau tidak? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Betty bertubi-tubi. Aku menggeleng cepat. "Tidak mungkin," bantahku. Betty tersenyum tipis. "Baguslah, kalau begitu aku berangkat duluan. Hari ini aku ada janji dengan temanku untuk mengerjakan makalah," pamit Betty. "Apa kamu tidak mau aku antar saja?" tanyaku menawarkan tumpangan pada Betty. Betty mengeleng pelan. "Tidak usah, aku naik angkot saja. Lagipula mata kuliah kita masih dua jam lagi, kamu pasti boring jika menemaniku," kata Betty menolak. "Oh gitu," gumamku. "Iya, yaudah, aku berangkat duluan!" pamit Betty lalu bergegas pergi. Aku berdiri di tempatku, memandang Betty yang berlari pergi. Rupanya dugaanku salah. Betty masih belum tahu. Kalaupun dia tahu dan sedang berpura-pura, itu... Tidak mungkin! Karena selama ini dia selalu memakan daging manusia yang kubawa. Jadi, kalau dia tahu, tidak mungkin dia memakan kue dan makanan-makanan itu bukan? Aku menghela napas panjang, melegakan rasakan jika sekutuku tidak tahu. Dengan demikian, aku tidak perlu membunuhnya. "Kenapa?" Aku tersentak kaget dengan teguran tiba-tiba itu. Aku menoleh dan melihat Fina sudah berdiri di sampingku. "Kenapa apanya?" tanyaku heran. Fina hanya tersenyum sinis. Wanita itu menoleh padaku-sekilas matanya menunjukkan sebuah keangkuhan dan rasa jijik--yang nyata dan pasti. "Aku, pasti akan mengungkapnya," katanya penuh keyakinan. "Soal apa?" tanyaku masih belum paham. "Who are really you," jawab Fina. Aku membalas tatapan Fina dengan mengangkat sedikit sudut bibir kiriku. "Kalau begitu, kamu harusnya sudah bersiap," ucapku. Fina mendesah pelan. "Soal nyawa? Aku tidak peduli," katanya dengan santai. Aku memerhatikan gerak tubuhnya dan memang sangat tenang, tidak ada tanda-tanda ia merasa gugup atau takut. Fina sudah siap bertarung secara mental. Kami bertatapan, cukup lama dan kumulai merasakan kesiapan Fina untuk menyerangku saat kulihat ternyata dia sudah menggenggam sebilah pisau di tangan kanan yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Ia bergerak, tapi terlalu lambat sehingga aku sudah menangkap tangannya sebelum ia sempat menyentuh kulitku. Fina tersentak, berontak untuk melepaskan tangannya yang terasa sakit karena aku menncengkramnya  kuat. Ia meringis kesakitan membuatku cukup bosan dengan pertarungan yang sudah ketahuan hasilnya ini. "Aku baru saja makan, jadi jaga sikapmu," kataku sembari melepas cengkramanku darinya. "Belajarlah lebih keras, jika tidak kamu akan mati sebelum berhasil mengungkap siapa aku sebenarnya," lanjutku yang langsung membuat Fina menggertakkan giginya. Ia kesal dan marah. Aku pun berlalu, masuk kembali ke dalam rumah dan kulihat Lupna yang menungguku dengan wajah penuh keingintahuan. Bibirnya nyaris bergerak dan melontarkan pertanyaan tetapi kucegah sebelum ia sempat bicara apapun. "Jangan bertanya, aku tidak ingin membahasnya!" Lupna menutup kembali bibirnya yang sempat terbuka. Ia hanya menarik napas dua kali lalu kembali ke ruang makan, melanjutkan makannya yang tertunda. Sementara aku kembali ke kamar, mencoba menenangkan pikiranku yang sempat kacau.   *** Aku duduk menonton di ruang tamu, menonton acara televisi. Hari ini aku tidak jadi kuliah. Moodku hancur dan bisa dibilang hariku sudah rusak sejak pagi. Fina tengah berada di ruang makan, melahap bubur ayam yang Lupna belikan untuknya. Dia tampak sedikit kesulitan makan karena tangannya diperban. Ya, lagi-lagi aku nyaris mematahkan tangan seseorang. Aku rasa beberapa hari ke depan Fina akan absen karena tidak bisa ikut kuliah. Sementara Betty belum juga pulang. Hari sudah petang, seharusnya jika melihat jadwal perkuliahan hari ini Betty sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Dia terlambat! Aku mendengar pintu terbuka dan derap langkah yang berat dan berbunyi itu kukenali. Itu Betty. Aku tetap memfokuskan diriku pada layar televisi di depanku. Berusaha menonton acaranya dengan seksama walau pikiranku masih penasaran dengan apa yang akan Betty lakukan hari ini. Aku rasa, hari ini dia cukup aneh dan keanehan itu mengusik pikiranku. "Aku pulang," ujar Betty. Aku hanya diam, enggan menyambutnya. "Capek," kata Betty lagi lalu berjalan ke ruang makan, hendak mengambil minuman sepertinya. Langkahnya terhenti, sepertinya menyadari bahwa Fina terluka. "Fin!!!" pekiknya lalu berlari mendekati Fina. Ia menggeser kursi di samping Fina lalu duduk di dekatnya. "Kamu kenapa?" tanya Betty. Fina terlihat kesal lalu terpaksa tersenyum saat melihatku. "Ah tidak apa-apa," sahutnya kemudian. "Apa ada seseorang yang menyakitimu hingga tanganmu di perban?" tanya Betty lagi. Fina diam, menatap Lekat Betty. Sedetik kemudian dia tersenyum lagi dengan kaku seolah pertanyaan Betty sungguh memuakkan. "Tidak, aku kurang hati-hati sehingga terjatuh dan melukai lenganku," jawab Fina berusaha menyembunyikan penyebab ia terluka. Aku hanya diam, memperhatikan layar televisi walau telingaku sepenuhnya berfokus mendengarkan pembicaraan mereka lalu aku mendengar mereka berbisik-bisik entah apa yang dibicarakan, aku tidak terlalu mendengarnya walau sudah berusaha konsentrasi. Aku pun beranjak dari dudukku membuat Fina dan Betty seketika diam saat aku lewat. Aku terus berjalan, menghindari menyapa Betty karena aku merasa dia bukan lagi sekutuku. "Tunggu!!" cegah Betty saat aku sudah nyaris menyentuh gagang pintu kamarku. Aku berbalik, memandang Betty yang sudah berada di depanku dengan sorot mata tajam yang begitu menendang perutku. "Ada apa, Bet?" tanyaku. Betty diam, hanya memandangku dengan tatapan mata yang tidak kuketahui lagi maknanya. "Maafkan Fina," jawab Betty setelah cukup lama diam. Aku tersenyum kecil. "Memangnya apa yang sudah aku lakukan hingga kamu meminta maaf untuknya?" tanyaku dengan senyuman penuh kepolosan. Betty menggigit sedikit bibir bawahnya, kesal. "Jangan tersinggung saat dia menuduhmu membunuh Della," kata Betty tidak berusaha meyembunyikan, seolah tahu kalau apapun yang dia ketahui, cepat atau lambat, aku pasti akan tahu. "Memangnya dia menuduhku?" tanyaku masih memasang wajah polos. Betty menghela napas pendek. "Aku tahu kalau kamu marah, tapi tidak bisakah kamu membantunya makan? Dia kesulitan makan," kata Betty dengan kesal. Aku menautkan alisku. "Jadi, ini semua karena itu?" tanyaku dengan pemikiran yang merasa dipermainkan oleh Betty. "Memangnya kamu pikir ini soal apa?" Betty membalik pertanyaannya membuatku hanya mampu menahan rasa marah yang mencuat cepat. "Bukan soal apapun, baiklah lain kali akan kubantu dia makan," kataku lalu masuk ke dalam kamarku. Dalam gelap—karena memang lampunya jarang kuhidupkan, aku memandang lekat padanya--seseorang yang sudah berdiri di depanku dengan senyum menyebalkan, wajah pucat dan pandangan mata nanar. Aku tidak suka saat dia melihatku melemah. Aku ayunkan kepalan tanganku ke pintu, retak dan tetesan darah mulai terasa keluar dari luka yang timbul karena ulahku sendiri. "Hei, kamu tidak apa-apa?" Betty bertanya dari balik pintu. Aku hanya diam, menjatuhkan diriku ke bawah dan bersandar pada pintu yang telah membuatku terluka. Aku mendongakkan kepala dan menyadari kalau dia masih di sana, menatapku dengan dingin seolah berkata, “Kamu telah kalah. Kamu tahukan? lebih baik mati daripada harus menerima kekalahan. Haruskah aku menggantikanmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD