Vian keluar dari ruangan Starla setelah berpamitan pada kakaknya dan juga kakak iparnya. Sebenarnya Vian juga masih belum terbiasa, dirinya tiba-tiba pulang karena kondisi kakak iparnya yang parah, sedangkan masalah Hana, Vian juga belum menemukan titik terangnya. Dari cerita kakaknya Hana tidak pernah muncul sekalipun di depan keluarganya hanya sekedar untuk menanyakan keberadaan dirinya.
"Awas saja kalau berani macem-macem," gumam Vian pelan seraya berjalan ke arah lain untuk mencari ruang kerjanya.
Hari ini Hana pulang lebih awal karena mamanya tiba-tiba saja pingsan di rumah, untung saja ada tetangganya yang membantu membawa mamanya ke kesehatan terdekat.
"Mama tidak meminum obatnya lagi?" Tanya Hana dengan kesal, matanya sudah memerah dan juga berkaca-kaca.
Di dunia ini dirinya hanya punya mamanya untuk menemani dirinya, dan bagaimana keadaannya jika mamanya memilih untuk mengabaikan kesehatannya sendiri.
Hana mengusap air mata yang sudah mengalir begitu saja, mamanya benar-benar sangat jahat pada dirinya yang sudah berjuang keras untuk tetap berdiri dengan tegak.
"Mah, tolong kerjasamanya. Hana tahu mama memikirkan Hana, tapi Hana lebih memikirkan kesehatan Mama." Kata Hana seraya memegangi tangan mamanya dengan pelan.
"Hana tahu mama tidak enak karena uang gaji Hana buat beli obat mama, tapi Hana benar-benar tidak masalah, Hana masih punya tabungan untuk kebutuhan Hana sendiri." Lanjut Hana yang tentu saja hanya didengarkan oleh mamanya.
Pada akhirnya semua hal yang dikatakan oleh Hana pada mamanya hanya berlalu begitu saja, Mamanya benar-benar tidak peduli dengan kekhawatiran yang ada di hatinya.
"Baiklah, Hana akan menikah. Untuk calonnya, mama yang pilihkan." Putus Hana pada akhirnya.
Keesokan harinya setelah pulang dari puskesmas di mana mamanya di rawat, Hana langsung saja pergi ke rumah sakit setelah mampir di rumah sebentar untuk mandi dan berganti baju.
Hana berlari seraya menatap ke arah gelang jam yang melingkar di tangannya, dirinya telat dan mungkin saja akan mendapatkan amarah dari seniornya. Tadi malam dirinya benar-benar tidak bisa tidur karena memikirkan kesehatan mamanya. Beberapa hari yang lalu mamanya bilang sudah tidak bisa menemani dirinya lebih lama, Hana juga sadar jika kesehatan mamanya menurun tapi dirinya masih egois meminta mamanya menunggu laki-laki yang bahkan tidak ia ketahui masih hidup atau tidak. Benar-benar anak yang durhaka.
Loker yang biasanya ramai karena para pegawai datang untuk menyimpan barang kini sudah sepi, itu berarti dirinya benar-benar sudah sangat telat.
"Sudah berapa kali saya memperingatkan kamu untuk datang tepat waktu? Kamu pikir rumah sakit ini punya nenek moyang kamu?" Suara yang terdengar saat Hana baru saja ingin menyimpan barang-barangnya membuat Hana sedikit bergetar dan menatap ke arah suara yang terdengar.
"Maafkan saya," balas Hana dengan suara pelannya. Kepalanya sudah menunduk dalam karena takut pada pimpinan perawat yang keras itu.
Cinta yang sedari tadi mengekor dibelakang kepala perawat tentu saja kasihan pada Hana. Dirinya lah orang yang paling tahu tentang keadaan Hana yang sangat sulit itu.
"Maafkan saya juga mbak, saya telat." Suara yang terdengar tiba-tiba membuat Hana menoleh ke arah laki-laki yang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya.
Gio Setiawan, laki-laki yang tiba-tiba muncul saat Hana telat datang. Siapapun tahu jika Gio menyukai Hana sedari dulu, tapi Hana selalu menolak atau bahkan menjauhi laki-laki itu.
Dulu Cinta pernah mengatakan pada Hana untuk menerima Gio saja dan melupakan laki-laki yang tidak jelas itu, tapi Hana terus menolaknya karena tidak bisa ingkar janji begitu saja.
"Ini peringatan terakhir buat kalian berdua, jika nanti masih telat datang lagi mending kalian mengajukan surat pengunduran diri."
Pada akhirnya keduanya kembali selamat, bagaimanapun juga Hana sangat berterima kasih pada Gio yang selalu menolongnya itu.
"Terima kasih sudah menolong saya," kata Hana dengan membungkukkan badannya ke arah Gio.
Gio lebih tua lima tahun dari Hana, tingkatan laki-laki itu pun sedikit lebih tinggi darinya, jadi Hana juga tidak bisa santai begitu saja. Apalagi dirinya juga tahu kalau laki-laki itu menaruh hati pada dirinya.
Cinta berlari menghampiri Hana dengan cepat.
"Harusnya kamu ambil cuti saja, kenapa juga datang." Marah cinta pada Hana.
"Masalah uang kamu bisa memakai uangku dulu kan, aku sudah bilang padamu." Lanjut Cinta lagi.
"Kalau tidak keberatan aku juga mau membantu jika Hana kesulitan."
Suara Gio yang tiba-tiba terdengar membuat Citra dan Hana menoleh ke arah laki-laki itu dengan tajam.
"Kak Gio, Cinta tahu kalau kakak sudah sampai sedari tadi tapi belum absen karena menunggu Hana, tapi tolong jangan membuat Hana tidak enak hati karena kakak. Demi Tuhan Hana punya perasaan, dia pasti akan menerima kak Gio jika dia menyukai kakak." Kata Cinta dengan kesal.
Cinta paling tahu jika sahabatnya Hana itu orangnya tidak enakan hati, dan jika laki-laki itu terus bersikap seperti itu tentu saja sahabatnya akan dengan terpaksa meluluhkan hatinya.
Gio menggaruk kepalanya yang tak gatal setelah mendapatkan omelan dari Cinta. Tentu saja Gio juga menganal sahabat dari wanita yang pernah ia sukai itu. Tapi sekarang keadaannya sudah berubah, tadi malam dirinya baru saja bertunangan dengan wanita pilihan orang tuanya.
"Sebenarnya aku sudah bertunangan tadi malam, jadi apakah aku masih tidak boleh membantu Hana?" Jawab Gio seraya menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya.
Cinta berdecak pelan sembari menendang kaki Gio karena kesal.
"Seharusnya bilang sedari tadi, ngapain juga malu-malu seperti itu." Balas Cinta dengan kesal.
"Ayo kembali kerja, nanti kena marah lagi." Kata Gio yang langsung saja membuat Hana dan Cinta mengangguk.
Hana meletakkan barangnya terlebih dahulu saat Cinta memilih pergi dulu, meninggalkan Hana dan juga Gio yang masih di loker.
"Nanti setelah pulang kerja apa bisa makan bersama?" Tanya Gio yang langsung saja membuat Hana menoleh ke arah Gio.
"Maaf kak, tidak bisa. Aku harus menemani mama dirawat." Jawab Hana dengan pelan.
"Kalau begitu lain kali saja, aku juga akan membawa tunangan ku kok, jadi kamu tidak usah khawatir." Kata Gio lagi yang langsung saja pamit pergi meninggalkan Hana sendirian.
Hana masuk ke dalam ruangan yang biasa ditempati 3-4 orang dengan membawa cairan infus ditangannya. Tentu saja tadi dirinya mendapatkan laporan jika cairan infus di ruangan itu hampir habis.
"Selamat pagi pak, bagaimana kabarnya?" Tanya Hana pada pasien laki-laki setengah baya.
"Kata dokter nanti besok sore sudah bisa pulang jika besok kondisinya sudah stabil." Jawab bapak-bapak itu yang langsung saja membuat Hana tersenyum saat mendengarnya.
"Syukurlah, terus sehat ya pak, kalau tidak kita bertemu lagi nanti." Balas Hana dengan tersenyum lebar.
Ibu-ibu yang menunggui bapak itu tentu saja juga ikut tertawa saat mendengar apa yang dikatakan oleh Hana. Melihat orang sakit tentu saja Hana ingat sama mamanya.
Setelah mengganti infus Hana pun berpamitan pergi dan ingin kembali ke tempatnya, tapi karena panggilan dari salah satu rekannya Hana tidak bisa kembali dan terpaksa berlari untuk mengejar temannya itu.
Vian terdiam, sedari tadi dirinya terus melihat banyak sekali rekan kerjanya yang berlarian ke sana ke mari. Seperti halnya wanita yang baru saja dipanggil oleh temannya itu, benar-benar pekerjaan yang sangat berat.
Suara dering ponsel yang terdengar membuat Vian merogoh jas kedokterannya dan mengambil ponselnya, setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya membuat Vian berbalik dan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan mengawasi keadaan rumah sakit miliknya itu.
"Maaf pak."
Vian mengambil napasnya panjang dan menatap ke arah ponselnya yang tergeletak di atas lantai. Suara laki-laki yang meminta maaf di depannya membuat Vian tersenyum tipis dan membiarkan laki-laki itu mengambilkan ponselnya.
"Lain kali kalau jalan hati-hati." Kata Vian yang langsung saja pergi meninggalkan Gio yang sedikit bingung karena melihat gelang yang dipakai oleh dokter di rumah sakit itu.
Meskipun Gio merasa aneh, tentu saja dirinya memilih untuk mengabaikan dan fokus pada pekerjaannya lagi.
Jam istirahat tiba, Hana mengambil makanan di kantin sendirian, Cinta masih sibuk jadi dirinya terpaksa pergi sendirian.
"Kamu sudah dengar? Tadi pemilik rumah sakit sedang keliling untuk mengawasi kerja kita." Kata seseorang yang langsung saja membuat Hana menajamkan pendengarannya.
"Tidak heran sih, mereka membayar kita lebih dari yang seharusnya." Jawab yang lainnya lagi.
Hana mengambil makanannya dengan hati sedikit was-was, tentu saja dirinya sedikit takut. Bukan hanya dirinya saja yang sering terlambat datang, yang lainnya juga banyak tapi entah kenapa dirinya merasa bersalah.
Setelah mengambil makanannya Hana pun mencari tempat duduk yang kosong, baru saja Hana duduk Gio sudah datang dan menghampirinya.
"Cinta belum selesai?" Tanya Gio yang langsung saja membuat Hana menggelengkan kepalanya pelan.
Hana pun memakan makanannya dalam diam, mengabaikan Gio yang sedari tadi mengajaknya bicara. Hana benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, dirinya sudah mengatakan pada mamanya jika dirinya setuju untuk menikah dalam waktu dekat ini, meskipun di dalam hatinya masih mengganjal soal Vian yang masih belum menampakkan batang hidungnya itu.
Semua orang yang tiba-tiba berdiri membuat Hana bingung dan ikut berdiri, Hana membalikkan badannya ke belakang dan menatap ke arah kakak Vian yang tengah mendorong istrinya dari belakang. Hana tersenyum tipis dan menundukkan kepalanya dalam. Jika ada yang bertanya kenapa dirinya tidak berlari ke depan sana dan menanyakan keberadaan Vian! Tentu saja dirinya akan menjawab dengan pasti jika dirinya ragu, siapa dirinya hingga berani percaya diri untuk menanyakan sebuah janji yang belum jelas pembuktiannya. Dirinya yang hanya berasal dari kasta bawah tentu saja tidak seberani itu untuk melakukan hal itu.
"Kalian lanjutkan makan siangnya, sebenarnya di sini saya bukan atasan kalian tapi keluarga dari pasien yang kalian rawat dengan baik. Jadi jangan seperti ini lagi." Kata Gibran yang langsung saja membuat semua orang mengangguk dan kembali duduk untuk meneruskan makanannya.
"Mereka baik ya?" Tanya Gio yang langsung saja membuat Hana mendongakkan kepalanya dan tersenyum tipis.
"Dulu aku berpikir kalau semua orang kaya pasti punya sifat sombong dan juga semena-mena, tapi sekarang pikiran itu hilang begitu saja setelah bertemu pemilik rumah sakit ini." Lanjut Gio terang-terangan memperlihatkan pandangan kagum dan juga tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat.
"Dari awal kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari katanya saja bukan? Kita harus mendekatinya dan mengenalnya dengan baik, baru deh kita tahu sifat aslinya bagaimana." Jawab Hana seraya tersenyum lebar.
"Saya pergi dulu ya kak, Hana lupa punya sesuatu yang harusnya dikerjakan." Pamit Hana yang langsung saja pergi dengan membawa nampan makanannya.
Bersamaan dengan perginya Hana, Vian masuk ke area istirahat untuk menyapa kakak dan juga kakak iparnya yang mulai membaik itu.
"Apa ada sesuatu yang harus Vian perbaiki?" Tanya Vian pada kakaknya.
Tentu saja alasan Gibran datang ke kantin khusus pegawai rumah sakit untuk memastikan jika makanan yang dimakan oleh para pegawainya itu memang layak makan. Bukannya Gibran tidak percaya, tapi di dunia ini banyak sekali orang yang gila harga hingga melupakan kewajibannya.
"Sepertinya tidak ada, coba kamu tanyakan menu yang mereka hidangkan setiap harinya, buatlah menu yang berbeda-beda agar para pegawai tidak bosan dan juga makin semangat kerjanya. Tambahkan juga camilan kecil dan juga yogurt sebagai pelengkap. Untuk dananya nanti bisa kita bicarakan di ruangan kamu." Jawab Gibran yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Vian.
Gibran dan Starla pun pergi, meninggalkan Vian untuk mengerjakan tugas yang baru saja diberikan oleh Gibran.
Vian berjalan mengambil nampan makanan dan juga beberapa lauk pauk yang tersedia, tentu saja dirinya juga harus mencoba makanan yang ia sediakan. Setelah selesai mengambilnya, Vian pun mencari meja kosong dan menemukan seorang laki-laki yang duduk sendirian. Vian bergegas menghampiri laki-laki itu dan duduk di sana, setidaknya dirinya juga bisa tanya-tanya sesuatu pada laki-laki tentang rumah sakitnya.
"Apa saya bisa duduk di sini?" Tanya Vian yang langsung saja membuat Gio mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah Vian dengan terkejut.
"Tentu saja pak, tunggu sebentar." Jawab Gio yang langsung saja berdiri dan mencari sapu tangannya untuk membantu Vian membersihkan meja yang tadi ditempati oleh Hana yang baru saja pergi.
Tentu saja Vian tidak menunggu dan langsung duduk, membuat Gio terbengong saat melihatnya.
"Saya bukan orang yang perfeksionis kok, sudah terbiasa dengan hal-hal basah seperti ini." Kata Vian seraya menunjuk ke arah air yang mengambang di atas meja karena air es yang mencair dari gelas.
"Ah iya, maafkan saya karena sudah salah paham." Jawab Gio yang langsung saja kembali duduk dan makan dalam diam.
Diam-diam Gio mengamati pemilik rumah sakit yang duduk di depannya. Selain muda tentu saja laki-laki di depannya sangat tampan dan juga ramah. Siapapun pasti tidak akan percaya jika mendengar bahwa laki-laki itulah yang memiliki rumah sakit besar ini.
Vian melipat jas dokternya dan memperlihatkan gelang yang sama dengan milik Hana. Vian sendiri memang terbiasa memakai gelang itu untuk menolak berbagai wanita yang mendekatinya, mungkin saja wanita-wanita itu sangat cantik dan juga menggoda tapi entah kenapa Vian masih ingat betapa cerobohnya Hana yang sangat ingin ia lindungi dengan baik.
Suara sesuatu yang jatuh membuat Vian menoleh dengan cepat, Vian tersenyum kecil saat melihat seseorang duduk di bawah dan membereskan peralatan makanannya yang jatuh, persis seperti itulah Hana dulu. Tidak tahu sekarang apa sudah membaik atau belum.
Vian memakan makanannya dengan tenang, tentu saja dirinya harus merasakan dengan baik rasa makanan yang dimakan oleh para pegawainya.
"Apa ada pegawai yang hamil?" Tanya Vian pada Gio.
Gio yang sedari tadi terfokus pada gelang yang dipakai Vian tentu saja terkejut saat tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Ada pak, karena kebanyakan perawat yang bekerja di sini berjenis kelamin perempuan dan juga sudah menikah tentu saja ada yang mengandung dan juga menyusui. Ada juga beberapa dokter yang seperti itu." Jawab Gio setelah terdiam cukup lama untuk memikirkan jawaban apa yang pantas untuk ia katakan.
Vian menghentikan gerakan sumpitnya dan mengunyah makanannya dengan lebih lambat, tentu saja dirinya harus menyiapkan yang terbaik. Untuk ibu hamil dan juga menyusui makanan seperti ini tentu saja kurang sehat.
"Berapa kali para pegawai makan?" Tanya Vian lagi.
"Satu kali pak, saat menjelang sore ada istirahat sebentar, tapi tidak ada makanan. Biasanya kita akan membeli jajanan di kantin rumah sakit." Jawab Gio dengan jujur.
"Ah, untuk yang mendapatkan shif malam mereka juga makan sisa makanan yang dihidangkan di siang hari." Lanjut Gio menambahkan.
Vian meletakkan sumpitnya dan mengusap hidung mancungnya pelan, gerakan tangan Vian tentu saja membuat Gio kembali fokus pada gelang yang dipakai oleh Vian.
"Maaf saya lancang, sepertinya gelang anda mirip milik teman saya." Kata Gio pada akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Ini hanya ada 2 di dunia, saya memesan khusus untuk pasangan saya. Mungkin saja hanya mirip tapi tidak benar-benar yang asli." Jawab Vian yang tentu saja menjelaskan hal itu dengan senyuman yang lebar.
"Ah, sepertinya memang begitu. Maafkan saya karena lancang mempertanyakan hal itu." Balas Gio lagi dengan sopan.
"Tidak apa-apa, sudah biasa jika suatu barang ada tiruannya." Jawab Vian pelan.
Vian juga tahu akna hal itu, banyak sekali barang yang memiliki tiruan tapi tidak dengan seseorang. Setiap orang punya daya tariknya sendiri, mau mengikutinya seperti apapun pasti tidak akan pernah bisa sama persis.
"Mengingat gelang ini, saya akan undur diri lebih dahulu karena saya harus mencari pasangan saya yang hilang kontak." Kata Vian yang tentu saja pergi begitu saja tanpa menghabiskan makanan yang ada di atas nampannya. Vian tidak bisa diam lama-lama karena ini persoalan hati, dirinya juga yang akan menyesal jika sampai kehilangan wanita yang selama beberapa tahun ini ada di dalam hati dan juga pikirannya.
Gio terdiam, sudah dua kali dirinya ditinggalkan oleh orang yang berbeda di tempat yang sama. Lalu apa tadi? Pasangan yang hilang? Apa itu masuk akal jika orang setampan dan sekaya itu kehilangan kekasihnya?
"Hanya orang-orang kaya yang tahu bagaimana percintaan mereka." Gumam Gio pelan dan meneruskan makanannya dengan cepat.
Meskipun waktu istirahat masih lumayan panjang, dirinya juga tidak bisa bersantai begitu saja karena dirinya seorang petugas yang harus melakukan yang terbaik dalam membantu seseorang yang sakit dan butuh pertolongannya.
Tbc