Menyenangkan rasanya bisa lepas dari infus. Kamala bebas menggerakkan tangan tanpa khawatir berdarah. Ia juga merasa lebih baik. Tidak perlu dibantu dengan kursi roda semisal ingin keluar, tidak lagi dipegangi jika ke kamar mandi. Perlahan tapi pasti tenaganya pulih kembali, meskipun luka di hati masih membasah.
Sore ini Kamala memberanikan diri keluar sendiri. Tanpa dibujuk lebih dulu oleh Tante Mia. Lagi pula ... ia rindu menunggu papa pulang kerja. Rindu juga ingin ke rumah sebelah, bicara dengan Tante Paramitha, sekaligus menumpang makan. Ya, Kamala yang biasa memang seperti itu. Bebas bertindak saat merasa nyaman.
Dengan kepribadian yang biasa ceria, Kamala yakin orang-orang sekitar merasa sedikit kehilangan dirinya. Keadaan rumah pasti lebih sepi tanpa ocehan Kamala, juga perdebatan kecilnya dengan Kamil dan Airlangga.
Untuk itu Kamala pelan-pelan mencoba ingin kembali. Ia ragu akan bisa dalam waktu singkat, tapi kalau tidak dicoba, ia tetap terkurung dalam sakit hati berkepanjangan. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Daniel boleh jadi masa lalu yang menghancurkan hati, tapi di masa depan ia tidak pantas mengusik Kamala lagi.
Perlahan tapi pasti Kamala beranjak menuju meja rias. Ia meraih sisir yang sudah lama tidak disentuh, kemudian menguncir satu rambut yang panjangnya sebatas pundak. Selama tidak berdaya, kalau tidak Tante Mia yang mengurusnya, Kamala yakin penampilannya akan benar-benar pucat, kusut dan berantakan.
Merasa sudah rambutnya sudah rapi, Kamala mengambil pelembab bibir. Supaya warna pucat di sana sedikit tersamarkan. Terlebih bibir yang kering, tidak sekasar sebelumnya. Setelah memoles beberapa kali, Kamala merasa cukup siap. Ia langsung keluar. Berjalan pelan dan hati-hati. Membuat dirinya terbiasa, setelah lumayan lama tidak banyak beraktivitas.
Bayangan keramaian menyambut di ruang tamu. Kilas balik tentang kesibukan persiapan pernikahan, belum lengkang dari benak Kamala. Ia bahkan masih merasa dengan jelas euforia-nya. Pernah merasa jadi perempuan paling bahagia, sebelum kemudian menjadi perempuan paling menyedihkan di dunia.
Kalau tidak ada yang memberitahu pernikahan terdesaknya Daniel, Kamala tidak akan tahu sehancur apa hatinya nanti karena terlambat sadar. Tidak ada yang mau bersuami penzinaa. Jika sebuah komitmen saja berani dia langgar, maka tidak ada jaminan dia bisa berubah. Kamala rela mencabut paksa perasaan cinta yang mengakar kuat. Dibanding menjalani pernikahan berujung malapetaka, lebih baik menanggung kegagalan di awal sebelum kejadian.
Bersyukur Kamala termasuk perempuan yang menggunakan logika saat menjalin hubungan. Tidak termakan bujuk dan rayu Daniel, lalu berujung menyerahkan kehormatan. Kalau itu sampai kejadian, Kamala tidak tahu sesakit apa hatinya. Tidak tahu sesedih dan sedepresi apa dirinya.
Melewati ruang tamu, Kamala fokus pada tujuan ke pintu depan. Sudah lama rasanya tidak keluar, termasuk mengabaikan kegiatan olahraga setiap pagi, juga tidak menikmati bubur ayam Pak Ari bersama Airlangga. Ia rindu aktivitas sebelumnya. Ativitas di mana masih ia lakukan dengan senang hati, karena tidak pernah terpikir kejadian seperti ini akan terjadi.
Kamala meraih hadle pintu, menekan kemudian menariknya. Angin hangat menyambut, dibarengi terik matahari sore yang menyambangi. Ia mendengar jelas gesekan daun, suara-suara kendaraan, termasuk ocehan anak-anak maupun orang tua.
Kaki Kamala melewati pintu, menginjak lantai teras dengan ragu-ragu. Sedikit banyaknya, Kamala khawatir dilihat orang-orang. Karena pasti berujung dibicarakan, atau paling nekat dihampiri dan ditanya-tanyai.
Bagi yang haus akan gosip, kasus yang terjadi pada Kamala adalah santapan lezat. Mereka tidak akan berhenti penasaran, kecuali benar-benar dapat info yang sangat akurat. Terlebih Daniel dari keluarga berpengaruh, akan jadi topik hangat kalau dibahas saat sedang kumpul-kumpul. Tujuannya tidak lain untuk kesenangan semata, tanpa memikirkan sakit hati orang yang mengalami.
Ia menempati salah satu kursi teras. Duduk dengan kedua kaki merapat, juga saling menangkup tangan. Tidak dipungkiri, Kamala senang di sini. Ia merasa sedikit bebas, setelah sumpek menggelayuti. Ia senang melihat pemandangan, meski hanya terkungkung seputar halaman.
Beberapa menit sempat diam, Kamala menegakkan punggung saat pagar rumah didorong seseorang. Mendapati papa yang melakukannya, Kamala langsung berdiri. Berjalan sampai ujung teras, menanti dengan tatapan dihiasi binar tidak sabar.
Papa yang melihat keberadaannya, sontak mempercepat masuk. Beliau menutup pagar kembali, kemudian mendorong motor tergesa-gesa. Tidak berpikir untuk mengendarai lagi, saking inginnya menghampiri Kamala.
“Lagi nunggu Papa, Nak?” tanya Farhan setelah memarkir motor tepat di garasi. Beliau berjalan menghampiri, sembari melepaskan helm. “Mala sama siapa? Tante Mia di mana? Sudah makan, Nak?”
“Sudah, Pa. Tante Mia mungkin masih istirahat.” Suara Kamala terdengar pelan, meskipun begitu, papanya tetap tersenyum. Saat jarak mereka tinggal selangkah, papa lekas mengangkat tangan, mengusap puncak kepala Kamala. “Bagaimana tubuhnya sekarang? Sudah baikan.”
“Sudah, Pa.”
“Alhamdulillah.” Farhan lega dengan perkembangan putrinya. Terlebih Kamala mulai melakukan rutinitas seperti biasa, termasuk menyahut saat diajak bicara. “Ayo masuk. Setelah Papa bersih-bersih, kita ngobrol ya, Nak. Sudah lama Papa tidak bicara banyak sama Mala.”
“Iya, Pa.”
Anak gadisnya sempat menyalami dan mencium punggung tangan. Setelah itu, baru keduanya berjalan bersisian masuk ke dalam. Dengan Farhan merangkul Kamala, sekaligus mengusap-usap lengannya.
Tidak jauh dari pintu, mereka mendapati Tante Mia menatap kebingungan. “Ketemu di mana? Tadi aku panik karena Mala nggak ada di kamar. Untungnya sekarang masuk bareng Mas. Tadi rencananya sudah mau ke sebelah, siapa tahu Paramitha ajak ke sana.”
“Mala cuma di depan, Tante.”
“Iya, Sayang. Lain kali kalau mau keluar, izin dulu, ya. Biar Tante nggak khawatir.”
“Iya, Tante. Maaf.”
“Tidak apa-apa, Sayang.”
***
Malamnya saat semua berkumpul di ruang keluarga setelah makan malam, Tante Paramitha datang membawa kue pukis. Kata beliau buatan sendiri, terlebih Airlangga yang minta, karena sudah lama tidak memakan bikinan sang mama.
Untuk bagian Kamala sengaja dibanyaki. Kata Tante Paramitha, “Yuk semangat nambah berat badannya. Mala cantik dalam keadaan apa pun, tapi Tante senang kalau tubuhnya lebih berisi.”
Tidak Kamala tanggapi, tapi dia turut memakan. Meskipun tidak banyak, karena sudah kenyang. Tante Paramitha yang paham, tidak memaksa. Beliau justru mencubit gemas dagu Kamala. “Udah dengar sesuatu belum dari Langga?”
“ ... belum, Tante.”
“Kalau begitu nanti dikasih tahu sama orangnya sendiri. Langga nggak bisa ke sini, Sayang. Katanya ada kerjaan yang mesti diselesaikan. Terlebih dia mau kelarin laporan, biar pas kalian berangkat nanti, Langga bisa minta cuti satu hari.”
Kamala diam, kemudian mengangguk pelan. Keluarga Airlangga membantu banyak hal untuk mereka. Sedih rasanya harus pergi meninggalkan. Tapi, Kamala berjanji pada diri sendiri, akan tetap mempertahankan komunikasi semisal nanti mereka sudah beda kota.
Karena Tante Paramitha terlihat mengobrol seru dengan Tante Mia, Kamala pikir sebaiknya ia masuk ke kamar sekarang. Ia juga melihat papa dan Kamil tengan membahas sesuatu, jadi mereka terlihat sibuk sendiri.
Pelan Kamala bersuara, “Mala ... mau istirahat.”
Semua kompak menatapnya, Kamil bahkan berdiri. “Abang antar, ya. Nanti sekalian isiin air minum kalau habis. Kalau minta temani sampai tertidur, Abang juga tidak keberatan.”
“Enggak. Mala mau ... sendiri.”
Awalnya mereka diam, tapi tidak lama mengangguk. Tante Mia dan Tante Paramitha kompak berucap, “Selamat malam, Sayang. Kalau butuh apa-apa, panggil saja. Kami masih di sini sampai beberapa saat kemudian.”
Kamala balas mengangguk. Ia langsung berlalu, keluar dari ruang keluarga, menyusuri lorong beberapa saat sampai masuk ke dalam kamarnya. Tidak Kamala kunci, karena takutnya mungkin papa, Kamil atau Tante Mia datang nanti untuk menjenguknya.
Sebenarnya Kamala tidak mengantuk. Ia hanya ... ingin memegang ponsel. Ngomong-ngomong, ponsel Kamala baru dibelikan Kamil. Karena ponsel lama rusak tidak berbentuk akibat amukan Kamil.
Yang tahu nomor barunya cuma keluarga dan orang-orang terdekat. Ada baiknya juga tindakan Kamil, karena Kamala tidak perlu membuang tenaga untuk memblokir semua kontak dan sosial media Daniel dan keluarganya.
Sekarang Kamala duduk di tepi ranjang. Benda persegi empat tipis sudah ada dalam genggaman. Ia menatap beberapa saat, sebelum kemudian memutuskan menghidupkan data seluler.
Tidak banyak yang mengirimi pesan. Hanya papa, Kamil dan ... Airlangga. Selama absen bermain ponsel, ketiga orang ini rutin menghubunginya. Selalu mengirim chat di tiga waktu, sarapan, makan siang dan makan malam. Apalagi Airlangga, ditambah bumbu-bumbu rayuan dan humor, yang berpotensi membuat sudut bibir Kamala melengkung ke atas.
Kamala membuka ruang obrolannya dengan Airlangga. Tidak ada status online di bawah namanya, menandakan apa yang Tante Paramitha bilang tadi masih berlangsung sampai sekarang. Ia tergerak ingin mengirimi pesan, menyapa lebih dulu setelah sekian lama tidak menanggapi Airlangga.
Me : [Abang ... terima kasih banyak.]
Setelah mengirim, Kamala tergerak untuk meletakkan kembali ponsel ke atas nakas. Karena ia pikir, tidak akan dibalas sebab Airlangga sibuk. Ia memutuskan akan istirahat, supaya besok lebih segar dan bisa bantu mengemas barang yang belum dikemas.
Tapi, bunyi notif menghentikan pergerakan. Dari layar yang menyala, Kamala melihat Airlangga membalas. Keningnya langsung berkerut, menandakan kebingungan karena mendapat respon yang cepat.
Bang Langga : [Tuhan, putri tidur Abang akhirnya tahu fungsi jari pada ponsel.]
Saat akan membalas, sebuah panggilan mengagetkan Kamala. Ia sempat menahan napas melihat Airlangga pelakunya. Setelah mendiamkan sejenak untuk membuat Airlangga menunggu, Kamala akhirnya menekan tombol terima. Ia menempelkan ponsel ke kuping, tapi tidak bersuara.
“La, ke jendela. Abang mau lihat kamu.”
Tubuh Kamala otomatis bergerak. Ia berjalan sebentar, menarik tirai, kemudian membuka jendela. Di seberang sana, Airlangga melambaikan tangan. Meski gelap, tapi Kamala jelas melihat Airlangga tersenyum padanya.
“Juteknya ... tapi cantik.”
Kamala heran, laki-laki seperti Airlangga kenapa belum punya pacar? Padahal ... dia perhatian, romantis, penyayang dan pekerja keras. Kamala yakin, siapapun nanti yang akan jadi kekasih atau istri Airlangga, perempuan itu sangat beruntung. Kamala tulus mendoakan yang terbaik buat sahabat abangnya, sekaligus temannya juga.
“Abang mau kasih kabar. Setelah 25 tahun serumah, akhirnya Abang dikasih izin tinggal di apartemen sendiri. Itupun perlu satu bulan menunggu pertimbangan mama. Nanti rencananya, setelah kalian pergi, baru Abang beres-beres. Tapi, kamu boleh tengokin apartemennya sekarang atau besok-besok.”
“Kenapa mendadak?”
“Buat Abang tidak. Niat mau tinggal sendiri ini sudah ada dari lama, cuma masih belum terealisasi. Terlebih suka tidak tega, karena kalau Abang keluar, mama sama papa jadi tinggal berdua. Otomatis sepi.”
“Apa karena Mala sama Bang Kamil mau pindah?”
Airlangga tergelak. “Bisa jadi. Sepertinya akan sepi tidak ada kalian.”
“Nanti Mala rutin kirim pesan ke Abang,” bisiknya pelan, namun masih didengar Airlangga. “Di sana ... Mala cuma mau tenangin pikiran. Kalau Mala sudah berdamai dan maafin semuanya, Mala balik lagi. Abang ... tunggu kami, ya.”
“Tentu saja. Apa yang tidak buat putri tidur?”
Nada sendu hilang detik itu juga. Kamala memberi ekspresi datar pada Airlangga, membuat laki-laki itu tertawa.
“Oke, oke. Untuk malam ini, cukup dulu ngobrolnya. Abang mau selesaikan kerjaan, kamu juga harus istirahat. Sore besok kalau tidak ada halangan, kamu Abang ajak ke apartemen. Sekaligus penyegaran setelah lama tidak jalan-jalan.”
Kamala tidak menjawab lagi.
“Selamat malam, La.”
Sambungan telepon terputus. Kamala menurunkan ponsel dari kuping, dengan tatapan masih lurus ke depan. Ia mendapati Airlangga melambai, juga berisyarat seperti orang tidur dengan dua tangannya.
Terakhir yang Kamala lihat sebelum menutup jendela, Airlangga tersenyum lebar untuknya. Atas aura positif yang ditularkan Airlangga, Kamala tanpa sadar menarik kedua sudut bibir. Ia ikut tersenyum, karena laki-laki itu.
***