Bab 7 – Godaan yang Mengintai

1154 Words
Sejak pertemuan di seminar beberapa hari lalu, Rangga terus muncul di kehidupan Nayla, dengan alasan-alasan yang terdengar wajar tapi membuat hatinya tidak tenang. Ia muncul di kafe tempat Nayla mengerjakan tugas, di toko buku yang sering ia kunjungi, bahkan di taman tempat ia bermain dengan Kayla. Setiap kali Rangga muncul, Nayla merasa hatinya bergetar, meski ia berusaha menenangkan diri. “Lagi menunggu Arka, ya?” tanya Rangga suatu sore saat Nayla sedang duduk di bangku taman, sambil membelai Kayla yang tertidur di gendongan. Nada suaranya terdengar hangat, namun ada sesuatu yang membuat Nayla waspada. Nayla tersenyum kaku. “Bukan, cuma istirahat sebentar sambil main sama Kayla.” Rangga tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku bisa menemanimu. Supaya kamu nggak bosan.” Hati Nayla berdebar. Ia tahu niat Rangga bukan sekadar menemani, tapi kata-katanya terdengar ramah dan lembut, membuat perasaannya yang rapuh karena jarak Arka semakin mudah tergoyahkan. Hari-hari berikutnya, Rangga semakin sering menunjukkan perhatian. Ia membelikan Nayla kopi kesukaannya, menanyakan kabar Kayla, bahkan beberapa kali menawarkan bantuan untuk pekerjaan rumah. Semua itu terdengar wajar, namun bagi Nayla yang sedang kesepian dan merindukan Arka, perhatian itu terasa menghangatkan sekaligus membingungkan. Suatu malam, Nayla duduk di ruang tamu sambil menatap foto keluarga kecilnya. Kayla tertidur pulas di kamar. Telepon genggamnya bergetar, ada pesan masuk dari Rangga: “Kalau kamu merasa sendirian, aku selalu ada. Jangan ragu untuk curhat padaku.” Nayla menatap layar ponsel, hatinya campur aduk. Ia ingin menghapus pesan itu, tapi ada rasa nyaman yang membuatnya berhenti. Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu menulis balasan singkat: “Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.” Pesan itu terkirim, tapi di dalam hatinya, benih keraguan yang Rangga tanam perlahan tumbuh. Ia mulai bertanya-tanya apakah Arka benar-benar ada untuknya seperti yang Rangga katakan, atau ia hanya terlalu jauh untuk membimbing mereka. Hari demi hari berlalu, kesepian Nayla bertambah. Arka semakin jarang mengirim kabar karena kesibukannya di luar negeri, dan Rangga semakin terlihat peduli pada setiap detail kehidupan Nayla. Kecemasan dan kerinduan bertemu, menciptakan ketegangan batin yang sulit ia kendalikan. Di satu sisi, Nayla merasa bersalah. Hatinya tetap tertambat pada Arka, suaminya yang jauh, yang tak tahu betapa ia diuji oleh godaan Rangga. Di sisi lain, perhatian Rangga membuatnya merasa diperhatikan dan dihargai—sesuatu yang selama ini ia rindukan dari jarak yang memisahkan mereka. Malam itu, Nayla termenung di balkon, menatap langit gelap. Ia menahan air mata, berusaha meneguhkan hati. “Aku harus kuat. Aku harus percaya pada Arka,” gumamnya, tapi hatinya tetap terasa berat. Bayangan Rangga, dengan senyum hangatnya, terus muncul di benaknya. Di luar negeri, Arka menatap langit dari jendela rumah sakit. Tangannya yang lemah menekan d**a, merasakan kerinduan yang sama—ingin memeluk Nayla, ingin menenangkan hatinya, tapi tidak bisa. Ia memilih diam, membiarkan waktu dan jarak bekerja tanpa tahu bahwa di tanah air, Nayla mulai digoda oleh bayangan masa lalu yang licik. Malam itu, dunia Nayla dan Arka dipenuhi ketidakpastian. Godaan Rangga terus mengintai, jarak memisahkan, dan kesepian perlahan menekan hati yang paling setia. Semua menunggu satu titik yang akan menguji cinta mereka—antara diam dan pengakuan, antara kesetiaan dan rasa tergoda. Keesokan harinya, Nayla pergi ke toko buku untuk mencari referensi tulisan ilmiah untuk proyek Arka. Ia mencoba menenangkan diri, berharap bisa fokus pada pekerjaannya. Namun, begitu memasuki toko, pandangannya langsung tertuju pada Rangga, yang sedang memeriksa rak buku di ujung lorong. Rangga tersenyum begitu melihat Nayla. “Aku nggak nyangka kita bisa bertemu lagi di sini,” ucapnya dengan suara rendah tapi hangat. Ia menutup buku yang dipegangnya dan melangkah mendekat. Nayla menghela napas. “Kamu sering muncul di mana-mana akhir-akhir ini,” katanya, mencoba terdengar tegas. Rangga tersenyum tipis. “Hanya kebetulan… atau mungkin memang takdir. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nayla.” Nayla menelan ludah. Hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Ia tahu kata-kata Rangga terdengar tulus, namun hatinya tetap waspada. Ia mencoba mengalihkan pandangannya ke rak buku, tapi Rangga perlahan mendekat dan berbicara lebih lembut, hampir berbisik: “Kamu nggak perlu menahan diri. Jika kau ingin berbagi, aku selalu ada.” Nayla menunduk, menatap buku di tangannya tanpa bisa berkata-kata. Ada rasa nyaman yang tiba-tiba memenuhi dadanya, sekaligus rasa bersalah yang tak tertahankan. Ia ingin menjauh, tapi ada sesuatu yang membuat kakinya terasa berat. Setelah beberapa saat diam, Rangga akhirnya tersenyum dan berkata, “Aku akan pergi dulu. Tapi ingat, Nayla… aku selalu peduli padamu.” Nayla hanya mengangguk, hatinya campur aduk antara rindu, cemas, dan bersalah. Ia merasa seperti sedang berjalan di tepi jurang, di mana satu langkah salah bisa membuat semuanya runtuh. Hari-hari berikutnya, Rangga semakin intens menunjukkan perhatiannya. Ia mengirim pesan singkat, menelepon untuk menanyakan kabar Kayla, bahkan mengirimkan bunga kecil ke rumah Nayla tanpa alasan jelas. Semua tindakan itu membuat Nayla semakin bingung—antara senang karena diperhatikan, dan bersalah karena hatinya mulai tergoda. Suatu malam, Nayla duduk di ruang tamu sambil menatap Kayla tidur pulas. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat, tapi pikirannya kacau. Ia membayangkan Arka yang jauh di negeri asing, berjuang sendiri melawan penyakitnya. Ia merasa bersalah karena mulai memikirkan Rangga lebih dari sekadar teman. “Nayla…” gumamnya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. “Aku nggak boleh… aku harus kuat.” Namun godaan Rangga seakan tak memberi ruang untuk keteguhan hatinya. Setiap pesan, setiap panggilan, setiap perhatian kecil yang Rangga tunjukkan seolah menyalakan percikan rasa yang selama ini tertidur. Nayla menyadari dirinya mulai meragukan jarak dan diam Arka, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pertanyakan. Keesokan harinya, Nayla pergi ke taman untuk menenangkan diri. Ia duduk di bangku yang sama di mana Rangga dulu menemuinya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga dan daun basah yang menenangkan. Tapi hatinya tetap gelisah. Tiba-tiba ponselnya bergetar, menampilkan pesan masuk dari Rangga: “Aku tahu kamu rindu. Kamu bisa cerita padaku kapan saja. Aku selalu ada.” Nayla menatap layar ponsel lama-lama, lalu menutupnya dengan tangan gemetar. Air mata tak bisa ia tahan. Ia merindukan Arka, tapi jarak dan kesepian membuat hatinya goyah. Ia menunduk, memeluk Kayla yang duduk di pangkuannya, dan berbisik: “Maafkan Mama, Nak… Mama harus kuat, tapi rasanya berat sekali.” Di luar negeri, Arka menatap langit gelap dari jendela rumah sakit. Tangannya yang lemah menekan d**a, merasakan kerinduan yang sama—ingin memeluk Nayla, ingin menenangkan hatinya, tapi tidak bisa. Ia memilih diam, membiarkan waktu dan jarak bekerja tanpa tahu bahwa di tanah air, Nayla mulai digoda oleh bayangan masa lalu yang licik. Malam itu, ketiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—berada di dunia yang berbeda, namun takdir mulai merajut konflik yang akan segera menguji kesetiaan dan cinta sejati. Godaan, kesepian, dan rahasia yang tersembunyi perlahan menyatu, menciptakan ketegangan yang tak bisa Nayla hindari. Nayla menatap jendela kamar sambil menggenggam Kayla erat. Ia tahu, langkah berikutnya akan menentukan jalan hidupnya—apakah ia tetap setia pada Arka atau membiarkan godaan Rangga menguasai hatinya. Suara malam yang hening seolah menunggu jawaban, menandai bahwa godaan yang mengintai ini hanyalah awal dari ujian cinta yang sesungguhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD