Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu. Hujan gerimis turun perlahan, seolah mencerminkan suasana hati Nayla yang kacau. Ia menatap keluar jendela sambil memeluk secangkir kopi yang sudah dingin. Semalaman ia hampir tidak tidur, pikirannya dipenuhi oleh Arka dan Rangga, oleh perasaan rindu yang bercampur dengan rasa bersalah.
Kayla sudah berangkat sekolah, dan rumah terasa sunyi. Kesunyian itu justru membuat Nayla semakin merasa kosong. Ia memandang ponselnya, berharap ada kabar dari Arka. Tapi yang muncul hanya notifikasi singkat dari Rangga.
“Aku lewat daerahmu. Kalau butuh ditemani sebentar, kabari ya.”
Nayla menarik napas panjang. Sebagian dari dirinya ingin mengabaikan pesan itu, tapi sebagian lain merasa ingin mendengar suara Rangga, ingin ada seseorang yang menemaninya walau hanya sebentar.
Di seberang lautan, Arka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Selang infus menempel di tangannya, wajahnya pucat, dan napasnya sering tersengal. Dokter baru saja keluar setelah memeriksa kondisinya.
“Tubuh Anda semakin melemah, Pak Arka. Kami harus lebih sering melakukan transfusi. Saya tahu Anda ingin menjaga semangat, tapi jangan memaksakan diri. Beristirahatlah.”
Arka hanya mengangguk lemah. Begitu dokter keluar, ia menutup mata dan menggenggam ponselnya. Hatinya dipenuhi kerinduan pada Nayla dan Kayla. Ia ingin menekan tombol panggilan, ingin mendengar suara istrinya. Namun, jarinya hanya bergetar di atas layar. Ada ketakutan yang menghantuinya—takut Nayla akan menangis, takut ia dianggap beban, takut melihat istrinya runtuh jika tahu kenyataan.
Ia memilih diam.
Sore itu, Rangga benar-benar muncul di depan rumah Nayla. Membawa dua kantong belanjaan berisi buah dan makanan ringan. “Aku pikir kamu mungkin lupa makan,” katanya sambil tersenyum.
Nayla terkejut, tapi tak punya tenaga untuk menolak. “Kenapa sih kamu repot-repot?”
“Karena aku peduli,” jawab Rangga singkat. Senyumnya hangat, matanya penuh arti. Ia masuk ke dapur, menata belanjaannya, lalu membuatkan teh hangat untuk Nayla.
Nayla menatap Rangga yang tampak begitu ringan, begitu hadir. Hatinya semakin rapuh. Ia tahu seharusnya menjaga jarak, tapi ia terlalu lelah untuk melawan.
“Aku cuma nggak mau kamu jatuh sakit karena terlalu menahan semuanya sendiri,” kata Rangga sambil mendorong cangkir ke arah Nayla.
Nayla menerima teh itu, menunduk, air matanya menetes perlahan. “Aku capek, Rangga… capek banget.”
Rangga spontan menggenggam tangannya. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat pertahanan Nayla runtuh. Ia menunduk, membiarkan air matanya jatuh tanpa berusaha menutupi.
Malam itu, Nayla duduk di kamar sambil menatap foto Arka. Rasa bersalah menelannya bulat-bulat. Ia merasa seperti sedang mengkhianati suaminya hanya dengan membiarkan Rangga terlalu dekat. Tapi pada saat yang sama, ia merasa kehangatan itu yang membuatnya bisa bertahan.
“Arka… kamu di mana? Kenapa kamu begitu jauh dari aku?” bisiknya lirih.
Ponselnya bergetar—sebuah pesan dari Arka:
“Maaf belum bisa sering menelepon. Aku sibuk sekali. Jaga kesehatan ya. Aku sayang kalian.”
Nayla terdiam lama, menatap pesan itu dengan air mata yang terus mengalir. Kata-kata Arka singkat, dingin, seolah dibuat untuk menjaga jarak. Nayla menggenggam ponsel itu erat-erat, tapi hatinya justru semakin hampa.
Sementara itu, Rangga mengirim pesan lain:
“Kalau kamu butuh aku, aku selalu ada.”
Kedua pesan itu bertabrakan di hati Nayla. Suami yang jauh, penuh rahasia, dengan kata-kata singkat yang menyakitkan. Dan seorang pria yang hadir, memberi kehangatan nyata. Nayla terjebak dalam dilema yang kian dalam.
Di negeri asing, Arka kembali terbatuk keras hingga tubuhnya terguncang. Perawat masuk dengan wajah cemas. “Pak Arka, tolong jangan dipaksakan. Istirahatlah.”
Arka mengangguk lemah, tapi begitu perawat pergi, ia menatap layar ponselnya lagi. Ia melihat pesan Nayla sebelumnya yang tak sempat ia balas: “Aku rindu kamu.”
Air matanya jatuh perlahan. “Aku juga rindu, Nay… tapi aku nggak bisa kasih kamu semua ini. Aku harus kuat sendirian.”
Hari-hari berikutnya, godaan semakin membesar. Rangga semakin sering hadir, entah dengan alasan mengantar makanan, membantu mengurus Kayla, atau sekadar menemani Nayla mengobrol. Nayla mencoba menolak, tapi selalu kalah oleh rasa sepi.
Di malam-malam sunyi, Nayla mulai bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku masih sanggup menjaga cinta ini sendirian? Atau aku akan jatuh di pelukan Rangga?
Di sisi lain, Arka semakin lemah. Tubuhnya tak lagi mampu menahan sakit. Namun, hatinya masih berpegang pada satu hal—cinta pada Nayla dan Kayla. Dan cinta itu adalah satu-satunya alasan ia bertahan, meski diamnya kini justru membuka jalan bagi godaan yang mengintai keluarganya.
Malam itu, tiga hati kembali terjebak dalam jalan masing-masing. Nayla dengan air mata dan kebimbangannya. Arka dengan sakit dan diamnya. Dan Rangga dengan sabar menunggu celah yang semakin terbuka.
Dan tanpa mereka sadari, badai besar semakin dekat—badai yang akan menentukan apakah cinta yang mereka perjuangkan mampu bertahan, atau akan runtuh bersama pertahanan hati yang rapuh.
Malam itu, Nayla berusaha tidur, tapi matanya terus terbuka. Bayangan wajah Arka dan Rangga silih berganti hadir di kepalanya. Ia meraih ponsel, menatap layar gelap yang memantulkan wajah lelahnya.
Dalam hati, ia ingin sekali menelepon Arka. Ingin mendengar suaranya, meski hanya sebentar. Namun, ketakutan menghantui—takut suara Arka terdengar semakin jauh, takut menemukan jawaban yang tidak siap ia terima. Jadi ia menunda, lagi dan lagi.
Di kamar yang hening, ia menatap Kayla yang tidur pulas. Anak itu menjadi satu-satunya alasan ia masih kuat berdiri. Nayla membelai rambut lembut putrinya dan berbisik pelan, “Mama harus bertahan demi kamu, Nak. Tapi… mama juga manusia. Mama capek.”
Air mata jatuh membasahi pipinya, tanpa bisa ia cegah. Ia merasa sendirian di tengah dunia yang seakan bersekongkol melawannya.
Sementara itu, di seberang lautan, Arka menggigil di balik selimut rumah sakit. Tubuhnya semakin lemah, tapi ia tetap menggenggam ponselnya erat-erat. Bibirnya bergetar pelan, “Nayla… tunggu aku.”
Namun, panggilan itu tak pernah ia lakukan. Ia memilih diam, lagi dan lagi.
Dan di tempat lain, Rangga duduk di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah Nayla. Ia menatap lampu yang mulai padam satu per satu, lalu tersenyum samar. Ia tahu, kesepian Nayla semakin dalam.
“Aku hanya perlu sabar sedikit lagi,” gumamnya pelan, sebelum menyalakan mesin mobil dan pergi.
Malam itu, tiga hati yang terikat oleh cinta, rahasia, dan godaan sama-sama terjaga—masing-masing dalam diam yang berbeda, namun menuju arah yang sama: runtuhnya pertahanan.