Hari-hari di kampus berlalu dengan cepat. Sejak acara pentas seni, Arka dan Nayla semakin sering menghabiskan waktu bersama. Entah itu untuk mengerjakan tugas, membantu dosen, atau sekadar duduk di kantin membicarakan hal-hal remeh. Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan kedekatan itu.
“Eh, kalian pacaran, ya?” celetuk salah satu teman sekelas mereka, Risa, sambil menyipitkan mata iseng.
Nayla langsung tersedak minumnya, sementara Arka buru-buru mengibaskan tangan. “Nggak lah, cuma temen. Lagian, kita sering bareng karena kebetulan aja.”
Jawaban itu sukses membuat Nayla terdiam. Ia tersenyum samar untuk menutupi rasa kecewa yang muncul entah dari mana. Baginya, Arka lebih dari sekadar teman. Tapi bagaimana mungkin ia mengakuinya kalau Arka sendiri tak pernah memberi tanda jelas selain perhatian kecil yang selalu membuatnya salah paham?
Di sisi lain, Arka menunduk sambil merutuki dirinya. Bukan karena malu dituduh pacaran, tapi karena hatinya berteriak ingin berkata ya, aku ingin Nayla jadi milikku. Namun lagi-lagi, keberanian itu hilang sebelum sempat keluar.
Suatu sore, mereka duduk di taman kampus menunggu kelas malam dimulai. Langit mulai berubah warna, memerah keemasan. Burung-burung melintas, dan semilir angin membuat suasana begitu tenang.
“Kadang aku iri,” ujar Nayla tiba-tiba.
“Iri sama siapa?” tanya Arka heran.
“Sama orang-orang yang bisa dengan mudah bilang apa yang mereka rasakan. Aku tuh sering mikir, kalau kita terlalu lama diam, nanti malah nyesel sendiri.” Nayla tersenyum hambar, seolah ucapannya hanyalah candaan.
Namun Arka justru terdiam. Kata-kata Nayla bagai panah yang tepat mengenai hatinya. Ia tahu maksud ucapan itu bukan sekadar obrolan ringan. Ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya.
Arka menarik napas panjang. Inilah saatnya, pikirnya. Tapi saat ia hendak membuka mulut, bel kampus berbunyi nyaring.
“Kelas kita mulai, ayo!” seru Nayla sambil bangkit berdiri.
Arka terdiam, kesempatan itu lagi-lagi menguap. Ia hanya bisa tersenyum kaku sambil mengikutinya masuk ke gedung. Dalam hati, ia menyesali keputusannya sendiri yang selalu menunda.
Semakin lama, rasa yang tak terucap itu menjadi beban. Mereka berdua semakin dekat, namun justru semakin terikat dalam kebisuan. Orang-orang sekitar semakin yakin mereka punya hubungan khusus, tapi setiap kali ditanya, jawaban yang sama keluar: “Kami hanya teman.”
Malam-malam Arka diwarnai gelisah. Ia sering terjaga sambil menatap layar ponsel, ragu untuk mengetik pesan yang sebenarnya sederhana: Aku suka kamu. Tapi jarinya selalu berhenti, lalu ia menghapus kata-kata itu sebelum sempat terkirim.
Nayla pun tak berbeda. Di kamarnya, ia sering termenung memandangi buku catatan kuliah yang dipenuhi coretan. Di salah satu halamannya, ia pernah menuliskan: Andai saja aku berani jujur, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tapi begitu tulisan itu terbaca kembali, ia buru-buru merobek halamannya agar tak ada yang tahu.
Hingga suatu hari, dosen mereka memberi tugas kelompok. Nama mereka kembali disatukan. Kali ini, mereka harus menghabiskan lebih banyak waktu bersama untuk menyelesaikan penelitian kecil.
Saat malam tiba, mereka berkumpul di perpustakaan. Sunyi, hanya suara kipas angin tua yang berdecit. Di meja panjang, buku-buku dan catatan berserakan.
“Arka, aku boleh jujur?” tanya Nayla tiba-tiba sambil menatap catatan di tangannya.
Arka menoleh cepat, jantungnya langsung berdegup tak karuan. “Apa?”
Nayla menahan napas, lalu tersenyum kecil. “Aku… senang bisa sekelompok sama kamu. Kerjaannya jadi lebih ringan.”
Arka tertegun. Hanya itu. Lagi-lagi Nayla berhenti di tengah jalan, menyembunyikan sesuatu yang lebih besar di balik kalimat aman.
“Iya, aku juga,” balas Arka singkat.
Mereka berdua lalu tertawa kecil untuk memecah ketegangan. Tapi di dalam hati masing-masing, ada ribuan kata yang ingin keluar—kata-kata yang tak pernah berani mereka ucapkan.
Malam itu, setelah selesai mengerjakan tugas, mereka berjalan keluar bersama. Di depan perpustakaan, langkah keduanya melambat.
“Aku pulang dulu, ya,” kata Nayla.
Arka mengangguk, lalu menatapnya sebentar. “Nayla…”
“Iya?” Nayla menoleh.
Arka ingin sekali mengatakan sesuatu. Kata-kata sudah sampai di ujung lidah. Tapi detik berikutnya, ia hanya menggeleng pelan. “Hati-hati di jalan.”
Nayla tersenyum, tapi matanya menyimpan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu juga.”
Mereka pun berpisah. Dan sekali lagi, malam menjadi saksi betapa cinta yang seharusnya terucap justru terus terkubur dalam diam.
Malam semakin larut, kota sudah mulai lengang. Lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat di aspal yang basah sisa gerimis. Arka berjalan sendirian menuju kos, dengan langkah gontai. Suara sepatu bertemu jalan menjadi satu-satunya bunyi yang menemani pikirannya yang kacau.
“Kenapa aku selalu pengecut?” gumamnya pelan. Ia menengadah, menatap langit yang diselimuti awan. Seandainya Nayla bisa mendengar isi hatinya, ia pasti tahu betapa besar perasaan yang selama ini Arka sembunyikan. Bukan sekadar kagum, bukan sekadar nyaman—tapi cinta yang tumbuh kuat dari setiap tatapan dan kebersamaan mereka.
Namun lidahnya selalu kelu. Ia takut. Takut jika kata “suka” yang terucap justru membuat Nayla menjauh. Takut jika apa yang selama ini indah runtuh hanya karena ia terlalu jujur. Ketakutan itulah yang membuatnya memilih diam, meski hatinya terus berteriak meminta kebebasan.
Sementara itu, Nayla berjalan ke arah kontrakan dengan pikiran tak kalah kalut. Setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang membelenggu. Di dalam hatinya, Nayla tahu Arka berbeda dari lelaki lain. Ada rasa aman yang selalu hadir di dekatnya, ada ketulusan yang tak bisa ia abaikan.
Namun, sama seperti Arka, Nayla pun tak pernah berani mengungkapkan. Ia takut ditolak. Takut perasaan itu hanya satu arah. Maka, ia memilih menutupi semuanya dengan senyum tipis dan kalimat-kalimat ringan yang selalu terdengar “aman”.
Sampai di kamarnya, Nayla duduk termenung di depan meja belajar. Ia membuka buku catatannya, menulis sesuatu di halaman kosong:
Andai saja dia tahu betapa aku menunggunya untuk jujur…
Lalu, dengan cepat ia menutup buku itu, seakan malu pada perasaannya sendiri. Ia memeluk lutut, membiarkan matanya basah oleh air yang tak sanggup ditahan lagi.
Di tempat lain, Arka juga duduk di tepi ranjang sempit kosnya, menatap layar ponsel. Berkali-kali ia mengetik pesan: Aku suka kamu, Nay. Namun, sebelum sempat menekan tombol kirim, ia menghapusnya lagi. Hanya ada satu pesan singkat yang akhirnya ia kirim:
“Udah sampe rumah belum?”
Pesan itu terkirim, lalu tanda centang dua muncul. Tak lama kemudian, balasan dari Nayla datang:
“Udah. Makasih ya, Arka.”
Arka menatap layar lama, lalu tersenyum pahit. Begitu sederhana, begitu biasa, padahal ada berjuta rasa yang tak terucap di balik kata-kata itu.
Dan malam itu, dua hati yang sama-sama mencinta kembali memilih diam, seakan dunia memberi mereka waktu lebih lama untuk terus menunggu—hingga tiba saatnya kenyataan memaksa mereka bicara.