Bab 6 – Bayangan Masa Lalu

1060 Words
Hari itu, kampus tempat Arka dulu mengajar tengah mengadakan sebuah seminar ilmiah. Nayla datang mewakili Arka, membawa putri kecil mereka, Kayla, yang tampak lucu dengan gaun biru muda. Banyak kolega Arka menyapa dengan ramah, menanyakan kabar sang dosen yang kini sedang menempuh studi S3 di luar negeri. Nayla hanya menjawab dengan senyum, mencoba menutupi rasa rindu yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik keramaian acara itu, ada sepasang mata yang terus mengikuti gerak-geriknya. Mata itu milik Rangga, pria yang dulu sempat menjadi bagian dari lingkaran pertemanan mereka saat kuliah. Rambutnya kini lebih rapi, tubuhnya lebih berisi, dan penampilannya semakin berwibawa dengan jas abu-abu yang pas di tubuh. Rangga telah lama menunggu momen ini—kesempatan untuk kembali mendekati Nayla, wanita yang diam-diam selalu ia kagumi sejak masa kuliah. “Nayla?” suara berat itu terdengar dari belakang ketika Nayla sedang duduk di salah satu sudut ruangan, menenangkan Kayla yang mulai rewel. Nayla menoleh cepat, matanya membesar. “Rangga?” suaranya hampir tercekat. Sudah bertahun-tahun mereka tak berjumpa, dan sekarang sosok itu berdiri hanya beberapa langkah di depannya. “Lama sekali kita tidak bertemu,” kata Rangga sambil tersenyum, meski di balik senyuman itu ada sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku hampir tak mengenalimu… kecuali senyummu, yang masih sama.” Nayla merasa canggung. Ia berusaha mengatur ekspresi wajahnya. “Ya, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sopan. “Baik. Sangat baik,” jawab Rangga cepat. “Dan kamu… aku dengar sudah menikah dengan Arka? Sudah punya anak juga, ya?” Nayla mengangguk, lalu menggeser posisi duduknya sambil memangku Kayla lebih erat. “Ya, ini Kayla. Usianya baru tiga tahun.” Rangga menatap Kayla dengan senyum samar. “Cantik sekali. Mirip kamu.” Ada keheningan singkat. Nayla tak tahu harus menjawab apa. Ingatannya melayang pada masa kuliah dulu—Rangga adalah sosok yang rajin, humoris, dan pernah beberapa kali menunjukkan perhatian lebih padanya. Namun, ia tak pernah menanggapinya karena hatinya sejak awal tertambat pada Arka. Kini, di hadapan Rangga, ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan. Bukan cinta, bukan rindu, tapi semacam rasa waspada. “Aku dengar Arka sedang melanjutkan studi S3 di luar negeri?” tanya Rangga, nada suaranya terdengar tenang tapi matanya meneliti wajah Nayla. Nayla mengangguk lagi. “Ya, benar. Dia di luar negeri… cukup lama. Tapi kami baik-baik saja.” Rangga menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatap Nayla lebih dalam. “Kau pasti sering merasa kesepian, Nayla. Membesarkan anak seorang diri, sementara suami jauh di negeri orang… itu pasti tidak mudah.” Nayla terdiam. Kata-kata Rangga seperti menekan titik rapuh di hatinya. Memang benar, ia sering merasa kesepian. Sering merasa rindu. Sering merasa lelah menghadapi semuanya sendirian. Tapi mendengar itu dari Rangga justru membuatnya tidak nyaman. “Aku sudah terbiasa,” jawab Nayla singkat, mencoba terdengar tegar. Rangga tersenyum tipis, lalu menunduk sebentar sebelum kembali menatap Nayla. “Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, Nayla. Sejak dulu.” Ucapan itu membuat jantung Nayla berdegup keras. Ia merasa harus segera menghentikan percakapan ini. “Rangga, jangan bicara begitu. Aku sudah menikah. Aku punya keluarga.” “Tapi apakah dia benar-benar ada untukmu?” Rangga mendesak pelan. “Apakah Arka benar-benar menjagamu, atau dia sibuk dengan dunianya sendiri di luar negeri?” Nayla menegang. Ia menatap Rangga dengan mata berkaca-kaca, antara marah dan tersinggung. Namun, di dalam hatinya, benih keraguan yang selama ini ditekan mulai terusik. Sepulang dari acara, Nayla duduk di kamar sambil menatap layar ponsel. Sudah berhari-hari Arka tidak memberi kabar, hanya pesan singkat tentang kesibukan penelitian dan jadwal kuliah. Ia ingin sekali menelepon, mendengar suaranya, tapi setiap kali terhubung, Arka selalu terdengar terburu-buru, seperti menutupi sesuatu. Kata-kata Rangga terus terngiang di telinganya. “Apakah dia benar-benar ada untukmu?” Air mata menetes di pipi Nayla tanpa ia sadari. Ia merasa bersalah karena sedikit saja mulai meragukan Arka. Namun, rasa sepi yang menekan membuatnya sulit berpikir jernih. Kayla terbangun dari tidurnya, menangis pelan. Nayla buru-buru menghapus air matanya dan meraih anaknya. “Ssshh… Mama di sini, Nak. Mama selalu di sini…” bisiknya, meski dalam hati ia sendiri sedang merasa kehilangan sesuatu. Di kejauhan, jauh di negeri asing, Arka menatap layar ponselnya. Ia ingin menghubungi Nayla, ingin menceritakan semuanya—tentang sakitnya, tentang perjuangannya, tentang rasa rindunya. Tapi ia tak sanggup. Ia tak ingin membuat Nayla cemas. Jadi ia kembali menyimpan rahasia itu sendiri, berjuang sendirian dalam diam. Dan di sisi lain, Rangga terus menyusun rencananya, perlahan mencari celah untuk masuk ke hati Nayla yang mulai rapuh. Malam itu, Nayla duduk di balkon rumah dengan secangkir teh yang sudah mulai dingin. Lampu jalan berkelip redup, suara jangkrik menemani kesepian yang terasa semakin pekat. Ia mencoba membaca buku, tapi pikirannya melayang ke banyak hal: Arka, Kayla, dan Rangga. Nayla menggenggam ponsel erat-erat, jempolnya berulang kali menekan nama Arka di layar. Tapi ia hanya bisa menatap kontak itu tanpa berani menekan tombol panggil. Ketakutan menyelimuti hatinya—takut mendengar suara Arka yang semakin jauh, takut menerima kenyataan bahwa mereka benar-benar terpisah oleh jarak, bahkan mungkin oleh sesuatu yang lebih dalam. Di sisi lain, bayangan wajah Rangga muncul begitu saja. Kata-kata yang ia ucapkan siang tadi seperti racun yang menyusup perlahan: “Apakah dia benar-benar ada untukmu?” Nayla menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia benci pada dirinya sendiri karena sedikit saja meragukan Arka, pria yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Namun, kesunyian membuatnya rapuh, dan keraguan kecil itu mulai tumbuh seperti duri di hatinya. Di ruang lain, Kayla tidur pulas, wajahnya begitu damai. Nayla melangkah masuk, menatap putrinya, lalu berlutut di samping ranjang. “Mama harus kuat… demi kamu,” bisiknya sambil membelai rambut lembut Kayla. “Papa juga pasti berjuang di sana… Mama harus percaya.” Namun, entah kenapa, keyakinan itu terasa rapuh. Di luar negeri, Arka berdiri di depan jendela rumah sakit. Tangannya yang kurus mencengkeram tirai, tubuhnya semakin lemah. Dokter baru saja memberi kabar bahwa ia harus menjalani terapi lanjutan karena kondisi kankernya memburuk. Arka menutup mata, menahan sesak di dadanya. Ia ingin sekali menelepon Nayla, mendengar suara lembut istrinya, tapi ia memilih diam. “Untuk apa menambah beban dia…” gumamnya pelan. Air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Di dalam hatinya, kerinduan pada Nayla membesar, sementara waktu yang dimilikinya semakin menipis. Malam itu, dua hati yang saling mencintai terjebak dalam diam. Nayla dengan keraguannya, Arka dengan rahasianya, dan Rangga dengan niat tersembunyinya—semua saling berjalin, menunggu momen yang akan mengubah segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD