Bab 4 – Perasaan yang Tersembunyi

1017 Words
Hari-hari kampus berjalan seperti biasa, tapi bagi Arka, setiap detik terasa berbeda sejak percakapan di jembatan malam itu. Kata-kata Nayla tentang “takut kehilangan” terus terngiang dalam kepalanya, seolah menjadi rahasia yang hanya dimengerti mereka berdua. Arka mulai memperhatikan hal-hal kecil: bagaimana Nayla selalu merapikan rambutnya saat gugup, cara ia menggigit ujung pulpen saat berpikir keras, bahkan tawa lepasnya ketika bercanda dengan teman-teman lain. Semuanya tampak begitu berharga. Namun semakin ia menyadari perasaan itu, semakin besar pula ketakutan yang menghantui. Bagaimana jika pengakuannya justru menghancurkan persahabatan? Bagaimana jika Nayla hanya benar-benar menganggapnya sebatas teman dekat? Di sisi lain, Nayla pun merasakan hal serupa. Ia sering mendapati dirinya menunggu pesan singkat dari Arka, atau merasa kecewa ketika Arka sibuk dengan urusannya sendiri. Hatinya berdebar setiap kali Arka memuji hal sederhana tentang dirinya, tapi ia buru-buru menutupi dengan tawa agar tidak terlihat jelas. Suatu sore, mereka duduk di kantin kampus setelah kelas panjang yang melelahkan. Nayla menatap Arka yang sedang serius membaca catatan. Ia memberanikan diri bertanya, “Arka… kamu pernah nggak sih, suka sama seseorang, tapi takut kalau bilang malah semuanya berubah?” Pertanyaan itu membuat Arka terhenti. Tangannya kaku memegang pena. Ia menoleh, menatap Nayla lama, mencoba membaca maksud dari tatapannya. Jantungnya berdetak kencang, seolah mendesak untuk berkata jujur. Namun pada akhirnya, Arka hanya tersenyum tipis. “Pernah. Tapi… kadang memang lebih baik disimpan. Karena nggak semua perasaan harus diucapkan, kan?” Nayla terdiam. Ada rasa lega sekaligus perih dalam hatinya. Lega karena ternyata mereka sama-sama menyimpan sesuatu, tapi perih karena keberanian itu tak pernah benar-benar ada. Mereka kembali larut dalam percakapan ringan, seolah pertanyaan tadi tak pernah ada. Tapi keduanya tahu, semakin mereka berusaha menyembunyikan, semakin dalam perasaan itu tertanam. Di balik tawa, di balik candaan, ada cinta yang tumbuh diam-diam. Cinta yang hanya mereka berdua rasakan, tapi tak satu pun berani mengakui. Beberapa hari kemudian, kampus mengadakan acara pentas seni tahunan. Arka dan Nayla sama-sama terlibat dalam panitia, membuat mereka sering pulang larut malam untuk rapat dan menyiapkan panggung. Malam itu, setelah semua panitia bubar, hanya tersisa mereka berdua yang sedang merapikan kursi di aula. Lampu panggung masih menyala, memantulkan cahaya hangat yang menyoroti wajah Nayla. “Capek banget, ya,” ujar Nayla sambil mengikat rambutnya. Keringat menetes di pelipisnya, tapi justru membuatnya terlihat semakin alami. Arka menatapnya lama tanpa sadar. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, sesuatu yang menekan dadanya untuk keluar. “Nayla…” suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. Nayla berhenti merapikan kursi dan menoleh. “Hm?” Arka membuka mulut, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokan. Ia ingin berkata bahwa ia menyukainya, bahwa ia tak pernah bisa melihat Nayla sebagai sekadar sahabat. Namun yang keluar justru, “Kamu hebat, tahu nggak? Tanpa kamu, acara ini pasti berantakan.” Nayla tersenyum, tapi dalam hatinya, ia sempat berharap lebih. Kata-kata itu terlalu aman, terlalu ringan untuk menutupi tatapan Arka yang tadi terasa begitu berbeda. “Terima kasih, Arka. Kamu juga, selalu bisa diandalkan,” jawab Nayla, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Mereka kembali bekerja dalam diam, hanya suara gesekan kursi yang terdengar. Namun hati keduanya penuh riuh yang tak terucap. Saat akhirnya keluar dari aula, mereka berjalan beriringan menuju gerbang kampus. Malam terasa sunyi, hanya cahaya lampu jalan yang menemani. Di depan gerbang, Nayla menoleh. “Arka…” Arka menatapnya. “Iya?” Nayla ingin berkata, ingin mengungkapkan isi hatinya yang semakin tak terbendung. Tapi ia ragu, takut merusak segalanya. Jadi, yang keluar hanyalah, “Hati-hati pulangnya, ya.” Arka tersenyum samar. “Kamu juga.” Mereka pun berpisah, menyimpan lagi kata-kata yang seharusnya terucap. Dan malam itu, langit seakan menjadi saksi bagaimana dua hati yang saling mencintai memilih diam, lagi dan lagi. Dalam perjalanan pulang, Arka memilih untuk berjalan kaki lebih jauh, meski sebenarnya rutenya bisa lebih singkat. Alasannya sederhana—karena ia tahu jalan itu adalah jalur yang sering dilewati Nayla. Benar saja, beberapa menit kemudian Nayla muncul dengan langkah pelan sambil memeluk buku-buku di dadanya. “Eh, kamu belum pulang?” tanya Nayla terkejut melihat Arka. Arka hanya tersenyum. “Baru saja. Nggak enak kalau pulang sendirian, kan?” Nayla tertawa kecil, mencoba menutupi debaran jantungnya. Mereka pun berjalan beriringan. Malam itu kota terasa lebih sepi, hanya suara angin yang menyusup di sela-sela dedaunan. Di sebuah taman kecil dekat jalan, mereka berhenti sebentar untuk duduk di bangku kayu. Lampu taman redup, menciptakan suasana tenang yang sulit untuk tidak membuat hati terbuka. “Aku suka malam seperti ini,” ujar Nayla pelan. “Tenang… nggak ribut, bikin aku bisa berpikir banyak hal.” Arka menoleh, matanya menatap wajah Nayla yang diterangi cahaya lampu samar. “Tentang apa?” Nayla menunduk sebentar, lalu tersenyum samar. “Tentang masa depan, tentang orang-orang yang penting dalam hidupku… tentang hal-hal yang nggak bisa aku ungkapkan.” Kalimat itu menusuk hati Arka. Ia ingin sekali bertanya, Apakah aku salah satunya? Namun, ia hanya mampu menggenggam erat buku catatannya, menahan gejolak yang hampir pecah. Setelah beberapa saat hening, Nayla berdiri. “Ayo pulang, sudah malam.” Arka mengangguk, tapi dalam hati ia tahu: momen singkat di taman itu akan terus ia ingat. Karena di balik kata-kata samar Nayla, ia merasakan sesuatu yang sama seperti yang ia simpan—perasaan yang tak pernah berani mereka ucapkan. Malam itu akhirnya berakhir tanpa satu pun keberanian terucap. Mereka berpisah di persimpangan jalan—Arka ke arah kosnya, Nayla ke arah rumah kontrakan yang ia tinggali bersama teman-temannya. Tapi langkah kaki keduanya sama-sama terasa berat, seolah ada sesuatu yang tertinggal di udara. Arka menatap punggung Nayla hingga menghilang, merasakan kehampaan aneh yang membuat dadanya sesak. Ia tahu, semakin lama ia diam, semakin besar kemungkinan kehilangan. Namun bibirnya tetap terkunci, kalah oleh rasa takut yang tak pernah mau pergi. Sementara itu, Nayla berjalan dengan tatapan kosong ke depan. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa jawab. Mengapa ia selalu menunggu pesan dari Arka? Mengapa setiap tatapan lelaki itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat? Dan mengapa ia merasa kecewa setiap kali Arka memilih kata-kata aman alih-alih jujur? Keduanya sama-sama memendam, sama-sama merasakan, tapi memilih diam. Dan diam itulah yang kini menjadi bahasa cinta mereka—cinta yang tumbuh, tapi tak pernah terucap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD