Jumat (19.50), 26 Maret 2021
----------------------
BRAK.
KLANG.
BUGH… BUGH!
“Astaga, Risma! Hentikan!” seorang petugas polisi mendekat ke sel tempat Risma dikurung seraya memijat keningnya. “Percuma kau mencak-mencak di dalam sana. Kau tetap tidak akan bisa meruntuhkan bangunan ini.”
BRAK!
“Kita lihat saja,” desis Risma seraya menghantamkan telapak kakinya yang dibalut sepatu kets ke jeruji besi.
“Kalau aku jadi kau, aku akan memilih jadi anak baik saat ini agar mendapat keringanan hukuman. Kau masih memiliki kemungkinan bebas tanpa perlu masuk ke ruang sidang.”
Risma berhenti membuat keributan dengan napas terengah. Seraya kedua tangan di pinggang, dia menatap tajam petugas polisi bernama Jaxon itu. Yah, di Pulau kecil ini, semua orang saling mengenal. Dan kebetulan, Jaxon adalah saudara sepupu Risma.
“Sebaliknya, Jax. Kalau aku jadi kau, aku akan memilih memasukkan Juan Keegan ke penjara dan bukannya saudaramu sendiri. Kau tampak seperti pengkhianat sekarang.”
Jaxon mendesah, bingung bagaimana membuat Risma mengerti. “Kalau aku melakukan itu, maka aku tidak pantas menjadi polisi yang seharusnya menegakkan keadilan. Dalam kasus ini memang kau yang salah. Kau melukai Juan Keegan. Tidak peduli bahwa kau adalah sepupuku, aku tetap akan menghukummu karena kau bersalah.”
BRAK!
Lagi-lagi Risma menghantam jeruji besi dengan telapak kakinya karena amarahnya sudah tidak terbendung lagi. “Kau bilang itu adil? Lalu apakah juga termasuk adil jika Juan Keegan mengusir penduduk Shelee dari rumah mereka dan membuat sebagian besar penduduk kehilangan mata pencaharian?”
“Risma, itu—”
“Jax, sudahlah.”
Suara yang terdengar agak serak itu mengalihkan perhatian Jaxon dan Risma. Keduanya langsung menoleh ke arah pintu, tempat kepala polisi berdiri memperhatikan mereka.
“Pak.” Dengan sigap Jaxon memberi hormat.
“Percuma kau meladeninya. Dia akan terus menerus membenarkan perbuatannya untuk menutupi kenyataan bahwa masalah dengan Keegan Corp. adalah akibat ulahnya.”
Risma tersentak kaget. “Apa maksudmu? Kau menyalahkanku?”
Sebelum menjawab pertanyaan Risma, Trey memberi perintah pada Jaxon. “Jax, ambil berkas di mejaku dan teliti kembali. Sepertinya ada kejanggalan di sana tapi aku belum bisa menemukannya.”
“Baik, Pak.”
Begitu Jaxon keluar, sang kepala polisi mengalihkan perhatian kembali pada Risma lalu tersenyum mengejek. “Kenapa tanya padaku? Tanya saja pada dirimu sendiri. Bukankah itu sebabnya kau turut berdiri di barisan terdepan untuk menentang kedatangan orang-orang dari Keegan Corp. Karena kau ingin mengurangi rasa bersalahmu Iya, kan?”
Bibir Risma terkatup rapat. Meskipun itu kenyataan, tapi tidak ada seorang pun yang pernah terang-terangan menyalahkan dirinya atas masalah ini. Dan sekarang, Trey berani menyudutkannya.
Melihat Risma kehilangan kata-kata membuat Trey berdecak malas. “Berhentilah bersikap menyedihkan dengan menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahanmu. Meski ada banyak orang yang membelamu, tapi ada lebih banyak orang yang tidak mungkin lupa bahwa semua ini adalah salahmu.”
Setelah berkata demikian, Trey berbalik hendak keluar namun langkahnya terhenti mendengar seruan Risma.
“b******k kau, Trey! Kau sama saja. Kau juga menyalahkanku atas kesalahan orang lain.” Risma berusaha menahan air matanya. “Baiklah, anggap aku memang bersalah. Lalu apalagi yang bisa kulakukan selain membela para penduduk Pulau Shelee?”
Sejenak ruangan itu menjadi hening. Lalu perlahan Trey menoleh dan berbicara dengan suara pelan, nyaris berbisik, “Seharusnya kau tidak memilihnya. Maka semua ini tidak akan terjadi.” Lalu dia berkata dengan lebih tegas. “Sudahlah, lupakan yang tadi kukatakan. Oh ya, orang tuamu sudah menelepon dan sedang dalam perjalanan ke sini. Jadi berhenti menambah kecemasan mereka.”
Kali ini Trey benar-benar keluar dari ruang tahanan dan meninggalkan Risma seorang diri.
Dengan lesu, Risma bersandar di jeruji besi lalu perlahan tubuhnya merosot, dan akhirnya duduk dengan kedua kaki ditekuk. Tenggorokannya terasa sangat sakit dan matanya terasa panas. Namun lagi-lagi, Risma menahan laju air mata. Sudah cukup dirinya menangis karena lelaki itu. Sekarang tidak lagi.
***
Juan berjalan keluar dari klinik tempat dia mendapat dua jahitan di keningnya sementara Delon membuntuti di belakang. Padahal Juan berniat langsung tidur di ranjang yang empuk sampai besok siang tapi malah harus tertahan di ruangan serba putih dan bau obat karena kelakuan wanita itu.
Tanpa mengatakan apapun Juan langsung masuk ke kursi belakang mobil hitam yang sedang menunggunya sementara Delon masuk ke kursi penumpang bagian depan, duduk di sebelah sopir.
Begitu mobil melaju, Delon tampak meremas kedua tangan sambil sesekali melirik Juan yang sedang duduk bersandar dengan mata terpejam. Dia tahu betul suasana hati bosnya sedang tidak baik. Dan itu membuat Delon semakin cemas, takut Juan murka begitu sampai di rumah yang sudah disiapkan Delon.
Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, mobil yang ditumpangi Juan serta dua mobil lain berhenti di sebuah lahan luas, hanya tampak bahan-bahan bangunan di beberapa tempat. Suasananya pun gelap, hanya mendapat penerangan dari lampu mobil yang dibiarkan menyala.
“Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Juan dengan nada heran. “Bukankah ini area pembangunan resort?”
Delon nyengir. “Hehe…iya. Saya tidak menemukan tempat lain jadi membangun rumah sederhana untuk Anda di sini.” Sebelum Juan sempat mengatakan apapun, buru-buru Delon keluar mobil.
Kening Juan berkerut melihat tingkah Delon. Dia juga keluar, dan perasaan bingung kian melanda hatinya melihat tempat itu. Tidak ada rumah seperti yang Delon maksud.
Juan berkacak pinggang saat mengalihkan perhatian kembali pada Delon yang menatapnya waswas. “Di mana aku akan tidur?”
“Di—di sebelah sana.” Delon menunjuk seraya bergegas menuju tempat yang tadi ditunjuknya. Dia menelan ludah dan tidak berani menoleh saat merasakan tatapan membunuh dari Juan yang serasa menusuk punggungnya.
Kekesalan Juan sudah berada di puncak saat ia dan Delon berhenti di depan rumah berdinding anyaman bambu dan atap daun kelapa. “Kau menyuruhku tidur di gubuk ini?!” nada suara Juan meninggi.
“Ini—ini tidak seburuk kelihatannya.” Buru-buru Delon masuk ke dalam rumah lalu menyalakan lampu yang menerangi beranda dan bagian dalam rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan. Setelahnya ia membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilakan Juan masuk.
Juan masih memendam amarahnya seraya masuk ke rumah, atau yang lebih pantas disebut kamar. Pandangannya mengarah ke sekeliling, dengan tatapan menilai lalu kembali menatap Delon yang nyengir.
Mendadak Juan tertawa. Tawa yang tidak mencapai matanya hingga membuat bulu kuduk Delon berdiri. Lalu—glek. Delon menelan ludan dengan susah payah saat tangan Juan tiba-tiba mendarat di bahunya.
“Kuharap kau sedang bercanda.” Juan tersenyum, senyum yang tampak mengerikan.
“Engh—sama sekali tidak.”
Seketika senyum di bibir Juan menghilang digantikan raut dinginnya. Jemari Juan yang masih berada di bahu Delon perlahan bergerak mencengkeram, semakin lama semakin kuat hingga membuat Delon meringis.
“Kau menyuruhku tidur di tempat seperti ini?!” nada suara Juan meninggi.
“Anda yang bilang sendiri, tidak masalah meski harus tidur di kolong jembatan. Yang penting ada atap untuk Anda bernaung. Nah, itu atap.” Delon menunjuk langit-langit ruangan lalu menunjuk ranjang. “Saya bahkan mencarikan Anda kasur bulu angsa.”
“Aku akan mencekikmu.” Tangan Juan beralih melingkari leher Delon, bersiap untuk menghabisi nyawa asistennya itu yang telah menemani Juan lebih dari lima tahun.
“Engh, Pak! Bagaimana kalau kita manfaatkan keadaan wanita itu saja?” buru-buru Delon memberi saran sebelum nyawanya melayang. Itu adalah ide yang tiba-tiba melintas saat kematian berada di depan mata.
Juan mengerutkan kening namun kedua tangannya masih melingkari leher Delon. “Maksudmu?”
“Se—sepertinya warga di sini berusaha untuk membuat kita segera pergi. Karena itu semua penginapan mendadak penuh padahal kita tahu betul tidak banyak turis yang datang ke Pulau ini. Dan saya juga sudah berusaha menemui warga sekitar untuk menumpang tempat. Namun tidak ada yang mau memberi tumpangan meski saya sudah menjanjikan uang banyak. Karena itu—” Suara Delon meninggi saat cekikan Juan semakin kuat, menandakan bosnya itu mulai tidak sabar dengan penjelasan Delon. “tidak ada salahnya kita coba tawar menawar dengan wanita yang sudah melukai Anda. Atau lebih tepatnya mengancam.”
Juan diam sejenak, memikirkan saran dari Delon. Lalu perlahan ia menjauhkan tangannya dari Delon seraya mundur dua langkah.
Delon berdehem beberapa kali untuk melegakan tenggorokannya yang semula tersumbat lalu bertanya dengan suara serak, “Jadi, apa Anda setuju?”
“Sepertinya bukan ide buruk.” Juan kembali melayangkan tatapan mematikan ke arah Delon. “Awas lain kali kau berulah lagi. Aku akan benar-benar membunuhmu!”
***
“Risma!”
Suara yang familiar itu membuat Risma tersentak kaget. Buru-buru dia berdiri lalu berbalik, menatap wanita dengan tubuh agak berisi yang balas menatapnya dengan kesedihan. “Ibu.”
“Nak, kenapa kamu masih nekat pergi juga? Ibu kan sudah bilang untuk tetap di rumah. Bahkan kamu pergi tanpa izin.” Bu Tetti terisak seraya memegang erat jemari Risma di antara jeruji besi.
“Maafkan Risma, Bu. Risma merasa, Risma tidak bisa diam saja karena ini semua—”
“Hentikan!” sergah Pak Almo, Bapak Risma. “Sudah berapa kali Bapak bilang, itu semua bukan salah kamu.”
Risma mengatupkan bibir rapat, masih berusaha menahan air mata seraya menggapai tangan sang Bapak yang mengepal di samping tubuh. Beruntung Pak Almo berdiri cukup dekat dengan jeruji besi hingga Risma bisa meraihnya dengan mudah.
“Maafkan Risma, Pak. Lagi-lagi Risma menyusahkan Bapak dan Ibu.” Suara Risma serak.
Pak Almo mengulurkan tangan di sela jeruji besi lalu membelai pipi putrinya dengan punggung tangan. “Kamu tidak pernah menyusahkan.”
Akhirnya air mata yang ditahan Risma jatuh juga. Dia memegang erat tangan kedua orang tuanya seraya menciumnya beberapa kali.
“Risma, tadi Bapak sudah bicara dengan Trey. Katanya kamu bisa bebas kalau Mr. Keegan mencabut tuntutannya. Jadi sebaiknya kamu minta maaf saja padanya.”
Mendengar saran itu, buru-buru Risma menggeleng seraya menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Risma tidak akan pernah minta maaf padanya.”
“Jangan keras kepala, Nak.” Kali ini Bu Tetti yang berbicara. “Saat ini memang kamu yang salah. Jadi alangkah baiknya jika kamu yang meminta maaf.”
“Tidak mau! Orang-orang dari Keegan Corp. memang tidak seharusnya datang ke Pulau Shelee.”
“Oh ya?”
Suara yang dalam dan berat itu langsung menarik perhatian Risma dan kedua orang tuanya. Hampir bersamaan mereka menoleh ke arah pintu. Rupanya di sana berdiri Juan Keegan, yang entah sudah berapa lama.
Dengan langkah pelan namun tegas, lelaki itu berjalan masuk. Kedua tangan tenggelam di saku celana untuk menambah kesan dingin dan mengintimidasi.
Tiba di hadapan ketiga orang itu, Juan berhenti seraya menampilkan senyum mengejek ke arah Risma. “Sayang sekali Anda harus menelan kecewa, Nona Dahlia Risma. Tapi orang-orang Keegan Corp. sudah terlanjur ada di sini dan kami tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang kami inginkan.”
“Hmm, begini Mr. Keegan.” Pak Almo menyela. “Sebenarnya putri saya hendak min—”
“Persetan dengan kalian!” Risma menyalak. Tidak rela Bapaknya harus memohon maaf pada Juan Keegan. Dia masih beranggapan bahwa orang-orang dari Keegan Corp. lah yang membuat semua masalah ini timbul.
“Ah, Anda terlalu kasar, Nona Dahlia. Padahal—”
“Risma! Namaku Risma!”
Juan hanya mengangkat bahu. “Anda terlalu kasar, Nona. Padahal saya ke sini untuk menarik tuntutan terhadap Anda.”
“Aku sama sekali tidak peduli apa yang akan kau lakukan,” desis Risma geram.
“Harusnya Anda peduli.” Juan menunjuk keningnya sendiri yang terluka. “Anda sudah berhasil membuat saya mendapat dua jahitan. Kalau saya tidak segera menarik tuntutan, Anda terpaksa harus menghabiskan waktu beberapa bulan—atau mungkin tahun—di dalam penjara.”
“Jangan terlalu percaya diri. Tidak semua yang kau inginkan bisa kau dapatkan.”
“Risma,” Bu Tetti berusaha menegur sekaligus membujuk putrinya dengan lembut.
“Tidak perlu diperpanjang. Minta maaf saja, Risma,” perintah Pak Almo.
“Orang seperti dia tidak akan menawarkan bantuan secara cuma-cuma. Dia pasti akan meminta sesuatu sebagai imbalan.”
“Kau lumayan pintar juga. Ya, bantuanku tidak gratis.”
Mendengar itu, Pak Almo dan Bu Tetti tersentak kaget lalu keduanya menatap Juan dengan khawatir sementara Risma tampak merendahkan Juan dengan tatapannya.
“Biar kutebak. Dukungan untuk Keegan Corp., kan? Sayang sekali, aku tidak tertarik untuk mengkhianati saudara-saudaraku di Pulau Shelee.”
“Sebenarnya, Nona Dahlia,”
“RISMA!”
“Ya, ya, terserah. Sebenarnya aku hanya ingin menumpang tempat tinggal di rumah kalian selama aku di sini.”
Ketiga orang itu melongo, tidak menyangka Juan akan meminta hal remeh seperti itu.
“Apa kau sedang bercanda?” Risma bertanya untuk memastikan.
“Sayangnya tidak. Semua penginapan di sini menolakku dan warga sekitar tidak ada yang mau memberi tumpangan.”
“Kalau hanya seperti itu—” buru-buru Bu Tetti berkata. “Rumah kami terbuka lebar untuk Anda.”
“Ibu,” protes Risma. “Kita tidak akan menerima orang itu di rumah kita. Bapak, jelaskan pada Ibu bahwa dia adalah musuh.”
Pak Almo menghela napas lalu menatap putrinya penuh sayang. “Kadang, mengalah adalah jalan terbaik.”
“Bapak,” nada suara Risma seperti merengek.
“Kalau begitu saya anggap kalian setuju. Saya akan menemui Kepala Polisi untuk membicarakan hal ini.” Juan menampilkan senyum mengejek untuk terakhir kali ke arah Risma lalu berbalik keluar dari ruang tahanan.
---------------------
♥ Aya Emily ♥