Empat

2376 Words
Jumat (19.59), 26 Maret 2021 ------------------------ Tepat pukul enam pagi, Risma dan kedua orang tuanya tiba di rumah. Tentu tidak hanya mereka bertiga. Ada beberapa orang yang membuntuti mereka, membuat para tetangga dan saudara yang berkumpul di rumah sederhana itu menatap tidak percaya. Ya, kejadian dini hari tadi sudah tersebar luas. Hal itu yang membuat saudara-saudara Risma datang untuk mengetahui cerita sebenarnya. Namun mereka sungguh tidak menyangka bahwa Risma dan kedua orang tuanya akan pulang bersama orang-orang dari Keegan Corp. Kasak-kusuk pun mulai terdengar. Sebagian besar tampak mulai meragukan kesetiaan keluarga Risma terhadap penduduk Pulau Shelee. Dan mereka juga kembali mengungkit masalah yang menyebabkan penduduk Pulau Shelee harus berhadapan dengan Keegan Corp. “Ada apa ini? Kenapa mereka bersama kalian?” Juan langsung ingat lelaki yang baru saja bicara. Dia adalah lelaki yang sama yang berdiri di barisan depan para penduduk Pulau Shelee yang hendak mengusirnya. Dia juga yang berani berkata lantang di hadapan Juan. “Harland, tenanglah.” Pak Almo berkata. “Tapi sedang apa dia di sini?” Bukannya tenang, Harland malah semakin gusar. Pak Almo menghela napas. “Dia akan menumpang tinggal di rumah kami selama berada di Pulau Shelee. Sebagai gantinya, dia mencabut tuntutan terhadap Risma.” Sebagian besar orang ternganga, tidak menyangka keluarga Pak Almo akan bersekutu dengan Keegan Corp. hanya demi kebebasan putrinya. “Kalian—kalian mengkhianati kami hanya demi hal remeh semacam itu?” mata Harland berkilat marah. “Remeh katamu?” Mendadak Bu Tetti maju lalu berhadapan langsung dengan Harland. Matanya berkilat marah. “Beraninya kamu bilang anakku dipenjara adalah hal remeh! Meski harus menukar nyawa, aku rela melakukannya asal anakku bisa bebas!” Bu Tetti berseru dengan kemarahan meluap sambil menunjuk-nunjuk wajah Harland. “Lalu bagaimana dengan kami yang kehilangan tanah kami? Bukankah semua ini terjadi juga gara-gara Risma?!” PLAK. Semua orang terkesiap melihat telapak tangan Bu Tetti melayang ke pipi Harland. “Coba lagi hina putriku!” “Bu, sudah!” Pak Almo segera berdiri di depan Bu Tetti, berjaga-jaga takut Harland membalas. Melihat pertengkaran itu, kedua tangan Risma mengepal kuat. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Semua ini memang salahnya. Tanpa sengaja, tatapan Risma dan Juan bertemu. Ada keinginan dalam diri Risma untuk menyalahkan lelaki itu atas semua masalah ini. Namun hati kecilnya melarang karena Risma tahu betul sebenarnya Keegan Corp. sama sekali tidak bersalah. Mendadak Risma berbalik menjauh dari kerumunan orang lalu masuk ke rumah. Dia sudah tidak sanggup menahan air mata namun tidak ingin menangis di depan banyak orang. Sudah cukup dirinya dan keluarganya direndahkan. Dia tidak mau air matanya malah membuat semua orang semakin menghinanya, terutama kedua orang tuanya. “Kalau kalian tetap hendak menampung orang-orang itu, maka kami anggap kalian telah berkhianat,” tandas Harland dengan mata berkilat marah. “Ehm, maaf memotong pembicaraan seru ini,” Untuk pertama kalinya Juan angkat bicara, memancing semua perhatian ke arahnya. “Tapi andai aku mengembalikan Dahlia ke penjara dan itu berarti aku tidak akan menumpang di rumah ini, lalu apa yang akan kalian lakukan? Biar kutebak. Kalian akan menangis, menyampaikan rasa prihatin lalu kembali ke rumah masing-masing dan tetap tidur dengan nyenyak. Besoknya kalian akan datang lagi, memaki-maki Keegan Corp., menangis lagi,  kemudian tetap kembali ke rumah dengan tenang. Apa itu yang disebut setia?” Semua bungkam. Tidak ada yang menyanggah kebenaran kata-kata Juan. Tapi rupanya, Harland adalah tipe orang yang tidak suka pendapatnya dianggap salah. “Jangan sok tahu mengenai kami. Mungkin itu yang akan kau lakukan. Tapi kami tidak. Kami akan mencari cara untuk membebaskan Risma dari penjara. Itu sudah pasti.” “Oh ya?” Juan tersenyum sinis. “Apa aku perlu membawa Dahlia kembali ke penjara?” “Tidak! Itu tidak perlu,” sergah Bu Tetti. “Terserah mereka mau anggap keluarga kami apa. Ayo, masuk!” Tak Juan sangka, Bu Tetti langsung menggamit lengannya lalu menariknya masuk ke dalam rumah. Juan tidak sempat memperhatikan ruangan-ruangan sederhana itu karena Bu Tetti terus menarik Juan ke ruang tengah. “Maaf, rumah kami cuma seperti ini.” Untuk pertama kalinya sejak tiba di Pulau itu, Juan tersenyum dengan tulus. “Saya diajarkan kedua orang tua saya untuk selalu berterima kasih pada orang yang sudah memberi bantuan. Jadi saya tidak berani minta macam-macam dan terima kasih. Sungguh, Anda mengingatkan saya pada Mama saya. Beliau juga akan jadi beruang pemarah bila ada orang yang mengusik anak-anaknya.” Kening Bu Tetti berkerut. “Kamu itu memuji atau menghina?” “Tentu saja memuji.” “Tapi tadi kamu bilang Ibu seperti beruang.” “Ups.” Juan nyengir. Bukannya marah, Bu Tetti tersenyum. “Ternyata kamu tidak semenyeramkan yang dikatakan orang.” Juan hanya menanggapi dengan senyum. Yah, biasanya dia hanya bersikap manis dan ramah pada keluarganya. Namun tadi dia benar-benar seperti melihat Mamanya dalam diri Bu Tetti. Jadi tidak heran bila Juan bisa bersikap manis juga terhadap wanita paruh baya itu. “Pasti kamu lelah. Kamu bisa gunakan kamar Rezka selama tinggal di rumah ini.” “Rezka?” “Adik Risma,” jelas Bu Tetti seraya menunjukkan kamar yang ia maksud pada Juan. “Di mana dia sekarang?” “Tadi sebelum berangkat mengunjungi Risma di kantor polisi, Bapak menyuruh Rezka ke rumah saudara. Nanti pasti dia datang sepulang sekolah.” “Dia masih sekolah?” tanya Juan seraya memperhatikan kamar bernuansa maskulin itu. “Sudah kelas tiga SMA.” Juan mengagumi selera pemuda bernama Rezka itu. Meski dia masih tergolong remaja, kamarnya cukup rapi dan bersih, mengingatkan Juan pada Fachmi ketika masih remaja. Di saat Juan dan Farrel suka menempel poster-poster tokoh idola dan mencorat-coret tembok dengan grafiti, kamar Fachmi sangat rapi dan bersih. Bahkan mungkin jika ada lalat yang hinggap di meja belajar Fachmi, pasti lalat itu tergelincir karena mejanya terlalu bersih. “Ya, sudah. Nak Juan istirahat dulu. Nanti Ibu bangunkan untuk sarapan.” “Sekali lagi terima kasih, Bu.” “Ibu juga terima kasih karena Nak Juan telah mencabut tuntutan terhadap Risma.” Juan mengangguk sebagai tanggapan. Sepeninggal Bu Tetti, Juan melepas jaket dan sepatunya lalu merebahkan diri di ranjang Rezka. Ranjang itu sempit dan tidak senyaman ranjangnya sendiri. Tapi Juan bersyukur karena tidak harus tidur di gubuk itu. Biar saja Delon yang tidur di sana bersama anak buahnya yang lain. *** “Risma?” Bu Tetti mengetuk pintu kamar Risma pelan, tahu betul anak gadisnya itu pastilah menangis di dalam sana. “Nak, buka pintunya. Ibu ingin bicara.” Hampir lima menit menunggu, akhirnya terdengar langkah mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan menampakkan Risma yang menunduk, tidak berani menatap mata ibunya. Perlahan Bu Tetti masuk seraya menutup pintu kembali. Lalu dengan lembut dia menarik Risma ke ranjang. Keduanya duduk di sisi ranjang berhadapan. Yang satu dengan tatapan sayang, dan yang satu masih tertunduk. “Apa kamu menangisi lelaki itu lagi?” tanya Bu Tetti. Risma menggeleng pelan. “Lalu apa yang kamu tangisi? Ucapan orang-orang itu?” Air mata Risma kembali menetes. “Risma—Risma tidak sanggup mendengar Ibu dan Bapak dihina seperti itu.” Bu Tetti menangkup kedua pipi putrinya lalu memaksa Risma menatap matanya. Begitu pandangan mereka bertemu, Bu Tetti kembali berkata lembut, “Ibu dan Bapak tidak takut menghadapi mereka karena kita memang tidak bersalah. Masalah yang menyebabkan kita semua harus berurusan dengan Keegan Corp. juga bukan salah kamu. Dan kita juga tidak pernah mencoba mengkhianati para penduduk Pulau ini.” “Tapi mereka tidak berpikiran seperti itu, Bu.” “Kita tidak akan bisa memaksa orang lain berpikir seperti kita. Jadi biarkan saja. Kita akan tetap berjuang mempertahankan Pulau Shelee dengan cara kita sendiri. Siapa tahu Tuhan memberi jalan dengan membuat Juan Keegan tinggal di sini. Mungkin kita bisa berkompromi dengannya, alih-alih mengusir dia pergi.” “Sepertinya itu mustahil, Bu. Ibu sudah lihat sendiri bagaimana seorang Juan Keegan. Dia tidak akan mau mendengarkan orang lain dan hanya akan mementingkan keuntungan pribadi.” Bu Tetti tersenyum seraya menghapus sisa-sisa air mata di pipi Risma. “Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan mengenai seseorang yang sama sekali tidak kamu kenal. Kadang apa yang menurut kita buruk, ternyata itulah yang paling baik untuk kita.” Risma kehilangan kata-kata menyadari kebenaran ucapan Bu Tetti. Tapi sungguh, rasanya sangat sulit berpikir bahwa Juan Keegan mau berkompromi dengan mereka hanya karena mendapat tempat tinggal gratis di rumah ini. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Sekarang kamu istirahat saja. Nanti Ibu bangunkan setelah sarapan siap.” Pesan yang sama yang tadi Bu Tetti sampaikan pada Juan. Risma menggeleng. “Risma mau mandi saja lalu bantu Ibu di dapur.” “Kalau begitu Ibu tunggu di dapur.” Sepeninggal Bu Tetti, Risma menghela napas. Dia tidak pernah menyangka hidupnya yang tenang di Pulau kecil nan damai bisa berubah sejauh ini. Dan semua itu hanya karena dia jatuh cinta pada lelaki penuh senyum yang seolah menjanjikan masa depan cerah untuk Risma. *** Keshawn Trumble adalah seorang lelaki yang datang ke Pulau Shelee sebagai wisatawan. Kala itu Risma tengah bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Di hari pertama kedatangannya, Keshawn sudah menjadi bahan pembicaraan penduduk pulau, terutama para gadis. Dia memang tergolong tampan nan gagah dan Pulau Shelee nyaris tidak pernah kedatangan wisatawan yang nampak layaknya orang kelas atas seperti penampilan Keshawn. Namun entah mengapa, Keshawn malah tertarik pada pelayan di rumah makan tempatnya menikmati makan siang. Menurutnya Risma tidak berlebihan seperti gadis-gadis lain di Pulau itu dan Risma sangat menyenangkan diajak berbincang. Hanya dalam hitungan hari, mereka semakin dekat. Kerap kali Keshawn meminta Risma menemaninya mengelilingi Pulau, menikmati panorama alamnya yang menakjubkan. Risma tentu saja tidak keberatan. Mengenalkan Pulau Shelee pada orang asing merupakan kesenangan tersendiri bagi Risma. Tak disangka, rencana liburan Keshawn yang hanya selama dua minggu malah harus diperpanjang karena masalah hama yang melanda Pulau itu. Dia bertekad hendak membantu, bahkan tidak segan turun tangan saat para penduduk bahu membahu memberantas hama demi menyelamatkan tanaman mereka. Namun masalah itu tidak sesederhana yang semua orang duga. Hama yang menyerang begitu ganas, membuat para penduduk harus rela merugi hingga puluhan juta. Semua orang mengeluh lalu memilih beralih menjadi nelayan. Saat itulah Keshawn menawarkan solusi pada para penduduk. Dia akan membantu menggadaikan tanah pertanian mereka selama satu tahun. Uang yang mereka dapat bisa digunakan untuk modal menjadi nelayan atau membangun usaha lainnya. Setelah uang mereka terkumpul, mereka bisa menebus kembali sawah mereka.  Tentu ide itu disambut baik oleh para penduduk. Terutama karena uang yang dijanjikan Keshawn benar-benar sampai ke tangan mereka. Lelaki itupun dielu-elukan sebagai pahlawan. Lalu suatu hari, Keshawn datang ke rumah Risma untuk melamar wanita itu. Risma yang memang menyukai Keshawn langsung menerima lamaran itu dan kedua orang tuanya pun setuju. Semua orang memberi ucapan selamat dan banyak yang berkata bahwa Risma adalah wanita beruntung karena bisa menjadi calon istri seorang lelaki seperti Keshawn. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dua bulan menjelang waktu penebusan sawah tiba, mendadak Keshawn menghilang bersama sertifikat-sertifikat tanah para penduduk. Tiga bulan kemudian, beberapa utusan dari Keegan Corp. seolah menjatuhkan bom ke atas kepala mereka. Orang-orang itu mengatakan bahwa sawah-sawah mereka sudah dijual pada Keegan Corp. Padahal uang yang mereka terima sebelumnya tidak sepadan dengan harga jual sawah. Bahkan seperempatnya pun tidak. Kala itu, semua orang seolah menyalahkan Risma atas semua yang terjadi. Bahkan Risma sampai tidak berani keluar rumah. Dia tidak sanggup menghadapi tatapan mereka yang menghakiminya, hanya karena dia adalah tunangan Keshawn Trumble. *** “Sana, bangunkan Nak Juan. Kita makan bersama. Ibu akan panggil Bapak.” Risma mendongak tiba-tiba. “Bu, kenapa Risma?” “Memangnya siapa lagi?” “Risma yang akan panggil Bapak.” Bu Tetti menatap putrinya dengan pandangan bijak. “Kalau kamu ingin membantu para penduduk, cobalah dekat dengan Nak Juan dan dapatkan kompromi darinya.” Risma mendesah. “Risma bukan penjilat, Bu. Risma tidak bisa sok baik hanya untuk mendapatkan keuntungan.” “Ibu tidak menyuruh seperti itu, Nak. Ibu bilang cobalah dekat dengan Nak Juan. Artinya kamu benar-benar mencoba berteman dengannya dan buktikan sendiri bahwa lelaki itu tidak seburuk yang kita duga sebelumnya.” Bibir Risma mengerucut, sadar betul dirinya tidak pernah sanggup membantah sang Ibu. “Sudahlah, Ibu mau panggil Bapak.” Bu Tetti segera keluar dari dapur yang menyatu dengan ruang makan itu, tak memberi kesempatan Risma membantah lagi. Dengan langkah malas, Risma menuju kamar Rezka lalu mengetuk pintunya beberapa kali. Tidak ada sahutan, padahal tangan Risma sudah pegal mengetuk. Sebenarnya lelaki itu tidur atau mati sih? Klek. Padahal Risma hanya coba-coba membuka pintu. Tapi ternyata pintunya benar-benar tidak terkunci. Akhirnya Risma memutuskan masuk dan mencoba membangunkan Juan dari dekat. Suara dengkuran halus terdengar dari orang yang sedang berbaring telungkup itu. Risma berkacak pinggang dengan kesal. Meskipun penampilan luarnya keren dan berasal dari keluarga kaya, ternyata tidurnya sama saja seperti Bapak Risma atau Rezka. Mendengkur dengan liur membasahi bantal. “Hei, bangun!” seru Risma. Tidak ada tanggapan. “Hei, cepat bangun. Ibu memintamu ikut sarapan.” Juan masih lelap. Risma berdecak malas lalu memberanikan diri menepuk lengan Juan. “Tuan dari Keegan Corp.! Cepatlah bangun!” Risma menggeram kesal. Rasanya dia ingin menghantamkan kamus tebal di meja Rezka ke kepala Juan agar segera terjaga. Tapi beruntung akal sehat Risma masih menguasai. Mungkin nanti saja setelah luka di kening Juan mengering. Barulah Risma menuntaskan keinginannya untuk menghantam kepala Juan. “Tuan, dengar! Kalau kau tidak segera bangun, aku akan memukul kepalamu dengan bantal.” Wah, sepertinya itu ide bagus. Kenapa Risma tidak memikirkannya sejak tadi? Pukulan bantal tidak akan menimbulkan bekas dan tidak bisa menjadi bukti untuk mengirim Risma ke penjara atas tuduhan penganiayaan. Dengan senyum girang di bibir, Risma perlahan memindahkan tangan Juan yang menindih guling kapuk milik Rezka. Lalu tanpa menahan kekuatannya, Risma langsung menghantam punggung dan kepala Juan dengan bantal itu. “Astaga, hentikan!” Juan yang masih belum benar-benar lepas dari mimpinya mengerang seraya melindungi kepala dengan tangan. “Makanya cepat bangun!” bukannya berhenti, Risma masih menikmati memukul Juan dengan bantal. “Dasar wanita nakal. Aku akan menghukummu.” Tapi bukannya marah, senyum sayang muncul di bibir Juan. Tak diduga, mendadak lelaki itu menarik Risma lalu menyambar bibirnya. Risma yang kaget hanya bisa diam membeku dengan mata melebar. Hingga beberapa detik yang terasa lama sekali, barulah Juan melepaskan tautan bibir mereka lalu mundur, menatap Risma masih dengan senyum sayangnya. Namun kali ini senyum itu tidak bertahan lama. Kening Juan berkerut begitu mengenali wajah Risma. “Kau bukan Kirana?” --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD