MISSING-13

1204 Words
Aku memandang dirinya dalam gelap. Mataku sudah bisa menyelaraskan diri dengan kegelapan sehingga bisa melihatnya dengan jelas. Ia tersenyum, mengejek dan aku tidak suka sorot matanya yang dingin. Ia berdiri, angguh sekali dan membuatku muak. Ia tidak mengatakan apa-apa tapi aku tahu ia ingin mengungkapkan banyak hal. Aku masih diam, Betty sudah tidur dan kini aku sendirian. Tidak! Berdua dengannya--yang tidak pernah ingin kuberitahu pada siapapun bahwa ia ada. Tanganku berdenyut-denyut, sepertinya luka di tanganku bertambah parah dan darah masih saja menetes walau angin, dari celah pintuku meniupnya. Luka itu tidak mau mengering dan membuatku merasakan nyeri. Tiba-tiba handphone milikku bergetar, aku melihat sebuah pesan datang. Dari Fufu, mangsaku berikutnya. Ia menanyakan diriku, tetapi aku tidak membalasnya. Malam ini, aku sudah tidak bernafsu membunuhnya. Aku butuh sesuatu yang lebih untuk mengundang selera makanku. Aku bangkit dari dudukku lalu melangkah keluar dari kamarku. Aku masih bisa merasakan dinginnya hembusan napasnya di  belakang tengkuk kepalaku saat aku hendak memutar knop pintuku. Tapi aku sudah terbiasa bersamanya dan apapun yang ia katakan, aku tidak peduli. Aku menghela napas, menatap tiga kamar selain kamarku yang baru saja kulewati. Aku melangkah keluar, keadaan aman, sepertinya mereka semua telah tidur. Aku menuju mobilku, mau jalan-jalan. Begitulah satu-satunya yang bisa kupikirkan. Dalam kesunyian, sudah hampir tengah malam, aku menembus jalanan yang sunyi. Mengemudi dengan santai dan sesekali berhenti, menikmati sunyi, cukup banyak membantuku bangkit dari rasa frustrasiku. Aku tersenyum sembari menatap jendela mobilku yang mulai berembun. Tok. Tok. Tok. Aku mengerutkan dahiku lalu menatap sebuah telapak tangan yang tengah mengetuk jendela mobilku. Telapak tangannya besar, kekar dan kasar. Bisa kupastikan itu tangan seorang lelaki. Aku turunkan kaca mobilku lalu menatap seorang lelaki tersenyum kepadaku. "Permisi, Neng," katanya dengan ramah. Aku diam, memperhatikannya. Lelaki itu memakai jaket tebal dengan tangan kiri berada di dalam jaket sementara tangan kanannya di luar, ia gunakan untuk mengetuk jendelaku. Wajahnya biasa, hanya sebuah luka sayatan yang sudah mengering dan cukup lama terlukis di pipi kanannya. Sorot matanya tajam dan bagaimanapun aku melihatnya, ia cukup mencurigakan. "Permisi, Neng," ucapnya sekali lagi. "Ah, iya," kataku agak tersentak kaget. "Saya bukan orang jahat," katanya memberitahuku membuatku seketika melukiskan senyuman. Bodoh, mana ada orang baik yang mengaku dirinya baik? Mustahil. "Ada apa?" tanyaku. "Bisakah neng membawaku ke sebuah alamat?" pintanya. "Kemana?" tanyaku. Ia merogoh kantongnya lalu memberikan secarik kertas berisi alamat padaku. Kuperhatikan alamatnya dan jujur saja setahuku, ia alamat sebuah bangunan tua yang lama sudah ditinggalkan. "Neng tahu?" tanyanya. "Wah," kataku. "Saya tidak tahu," jawabku. Dia tersenyum samar. "Bisakah Neng mengantarkan saya? Nanti saya tunjukkan jalannya. Tolong," katanya meminta tolong sekali lagi. Aku diam, berpura-pura berpikir. Dia masih sabar menanti dan saat kulihat ia nyaris mengeluarkan tangan kirinya, aku memandangnya dengan tersenyum. "Boleh, tapi bisakah anda duduk di depan. Bagian belakang mobilku penuh," kataku Dia tersenyum. "Tidak masalah," katanya. Setelah itu ia memutar, berjalan pelan melewati bagian depan mobilku lalu menuju kursi penumpang. Ia buka pintu mobilku setelah sedikit memberikan sinyal pada dua temannya yang berada di pepohonan untuk bergerak lebih dulu. Aku hanya diam, menyambutnya yang masuk dengan senyuman ke dalam mobilku. Ia pun tersenyum saat mobil mulai melaju pelan. "Neng, sedang apa malam-malam keluar?" tanyanya, mencoba berbasa-basi. "Ah, saya hanya tidak bisa tidur," jawabku sembari terus memandang ke depan. "Tidak takut?" ia bertanya. "Pada siapa?" tanyaku balik. "Penjahat, rampok atau…."  Ia menggantungkan kalimatnya. "Setan?" tebakku. Ia terkekeh. "Masih percaya tahayul?" Ia bertanya. Aku tergelak. "Tentu saja," jawabku dengan yakin. "Kenapa percaya?" ia bertanya. Aku hanya diam, memperhatikan kabut yang mulai muncul dan sedikit mengganggu. "Pernah ketemu setan?" godanya, setengah bergurau. "Belum," jawabku. "Kalau anda?" kutanya balik. "Wah, belum," jawabnya. "Kenapa berjalan di tengah malam?" tanyaku memperjelas apa yang aku maksud. “Oh. Itu…." Dia kebingungan sehingga cukup lama berpikir dengan jeda yang panjang. "Sedang berburu," jawabnya. "Begitu," jawabku. Aku meghentikan mobilku lalu memandangnya. "Sudah sampai?" tanyanya heran dan bingung. Aku menggeleng. "Belum." "Lantas kenapa berhenti?" tanyanya lagi, bingung. Ia menoleh kiri-kanan, mencoba memahami situasinya. "Kamu bilang kursi belakangmu penuh, tapi itu kosong! Apa maksudmu?" ia bertanya dengan nada suara yang sedikit emosi. "Aku hanya tidak mau diganggu," jawabku. "Oleh siapa?" tanyanya. "Dua atau tiga temanmu yang sudah menunggu kita di akhir perjalanan," jawabku Dia menyeringai lalu menghela napas. "Apa boleh buat, rupanya kamu sudah tahu," katanya. Ia mengeluarkan tangan kiri dari jaketnya kulihat dan terdapat pisau lipat di sana. "Serahkan mobilmu lalu pergilah, aku tidak akan membunuhmu jika kamu menyerahkannya dengan sukarela," katanya sembari menodongkan pisau ke arahku. Aku mendecih membuatnya mengerutkan kening, heran. Pasti, bukan reaksi begini yang dia harapkan. "Aku tidak main-main! Serahkan mobil ini dan pergilah! Kamu akan mati jika teman-temanku datang," katanya lagi. "Aku beri 5 detik," kataku. "Untuk apa?" tanyanya semakin bingung. "Lari," jawabku tenang. "Kamu meremehkanku huh? k*****t!!" Dia mengayunkan pisaunya, hendak menikamku tapi aku menepis serangannya hingga pisau itu terlepas dan menancap di kursi jok belakang mobilku. Dia tergagap dan nyaris meninjuku, tetapi aku tahan serangannya. Aku daratkan tangan kananku di wajahnya sementara tangan kiriku menahan tubuh besarnya agar terpojok di jendelaku. Ia menggapai-gapai, ingin berontak tetapi rupanya ia tidak cukup kuat menahan rada sakit akibat kuku-kukuku yang mulai menyobek lapisan kulit wajahnya. Ia merintih, kesakitan. "Am-ampun," mohonnya. Tubuh besarnya sama sekali tidak berguna. Ia coba menggerakkan kakinya tapi percuma, bagaimanapun kuku-kukuku jauh lebih mematikan. Walau gigiku pasti lebih tajam daripada itu. Aku ayunkan tangan kiriku untuk meninju perut buncitnya dan ia terbatuk dan mengeluarkan cairan putih pekat. Aku agak mual, tetapi mencoba bertahan. Saat itu, kulepaskan tanganku dari wajahnya dan seketika darah berceceran dari wajahnya. "Pergilah!" suruhku. "Jangan kembali ke sini atau ke bangunan tempat teman-temanmu itu," kataku mengingatkan. "Lupakan wajahku dan jangan merampok di daerah sini. Ini wilayah berburuku," kataku dan ia hanya mengangguk dengan kedua tangan memegang wajahnya yang penuh luka. Aku membuka pintu mobilku yang terkunci dan ia segera keluar dan lari. Aku rasa ia butuh pengobatan lebih agar bekas luka di wajahnya tidak membekas. Bagaimanapun kukuku sudah mengoyak kulit bagian luar hingga nyaris menyentuh dagingnya, jadi kupikir hanya operasi plastik yang bisa menghilangkan bekas luka yang kubuat. "Ah, suatu mahakarya yang indah," gumamku. Aku melanjutkan perjalanan, hendak bersenang-senang. Aku sampai, di bangunan tua yang tadi lelaki itu tuju. Suasananya gelap, bau lembab dan anyir tercium bahkan meski aku baru menurunkan setengah jendela mobilku. Ada kilatan terlihat dan membuatku begitu senang. Mungkin ini waktunya aku mengasah kemampuanku. Aku memutar tubuhku ke belakang, meraih sesuatu yang berada di belakang kursi pengemudi. Sebuah kapak yang sudah lama tidak kugunakan akhirnya tergengam. Kapakku terasa dingin, membuatku sedikit menggigil. "Perlu dihangatkan," gumamku lalu keluar dari sana dengan kedua tangan di belakang, menggenggam kapakku dengan senyuman lebar. Aku masuk ke dalam dan mulai menebas apapun yang mencoba meraihku. Satu, dua, tangan terlepas dari tubuhnya--entah siapa, yang jelas aku hanya mendengar jeritannya. Mereka bukan kucing, dalam perburuan gelap ini tentu saja aku lebih unggul. Aku juga bukan kucing, percayalah. Aku hanya suka melihat dalam gelap. Srat.. srat... Bruk.. Bruk. Nada indah jeritan manis dari mereka membuatku begitu bersemangat. Ketika kulihat salah satu pintu terbuka dan sesosok tubuh melarikan diri, aku tanpa sadar berjingkrak kegirangan. Aku menoleh, pada dua tubuh yang sudah kupenggal kaki dan tangannya. Masih bernyawa walau napasnya sudah berada di akhir kehidupan. Aku tinggalkan mereka, toh sebentar lagi juga akan mati. Aku mengejarnya yang berusaha melarikan diri dengan langkah santai. Tubuh itu tanpak terseok-seok langkahnya karena kakinya nyaris buntung. Ia terkena ayunan kapakku. Aku terus mengejarnya dan saat ia berhasil kukejar. Aku ayunkan tinggi-tinggi kapakku dan menatapnya yang hanya mampu menangis dan memohon pengampunan. "Selamat tidur," ucapku sebelum menebas kepalanya dengan cepat, membuat darahnya menyembur ke atas layaknya air pancuran. Aku kembali, menuju mobilku dan meletakkan kembali kapakku yang kini sudah terasa hangat. "Malam yang sungguh indah," kataku dengan senang. Moodku sudah kembali bagus. Perburuan memang sangat menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD