Kamala menarik resleting jaket, tidak lupa ia mengambil sling bag, kemudian memasukkan ponsel setelah membaca pesan dari Airlangga. Laki-laki itu memintan Kamala menunggu di depan rumah, supaya pas sampai, mereka langsung berangkat.Setelah keluar kamar, Kamala menemui Tante Mia dan Tante Paramitha yang sibuk membuat opor ayam di dapur. Katanya nanti malam akan ada selametan kecil-kecilan, buat kepergian Kamala, papa dan Kamil besok malam.
“Tante ...” panggil Kamala pelan, membuat dua wanita dengan usia hampir sepantaran itu menoleh. “Mala ... ke depan. Abang katanya ... lagi di jalan. Bentar lagi sampai. Dia nggak mampir, kami langsung berangkat aja.”
“Oh, hati-hati di jalan, Sayang.”
“Bilang ke Langga, jangan pulang malam.”
Kamala mengangguk sekali. Ia berjalan mendekat, kemudian menyalami Tante Mia dan Tante Paramitha. “Mala berangkat. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab mereka berbarengan.
Setelahnya Kamala beranjak ke depan, sempat ia berhenti sebentar di rak sepatu untuk mengganti sandal rumahan dengan flat shoes. Merasa sudah siap, Kamala langsung keluar rumah. Sebenarnya ia agak takut dilihat orang-orang, diberi tatapan kasihan dan sejenisnya. Yang lebih parah, bisa saja mereka menghampiri dan mengajak Kamala bicara.
Tapi, Kamala meneguhkan diri. Semua pasti tidak semenakutkan yang ia kira. Orang-orang mungkin mulai mengerti, Kamala butuh waktu dibanding direcoki dengan rasa penasaran mereka. Lagi pula ini luka yang tidak kecil. Mereka yang menaruh simpati, jelas bisa melihatnya dari binar mata Kamala. Besar harapan Kamala, mereka bisa memaklumi.
Tangan Kamala mengepal seiring dengan ia melewati halaman. Kepala sepenuhnya menunduk, dengan menarik napas berat dan mengembuskannya berulang kali. Detak jantung Kamala meningkat, menandakan ia gugup luar biasa. Seumur hidup, ini kali pertama Kamala merasa tidak nyaman keluar dari lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
Mata Kamala sempat memejam saat meraih pagar, tapi setelah mengangguk untuk dirinya, ia kembali membuka dan melanjutkan dengan yakin. Setelah memastikan pagar kembali tertutup, Kamala memegang erat tali sling bag. Kepalanya sempat condong ke depan, melihat apakah Airlangga sudah terlihat atau belum.
Dalam hati Kamala berhitung. Kalau sampai di angka tiga puluh Airlangga tidak muncul, ia akan masuk dan memilih menunggu di teras. Jalanan sekitar komplek tidak pernah sepi. Selalu ada motor atau mobil yang keluar-masuk. Itu cukup memberi efek tidak nyaman buatnya. Was-was kalau mereka yang lalu akan berhenti, mengajak bicara.
Demi apa pun, sebelumnya Kamala gadis yang pandai bersosialisasi. Ia tidak sungkan menyapa, bahkan kadang ikut mengobrol. Tapi setelah batal menikah, kondisi sudah beda. Jangankan bertindak demikian, untuk sekadar memunculkan diri saja ia malu. Pandangan orang-orang terhadapnya, tidak siap ia terima.
Hitungan sudah ada di angka sembilan belas, tapi Airlangga belum muncul. Kamala sampai mengambil ponsel, mengirimi pesan namun tidak dibaca. Mustahil juga dibaca, karena laki-laki itu sedang berkendara. Kecuali kalau dia berhenti sebentar, baru dia bisa. Tapi Airlangga jelas tidak akan begitu, karena Kamala lumayan hapal kebiasaannya.
“Bu, Bu, bukannya itu Mala?” Mendengar itu, Kamala menegang. Ia tidak langsung menoleh, melainkan sempat kaku dengan tangan mengepal kian erat. “Lama ya nggak terlihat. Yuk kita samperin. Kasihan dia, pasti terpukul banget. Sampai kurus begitu.”
Kamala menjerit dalam hati, tidak ingin didekati, tapi ia tidak bisa berucap. Ingin pergi-pun tidak bisa, karena mereka orang tua. Setidak-enak apa pun Kamala dibuat mereka, Kamala tetap akan bertindak hormat. Karena ... inilah ajaran papanya. Tidak boleh lancang, meskipun mereka tidak membuat nyaman.
“La, apa kabar?”
Napas Kamala tertahan, tapi ia menggeleng. Segera ia berbalik, memberi senyuman meskipun terkesan dipaksakan. “Alhamdulillah baik, Tante,” jawabnya lirih. “Terima kasih sudah nanyain kondisi Mala.”
“Ih, nggak pa-pa. Itu wajar, apa lagi kita bertetangga.”
“Soal calon suam–maksudnya mantan calon suami gimana, La? Udah kelar? Demi apa pun Tante nggak nyangka, lho. Padahal ... kalian terlihat serasi. Apa lagi dia ... dari keluarga politikus. Otomatis pandai menjaga sikap dan perilaku.”
“Nggak tahu, Tante. Kami sudah selesai secara baik-baik. Keluarganya juga sudah minta maaf ke Mala.” Ada nada pahit setiap kata-kata yang keluar. Kamala merasa, dadaanya sesak. Panas di mata dan hidung, mulai menjalar. “Tante, Mala benar-benar nggak pa-pa. Jangan ngomong ini lagi, ya. Kemarin anggap mus–”
“Kalau itu terjadi ke keluarga Tante, pasti nggak bakal Tante biarin gitu aja, La. Ini menyangkut kehormatan keluarga. Kalau dia yang berulah dan dia sendiri yang menanggung malu, nggak apa. Lha ini, pihak perempuan yang kena imbas besar. Apa lagi posisinya, persiapan buat akad dan resepsi udah mau selesai.”
“Ya gitulah, Bu. Manusia bisa berencana, tapi pada akhirnya Tuhan juga yang menentukan terlaksana atau nggaknya. Dari kejadian Mala, kita bisa ambil pelajaran. Jangan terlalu heboh, sekadar dan sewajarnya aja. Yang berlebihan itu kadang nggak baik. Buktinya ini. Padalah semua sudah di depan mata, selangkah lagi mereka sah. Tapi, mau gimana lagi, nggak ada jodohnya.”
“Yang punya anak perempuan, apa lagi sedang menjalin hubungan, sebaiknya dinasehatin dari sekarang. Dari pada nanti bikin malu keluarga besar.” Mereka kompak saling pandang, juga mengangguk. Setelah itu, menatap Kamala. “Eh, maaf, La. Kebanyakan bicara jadi lupa kondisi dan situasi. Tante doain yang terbaik buat kamu. Semoga diganti yang lebih-lebih dari pada si mantan itu.”
“Permisi ya, La. Mari.”
Mereka berlalu dengan tenang dari hadapan Kamala. Tanpa beban, tanpa memikirkan dampak yang mereka berikan untuk Kamala. Ini yang ia khawatirkan saat keluar, dibicarakan tepat di depan matanya. Tanpa simpati dan rasa bersalah. Bukan mau Kamala begini. Harusnya mereka mengerti, bukan menjadikan bahan omongan berhari-hari.
Air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Pundak Kamala bergetar, ia terisak pelan sambil menundukkan kepala. Luka yang masih basah, ditaburi air garam. Sakit, ngilu, pedih, bercampur jadi satu.
Sampai beberapa menit, Kamala tidak beranjak. Ia berdiri menyedihkan, tidak bisa berpikir banyak. Kepalanya dipenuhi kalimat-kalimat yang dilontarkan tetangganya tadi. Mungkin apa yang mereka bilang benar, Kamala terlalu heboh dan berlebihan. Hingga ia diuji dari hubungannya sendiri. Membuat Daniel berhianat, memberinya penyadaran kalau ia terlalu sombong.
Deru klakson terdengar, tapi Kamala tidak bergeming. Ia makin menundukkan kepala, meski sadar yang datang adalah Airlangga. Ia malu, sekaligus terluka. Ia tidak percaya diri sekaligus teringat lagi. Di saat susah-susah memulihkan diri, tapi orang lain dengan mudah membuatnya down lagi.
“La, sini mendekat. Abang pasangin helm.” Yang dipanggil tidak merespon, membuat Airlangga mengerutkan kening heran. “Marah, ya? Tadi macet. Biasa jam pulang kerja jalanan memang padat-padatnya.”
Melihat tidak ada pergerakan, Airlangga langsung memarkirkan motor. Ia membuka kaca helm, serta membawa helm untuk Kamala. Ia mendekati gadis itu, mengacak-acak rambutnya dengan senyum menggoda. “Iya-iya, Abang minta maaf. Janji di jalan nanti beliin kamu es krim.”
Alih-alih bersambut, Airlangga justru mendengar suara tangisan. Ia langsung khawatir, juga menyejajarkan tubuhnya dengan Kamala. “Hei, kenapa? Marah sekali sama Abang, La? Kelamaan menunggu, kakinya sakit? Abang minta maaf.”
Kamala menggeleng. Tangannya terangkat, mengusapi air mata. “Bukan ... Abang.” Ia serak bersuara. “Tante Elly sama Tante Asma ... mereka bilang Mala terlalu ... heboh. Terlalu berlebihan, sampai ...”
“Tidak usah didengar. Yang mereka bilang itu tidak benar.” Wajah Airlangga berubah datar. Ia meraih kepala gadis itu untuk disandarkan di dadaanya, kemudian diusap rambutnya. “Mereka bicara tanpa mikir. Terlalu mengurusi hidup orang lain, sampai tidak punya waktu memperbaiki diri. Usia tidak menjamin seseorang bisa dewasa.”
Kamala masih terisak, tapi ia mengangguk. Beberapa saat kemudian, Airlangga melepaskan pelukan mereka, ia juga merasa sisi pipinya dipegang. Dibuat mendongak, sampai tatapan mereka bertemu. “Jelek kalau menangis,” ujarnya, berikut menyeka air mata Kamala. “Berangkat sekarang, ya?”
Kamala mengangguk lagi. Ia bisa merasa, Airlangga mengambil helm yang tadi sempat diletakkan, kemudian memasangkannya di kepala Kamala. Laki-laki itu juga menuntunnya mendekati motor, naik lebih dulu kemudian membantu Kamala naik.
“Pegangan, ya. Abang cepat bawanya. Kamu kalau mau teriak silakan. Biar lega.”
“Makasih, Abang ...”
“Sama-sama, La.”
Merasa siap, mereka langsung berangkat. Airlangga benar-benar menepati ucapannya. Termasuk Kamala, merasa dorongan di dadaa ingin melepaskan beban dan sakit hatinya. Kamala berteriak kencang, memancing perhatian orang-orang. Tapi, ia tidak perduli karena ini cukup berhasil.
Airlangga di depan sampai tertawa, tapi ia mengusap pelan punggung tangan Kamala yang melingkar di perutnya.
***
Apartemen Airlangga tidak besar, punya dua kamar tapi terlihat nyaman. Hanya itu yang Kamala tangkap, karena begitu sampai, ia berbaring meringkuk di sofa. Bebannya memang sempat tanggal sejenak, tapi begitu sepi menyapa, ia teringat lagi. Semacam memang diminta untuk susah bangkit.
“Es krimnya Abang masukin ke kulkas. Kamu dibelikan tidak dimakan juga, dari pada nanti meleleh, lebih baik disimpan.” Kamala hanya mengangguk sekenanya. Ia memejamkan mata, tidak mau menatap Airlangga. “Mau Abang ambilkan air dingin?”
“Nggak mau.”
“Ya sudah. Istirahat dulu, ya.”
Merasa sofa yang ia tiduri tidak melesak lagi, Kamala membuka mata. Ia melihat Airlangga menjauh, kemudian tanpa bisa dicegah, tangisnya pecah. Dalam diam ia tersedu, memegang dadaa karena merasakan nyeri yang teramat sangat di sana.
Perasaannya pada Daniel, disuruh padam di saat sedang membara. Memberi rasa sesak yang tidak terkira, membuat kepalanya sakit dan tubuhnya tidak berdaya.
Saat Airlangga kembali, Kamala bergegas mengusap pipi. Sayang, sembab tidak bisa ditutupi. Laki-laki itu melihatnya dengan jelas. Dia menghela napas untuk Kamala, kemudian mendekati. “Katanya hari ini mau sedikit bebas. Padahal, kamu sudah bisa melakukannya, La.”
“Tapi, sakit, Abang. Di sini ...” tunjuknya tepat di dadaa. “Mala nggak bisa bebas narik napas. Susah. Semuanya ... belum bisa Mala lupa.”
“Dia bukan laki-laki. Yang menyakiti perempuan, tidak pantas disebut laki-laki.” Airlangga meraih tangan Kamala, mengusap punggung tangannya dengan jempol. “Orang luar kayak Abang, cuma bisa bantu mengurangi. Tapi buat mengobati, belum mampu. Hanya saja Abang harap, kamu bisa bangkit dari ini semua. Buktikan, La, kamu bisa lebih bahagia tanpa dia.”
***