Bab 14. Aku Dan Masa Lalumu

1055 Words
"Apa maksud, Mama?" Davian seketika kebingungan mencerna apa yang dikatakan Mamanya barusan. "Tidak ada, Senja memang hamil anak kamu 'kan? Mama hanya minta kamu menjaganya dengan baik, jangan sampai kamu menyesal nantinya kalau dia pergi," ujar Renata. Davian menghela napas lega, tadinya ia berpikir kalau Senja memang hamil anaknya. "Mama kapan pulang?" tanya Davian kemudian. "Nggak tahu, mungkin besok, Mama ...." Ucapan Renata terputus tatkala ada seseorang yang memanggilnya. Davian yang mendengarkannya hanya diam. "Baiklah Davian, Mama masih ada urusan. Ingat pesan Mama tadi," ucap Renata yang segera mematikan sambungan telepon itu seolah ada sesuatu yang sangat penting. Davian menatap ponselnya dengan kerutan di dahi, kalau tidak salah dengar tadi ada seorang wanita yang berbicara dengan bahasa inggris dan mengatakan jika pasien sudah siuman. "Pasien? Siapa yang sakit?" lirih Davian dengan raut wajah penuh tanya. *** Davian masing terngiang-ngiang tentang ucapan Mamanya saat kemarin ia hubungi. Selain itu ia juga selalu terbayang wajah Senja yang sudah 3 hari ini tidak ia temui. Meskipun mulutnya mengatakan jika tidak peduli, tapi hatinya justru berkata lain. Ada sesuatu yang memaksa ia seolah ingin sekali mendengar suara lembut wanita itu. Namun, ada juga batasan tinggi yang membuat ia menahan dirinya. "Penipu itu kenapa bisa membuatku seperti ini? Mantra apa yang dia pakai sebenarnya?" ucap Davian mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Sore itu ia sengaja pulang cepat karena ia merasa tidak nyaman dengan perutnya. Selain itu kepalanya terasa sangat pusing dan mual entah kenapa. Hidungnya juga cukup sensitif saat mencium bau yang cukup menyengat. "Sial*n, badanku terasa sakit semua entah kenapa. Roy baj*ngan itu kenapa juga tidak datang-datang," umpat Davian cukup kesal karena asistennya itu belum datang, padahal ia sudah meminta pria itu membelikan obat untuknya. Sakit kepala dan rasa mual yang hebat membuat Davian tidak tahan untuk diam saja. Pria itu bangkit dari duduknya lalu membuka laci meja rias, mencari obat yang mungkin saja masih tersisa. Dan disana ia melihat cukup banyak obat dengan berbagai jenis, salah satunya obat penyubur kandungan yang pernah ia berikan pada Senja. "Obat apa ini? Kenapa banyak sekali?" Davian bertanya-tanya tentang obat lainnya yang cukup banyak selain obat penyubur kandungan itu. Davian tentu bingung dan membacanya satu-satu, akan tetapi ia tidak mengerti fungsi obat itu dan malah membuatnya sakit kepala. "Tidak berguna, membuatku pusing saja," keluh Davian mengembalikan obat itu ke tempatnya lagi lalu pergi meninggalkan kamar. Davian ingin mencoba membuat teh hangat yang mungkin bisa meredakan rasa mual di perutnya, namun suara bel dari arah pintu membuat ia mengurungkan niatnya dan memutar balik langkahnya. "Roy sial*n, untuk apa si bodoh itu itu mengetuk pintu segala," kesal Davian berpikir jika yang datang adalah asistennya yang membawakan obat. Namun, saat pintu terbuka membuat ia terkejut bukan kepalang saat melihat sosok wanita yang ada didepannya. "Jenny?" Davian berseru syok, kedua matanya membulat sempurna tatkala melihat mantan kekasihnya itu datang ke rumah tanpa diduga. "Davian ...." Tanpa rasa canggung sama sekali, Jenny langsung memeluk Davian dan menangis di pelukan pria itu. "Jenny, kenapa kamu datang?" Davian sungguh bingung harus bersikap bagaimana, ia cukup senang karena Jenny mau menemuinya, tapi kenapa seperti ada yang kurang. "Dav, aku tidak bisa ...." Jenny menggelengkan kepalanya seraya terus menguarkan air mata yang membasahi pipinya yang putih bersih. Wanita itu memandang Davian begitu sendu dan penuh harap yang membuat Davian tidak bisa berbuat apapun. "Masuklah, Jenny." Dengan helaan napas berat Davian memberikan jalan untuk Jenny masuk ke dalam rumah. Entahlah, ia merasa perbuatannya ini yang paling benar itu saat ini, toh Jenny adalah wanita yang masih tersimpan rapat di hatinya sampai detik ini. *** "Senja, ingat pesan Mama. Kamu itu sudah menjadi istri sah Davian. Kalau dia berbuat semena-mena sama kamu, jangan pernah kamu diam saja. Capek-capek merdeka tapi harus ditindas suami sendiri, nggak lucu 'kan konsepnya gitu?" Renata tak henti mewanti-wanti menantunya setelah kepulangannya dari Singapura. Wanita itu bukannya tidak tahu jika hubungan putra dan menantunya itu cukup tidak baik mengingat apa alasan mereka menikah. Tapi terlepas dari itu semua, Renata tidak ingin anaknya justru akan menyakiti anak orang lain jika terus memikirkan masa lalunya. "Davian itu baik, Ma. Dia hanya butuh waktu bukan? Tapi aku berterima kasih pada Mama karena selalu mendukungku, bahkan Mama mau-" "Sssstt, apa yang kamu katakan, Senja? Semua yang Mama lakukan ini tidak sebanding dengan apa yang telah kamu berikan kepada keluarga kami. Mama harap, kamu bisa bertahan ya, mengenai hal kemarin, Papa dan Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik," ujar Renata disertai helaan napas panjang. Wajah Senja seketika langsung berubah murung mengingat hal kemarin yang telah mereka lakukan. Kesedihan itu masih terlihat dari sorot matanya. "Tuh kan kamu nangis, bukannya kamu yang bilang kalau jangan nangis? Senja kuat 'kan?" kata Renata tiba-tiba saja mengembun matanya saat melihat ekspresi wajah Senja. Buliran mutiara menetes membasahi pipi Senja seraya tersenyum, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Aku pasti bisa, Ma. Dengan dukungan Papa dan Mama pasti aku bisa melewati ini semua. Aku hanya ingin, Papa dan Mama jangan pernah mengatakannya pada Davian," pinta Senja. "Mama tidak berjanji untuk hal itu, saat ini keadaanmu memang baik-baik saja. Tapi bukan berarti selamanya akan seperti itu, dan ingatlah ada nyawa lain yang saat ini harus kamu jaga," ujar Renata melirik perut Senja yang masih rata. Senja mengelus perutnya, tatapan matanya berubah penuh cinta saat melihat perutnya. Senyuman penuh haru itu segera menghiasi wajahnya. Tidak disangka jika ada malaikat kecil yang kini tumbuh di rahimnya. "Dia anak yang kuat, aku yakin dia pasti kuat," ucap Senja menahan air matanya agar tidak jatuh. Renata mengangguk dan ikut mengelus lembut perut Senja. Wanita itu mencoba tersenyum namun saat melihat wajah Senja wajahnya seketika berubah murung mengingat ada sesuatu yang besar dan tidak bisa ia sebutkan untuk saat ini mengingat akan janjinya kepada seseorang. "Kamu mau pulang sama Mama atau minta dijemput Davian?" Renata buru-buru menghapus air matanya sebelum jatuh, ia tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan yang membuat hatinya mengharu biru. "Tidak, tidak, aku akan pulang sendiri, Ma. Davian belum tahu aku pulang 'kan?" tolak Senja langsung. "Belum, Mama sengaja tidak menghubunginya." "Syukurlah, aku akan memberikannya kejutan nanti. Kita berpisah disini saja, Ma. Aku akan pulang naik taksi, titip salam buat Papa, ya. Mama hati-hati." Senja kembali bersemangat tatkala sebentar lagi ia akan menemui suaminya. Wanita itu bahkan mengulas senyuman yang sangat manis dengan tatapan mata yang indah. Renata yang menatap itu hanya menahan getir dihatinya. "Davian, cepatlah sadar. Dia wanita yang kamu cari," lirih Renata. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD