Minggu itu terasa lebih berat bagi Nayla. Arka yang biasanya mengirim pesan singkat hampir setiap hari, kini hanya sekali atau dua kali, selalu terdengar tergesa-gesa di ujung telepon. Setiap nada dering membuat jantung Nayla berdebar, menunggu suara suaminya, namun yang muncul hanyalah kesibukan dan jeda panjang tanpa kabar.
Di sisi lain, Rangga semakin sering hadir di hidupnya, selalu dengan alasan “ingin memastikan Nayla baik-baik saja”. Ia menelpon bukan hanya untuk bertanya kabar, tetapi juga untuk membicarakan hal-hal sepele: pekerjaan, cuaca, bahkan komentar kecil tentang Kayla. Semakin Rangga peduli, hati Nayla semakin gelisah. Ia merasa nyaman dengan perhatian itu, sekaligus bersalah karena hatinya mulai tergoda.
Suatu sore, Nayla mengajak Kayla bermain di taman dekat rumah. Sementara Kayla berlari-lari riang, Nayla duduk di bangku, menatap langit senja. Tiba-tiba, Rangga muncul dari balik pepohonan. “Aku harap aku nggak mengganggu,” ucapnya sambil tersenyum hangat.
Nayla menelan ludah. “Tidak… aku hanya sedang menunggu Kayla selesai bermain,” jawabnya singkat.
Rangga duduk di sebelahnya, tanpa permisi tapi juga tanpa menyinggung. Mereka diam sejenak, hanya suara daun yang tertiup angin yang terdengar. Rangga kemudian berkata, “Aku tahu Arka jauh, dan aku bisa lihat betapa kesepian kamu. Aku cuma ingin kamu tahu… aku ada untukmu.”
Hati Nayla tersentuh, namun sekaligus sakit. Ia tahu niat Rangga bukan sekadar peduli. Ia tahu ia harus tegar, tapi hatinya mulai goyah. Ia menunduk, mencoba menahan air mata.
Malam itu, Nayla duduk di ruang tamu, menatap Kayla yang tertidur di pangkuannya. Tangannya gemetar, ponsel di sampingnya menampilkan pesan dari Rangga:
“Kalau kamu merasa sendirian, aku selalu ada. Jangan menahan diri, Nayla.”
Nayla menutup mata, menahan napas panjang. “Aku harus kuat. Aku harus percaya pada Arka… tapi rasanya berat sekali,” bisiknya pelan. Air mata jatuh, mencampur rasa rindu, bersalah, dan bingung.
Di luar negeri, Arka duduk di bangku rumah sakit, menatap layar ponsel kosong. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menjelaskan semuanya, tapi ia takut menambah beban hatinya. Ia memilih diam, menyimpan rahasia tentang kanker yang semakin parah. Setiap malam, ia merasakan kerinduan yang sama—ingin memeluk Nayla, ingin menenangkan hatinya, tapi jarak dan penyakit membuatnya tidak mampu.
Hari-hari berikutnya, Nayla mulai merasa ada jarak antara dirinya dan Arka. Ia mulai menanyakan hal-hal sepele di telepon, mencari kepastian yang tak kunjung datang. Rangga hadir selalu pada saat itu—selalu memberi telinga untuk mendengar keluh kesahnya, selalu membuatnya merasa dimengerti. Tanpa sadar, Nayla mulai bergantung pada perhatian itu.
Suatu malam, Nayla duduk di balkon, menatap langit gelap. Bayangan Arka dan Rangga silih berganti di pikirannya. Ia merasa hatinya mulai retak—antara setia pada suami yang jauh dan tergoda oleh perhatian Rangga yang selalu hadir. Tangannya menggenggam foto keluarga kecil mereka, mencoba menenangkan diri, tapi hati yang gelisah tak kunjung reda.
Di sisi lain, Rangga merencanakan langkah berikutnya. Ia ingin memastikan Nayla benar-benar goyah, dan ia tahu momen ini sempurna: Arka jauh, kesepian mendera, dan hati Nayla perlahan mulai retak.
Malam itu, dunia Nayla dan Arka berada pada titik yang paling rapuh. Hati Nayla terguncang oleh godaan, Arka terjebak dalam diam dan rahasia, sementara Rangga menunggu untuk memanfaatkan setiap kesempatan. Titik retak itu telah hadir, menandai awal ujian cinta yang paling sulit bagi Nayla.
Hari-hari berikutnya, Nayla semakin sulit membedakan antara perhatian Rangga dan kasih sayang Arka. Setiap kali telepon Arka tak kunjung berdering, Rangga selalu ada di sisi ponselnya. Ia mengirim pesan-pesan manis, terkadang dengan candaan ringan, terkadang dengan kata-kata hangat yang membuat Nayla tersenyum sekaligus merasa bersalah.
Suatu sore, Nayla sedang menyiapkan makan malam sambil mengawasi Kayla bermain di ruang tamu. Ponselnya bergetar lagi, menampilkan pesan dari Rangga:
“Kayla pasti lucu sekali hari ini. Aku ingin melihat senyummu, Nayla. Jangan biarkan kesepian menguasaimu.”
Nayla menatap layar, hatinya berdebar. Ia tahu Arka pasti juga ingin melihat Kayla, tapi jarak dan kesibukan membuatnya sulit menjangkau. Ia menutup mata sejenak, mencoba menahan perasaan yang mulai goyah.
Malam itu, Nayla duduk di balkon, memandang lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Bayangan Arka dan Rangga silih berganti di pikirannya. Ia merasa bersalah karena hatinya mulai tergoda, namun ia juga merasa sendiri dan membutuhkan dukungan yang tak datang dari Arka. Ia menunduk, menggenggam foto Arka dan Kayla di tangannya, berbisik pelan, “Aku harus setia… tapi rasanya berat sekali.”
Sementara itu, Rangga memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekat. Ia mengirim bunga ke rumah Nayla, menelepon hanya untuk menanyakan kabar kecil, dan selalu hadir di momen ketika Nayla sedang lelah atau kesepian. Setiap tindakan kecil itu membuat Nayla merasa diperhatikan dan dihargai—sesuatu yang ia rindukan dari Arka yang jauh di negeri lain.
Di luar negeri, Arka duduk di bangku rumah sakit. Tangannya gemetar saat menatap layar ponsel kosong. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menceritakan perjuangannya melawan kanker, tapi ia takut menambah beban di hati Nayla. Ia menarik napas panjang, menahan rindu dan sakit yang terasa semakin menekan.
Malam itu, ketiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—terperangkap dalam kesunyian dan jarak. Titik retak Nayla perlahan membesar, sementara godaan Rangga terus mengintai, dan rahasia Arka tetap tersembunyi. Semua menunggu satu momen yang akan menentukan apakah cinta sejati akan bertahan atau hancur oleh keraguan dan godaan.
Malam semakin larut, dan Nayla duduk di kursi balkon sambil menatap langit gelap. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya tidak tenang. Ia menggenggam secangkir teh yang sudah dingin, menahan rasa lelah dan kebingungan yang terus menumpuk. Setiap detik terasa lambat, seolah waktu menguji kesabarannya, dan setiap suara—dari Kayla yang tidur pulas hingga dering ponsel yang tak kunjung berbunyi—membuat hatinya bergetar.
Pikiran Nayla dipenuhi bayangan Rangga, yang selalu hadir di saat-saat ia lemah. Perhatian Rangga seperti cahaya hangat di tengah kegelapan kesepiannya. Namun, cahaya itu juga membingungkan, karena setiap kali muncul, ia mengingatkan Nayla akan jarak yang memisahkan dirinya dari Arka.
“Arka… aku rindu… tapi rasanya aku sendirian,” gumamnya pelan sambil menunduk. Air mata menetes di pipinya. Ia merasa bersalah karena sedikit saja hatinya tergoda, namun di saat yang sama, ia ingin merasa diperhatikan, ingin merasa aman, dan ingin merasa dicintai. Semua kebutuhan itu hadir dari Rangga, dan membuatnya semakin rapuh.
Nayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu godaan Rangga berbahaya, tetapi kesepian yang mendera membuat hatinya goyah. Ia menatap langit yang gelap, seolah berharap Arka bisa berada di sisinya, menenangkan hatinya, memberi kepastian bahwa cinta mereka tetap utuh.
Di sisi lain, jauh di negeri asing, Arka menatap jendela rumah sakit, menahan sakit dan rindu yang sama. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menceritakan segalanya, tapi ia takut membebani hati istrinya yang jauh di tanah air. Rahasianya tetap tersembunyi, dan setiap detik yang berlalu membuat jarak di antara mereka terasa lebih dalam.
Malam itu, ketiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—terperangkap dalam diam, rindu, dan godaan. Titik retak Nayla semakin nyata, siap menguji kesetiaan, cinta, dan keberanian hatinya. Semua menunggu momen yang akan menentukan jalan hidup mereka, di persimpangan antara kesetiaan dan godaan yang sulit ditolak.