Bab 3 – Persahabatan yang Tumbuh

1054 Words
Hari-hari di kampus berlalu dengan ritme yang hampir sama, tapi bagi Arka, ada sesuatu yang membuat setiap hari terasa berbeda: Nayla. Entah bagaimana, kehadirannya selalu membuat suasana terasa ringan. Setiap pagi, Arka sering melihat Nayla sudah duduk di bangku depan kelas, membuka buku catatan sambil menyiapkan alat tulis. Sesekali, Nayla melambaikan tangan kecilnya ketika menyadari Arka datang. Sapaannya sederhana, tapi cukup membuat d**a Arka menghangat. “Arka, kamu sudah kerjain tugas makalah?” tanya Nayla suatu hari, wajahnya terlihat khawatir. “Sudah,” jawab Arka singkat. Nayla mendesah pelan. “Aku baru setengah. Bisa ajarin aku nanti? Kayaknya aku salah paham sama struktur makalah.” Arka menatapnya, ingin menolak karena tugasnya juga masih perlu diperbaiki. Tapi melihat mata Nayla yang berharap, ia hanya mengangguk. “Baik, nanti kita kerjakan bareng.” Sejak hari itu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Tidak hanya di perpustakaan, tapi juga di kantin, taman belakang, bahkan kadang di kosan teman untuk diskusi kelompok. Persahabatan mereka menjadi bahan bisik-bisik di kalangan teman satu jurusan. “Eh, kamu lihat nggak, Arka sama Nayla kayaknya makin dekat?” bisik salah satu teman perempuan di kelas. “Iya, padahal Arka itu kan jarang ngobrol sama cewek. Cuma sama Nayla dia keliatan nyaman.” Arka mendengar bisik-bisik itu sekali waktu, tapi ia memilih diam. Baginya, Nayla memang berbeda. Ia bukan sekadar teman sekelas, melainkan seseorang yang bisa memahami dirinya tanpa perlu banyak penjelasan. Suatu sore, mereka duduk di taman kampus setelah kelas selesai. Daun-daun berguguran, menandakan musim hujan sebentar lagi tiba. “Arka,” panggil Nayla, menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Ya?” “Menurutmu, persahabatan antara laki-laki dan perempuan bisa murni nggak?” Nayla bertanya tiba-tiba, membuat Arka tertegun. “Kenapa nanya begitu?” Nayla mengangkat bahu. “Entah. Aku cuma penasaran. Soalnya orang-orang di kelas sering gosip kalau kita ini lebih dari teman.” Arka terdiam, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Menurutku… bisa saja. Selama keduanya saling menghargai.” Nayla menoleh, menatap wajah Arka lama. “Kamu yakin?” Arka menelan ludah. Tatapan itu seperti menelanjangi hatinya, seakan Nayla tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan. Namun ia memilih tetap tenang. “Aku yakin,” jawabnya pelan. Nayla tersenyum samar, lalu kembali menatap langit. “Aku senang kita berteman, Arka. Kamu orang yang bisa aku percaya.” Ucapan itu membuat hati Arka terasa penuh. Ia ingin mengatakan sesuatu lebih dari sekadar “teman”, tapi bibirnya terkunci. Baginya, menjaga Nayla dengan tetap berada di sisinya sebagai sahabat lebih baik daripada kehilangan karena salah langkah. Kebersamaan mereka makin erat. Saat ada acara kampus, Arka dan Nayla sering ditunjuk sebagai panitia. Saat ujian, mereka saling mengingatkan untuk belajar. Saat salah satu sakit, yang lain akan datang menjenguk dengan membawa bubur atau sekadar obat. Di mata orang lain, mereka sudah seperti pasangan. Tapi di mata mereka sendiri, itu adalah persahabatan yang nyaman, meski diam-diam menyimpan rasa yang lebih dalam. Malam itu, di kamar kosnya, Arka menatap buku catatannya yang penuh coretan. Tapi pikirannya bukan tentang pelajaran. Ia menulis sebuah kalimat di sudut kertas: "Apakah aku sanggup hanya menjadi sahabat, ketika hatiku ingin lebih?" Arka menatap kalimat itu lama, lalu menghela napas. Ia tahu, jawaban itu tidak akan mudah. Sementara itu, di kamarnya sendiri, Nayla juga menulis di jurnal kecilnya. "Aku bersyukur ada Arka di hidupku. Tapi… mengapa rasanya aku takut kehilangan, bahkan hanya membayangkannya saja sudah sakit?" Di balik tawa, canda, dan kebersamaan, ada benang halus yang mulai mengikat hati mereka. Persahabatan itu tumbuh semakin kuat, tapi benih cinta yang tersembunyi diam-diam mulai mencari celah untuk tumbuh lebih besar. Dan meski keduanya belum menyadarinya, persahabatan inilah yang kelak akan menjadi fondasi sekaligus ujian terberat dalam hidup mereka. Suatu malam, setelah rapat organisasi kampus yang cukup melelahkan, Arka dan Nayla pulang lebih larut dari biasanya. Jalan kampus sudah sepi, lampu taman temaram, dan hanya suara jangkrik menemani langkah mereka. Nayla terlihat lelah, menenteng tas berat berisi dokumen. Arka spontan menawarkan, “Sini, biar aku yang bawa.” Nayla menggeleng, meski wajahnya jelas kelelahan. “Nggak usah, aku kuat kok.” Arka tersenyum tipis. “Aku tahu kamu kuat, Nay. Tapi biar aku saja. Sahabat kan memang saling bantu.” Nayla tertegun sejenak sebelum menyerahkan tas itu. Ada sesuatu di nada suara Arka yang terasa lebih dalam dari sekadar kata sahabat. Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Suasana malam membuat hati keduanya berdegup lebih kencang. Saat melewati jembatan kecil di tengah kampus, Nayla tiba-tiba berhenti. “Arka…” panggilnya lirih. Arka menoleh. “Hm?” Nayla menatap air di bawah jembatan, lalu kembali menatap Arka. “Pernah nggak sih kamu merasa takut kehilangan seseorang, padahal orang itu belum tentu milikmu?” Pertanyaan itu menusuk d**a Arka. Ia ingin menjawab “ya”, bahkan sangat. Tapi ia hanya bisa menahan napas, mencoba terlihat tenang. “Setiap orang pasti punya rasa takut itu,” jawabnya akhirnya, memilih kata-kata aman. Nayla tersenyum kecil, meski matanya seperti menyimpan sesuatu. “Aku juga merasakannya. Entahlah… kadang aku takut, kalau suatu hari, kamu nggak ada di sini lagi.” Arka terpaku. Kata-kata itu membuat hatinya berguncang. Ia ingin sekali berkata bahwa ia tidak akan pergi, bahwa Nayla adalah bagian penting dari hidupnya. Tapi bibirnya tetap terkunci. Angin malam berhembus lembut, seakan menertawakan dua hati yang sama-sama ragu untuk jujur. “Jangan khawatir, Nay,” ucap Arka akhirnya, berusaha menenangkan. “Selama aku bisa, aku akan selalu ada.” Nayla menatapnya lama, seakan mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Lalu ia mengangguk pelan, tersenyum samar. “Terima kasih, Arka. Kamu memang sahabat terbaikku.” Kata sahabat itu menusuk hati Arka. Baginya, itu berarti garis batas yang jelas. Namun ia juga tahu, jika ia melangkah melewati batas itu, ia bisa kehilangan segalanya. Malam itu, mereka kembali melanjutkan langkah. Dua hati yang sama-sama penuh rasa, tapi memilih diam. Di langit, bintang berkelip samar. Seolah ikut menyaksikan bagaimana cinta perlahan tumbuh di balik persahabatan yang rapuh. Malam itu berakhir tanpa pengakuan, hanya dengan senyum tipis dan langkah kaki yang beriringan. Namun, keduanya tahu ada sesuatu yang berbeda. Ada getar halus yang bersembunyi di antara canda, ada rasa yang tak bisa diucapkan tapi semakin kuat mengikat. Arka menatap punggung Nayla sesaat, menyadari betapa besar arti kehadirannya. Sementara Nayla, dalam diam, berharap waktu berhenti agar momen itu tak pernah hilang. Dan di balik persahabatan yang tampak sederhana, benih cinta perlahan tumbuh, menunggu saatnya mekar di tengah kebisuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD