Pagi itu, matahari menembus tirai tipis kamar Nayla, menghadirkan cahaya lembut yang seharusnya memberi ketenangan. Namun hatinya tetap terasa berat. Ia bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan sederhana untuk Kayla. Tangannya bergerak otomatis—memotong sayuran, menanak nasi—tetapi pikirannya jauh melayang.
Di meja makan, Kayla duduk dengan wajah mengantuk, sesekali mengucek mata sambil memainkan sendok kecilnya. Nayla tersenyum tipis melihat putrinya, mencoba menutupi kegelisahan yang sudah beberapa hari ini membayangi.
“Kayla mau telur goreng atau roti?” tanya Nayla dengan suara lembut.
“Telur aja, Ma,” jawab Kayla polos. Senyumnya seakan menjadi cahaya di tengah kegelapan yang Nayla rasakan.
Selesai sarapan, Nayla mengantar Kayla ke sekolah. Di perjalanan, ia menatap kaca spion berkali-kali, seakan takut ada yang mengikuti. Bukan karena ia benar-benar melihat sesuatu, tapi karena pikirannya terus memutar wajah Rangga yang akhir-akhir ini semakin sering hadir. Perhatian pria itu seperti bayangan yang sulit ia singkirkan.
Saat kembali ke rumah, Nayla duduk lama di ruang tamu. Ponselnya ia letakkan di meja, matanya tak lepas dari layar yang tak kunjung berbunyi. Ia menunggu kabar dari Arka. Sudah tiga hari suaminya hanya mengirim pesan singkat tanpa sempat menelepon.
Nayla, aku sibuk. Jaga diri baik-baik, ya.
Pesan terakhir itu hanya sepuluh kata, tapi sudah cukup membuat Nayla gelisah. Ia menggenggam ponsel erat-erat. Kenapa Arka semakin jauh? Apa benar dia hanya sibuk? Atau ada sesuatu yang disembunyikan?
Belum sempat pikirannya menemukan jawaban, ponsel itu bergetar. Nama yang muncul di layar membuat hatinya semakin kacau—Rangga.
Dengan ragu, Nayla mengangkatnya.
“Halo…” suaranya pelan.
“Nayla, aku di dekat rumahmu. Aku bisa mampir sebentar? Nggak lama, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Nayla menelan ludah. Ia tahu seharusnya menolak, tapi bibirnya justru mengucapkan, “Baiklah… sebentar saja.”
Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Nayla membuka pintu, dan di hadapannya berdiri Rangga dengan senyum hangat, membawa sebuket bunga kecil berwarna putih.
“Untukmu,” katanya sambil menyodorkan bunga. “Aku lihat kamu lelah akhir-akhir ini. Mungkin bunga ini bisa sedikit menenangkanmu.”
Nayla menerima bunga itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Rangga… tapi kamu nggak perlu repot-repot.”
Rangga masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka berbincang ringan, tentang Kayla, tentang kesibukan Nayla. Namun di sela percakapan, mata Rangga selalu menatap dalam, seakan ingin membaca isi hati Nayla.
“Aku tahu kamu kuat, Nayla. Tapi aku juga tahu betapa beratnya sendirian,” ucap Rangga pelan. “Kalau kamu butuh bahu untuk bersandar… kamu nggak perlu ragu. Aku ada.”
Nayla tercekat. Kata-kata itu seperti pisau bermata dua—menghangatkan sekaligus melukai. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Rangga terlalu lama.
Saat itulah, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Arka muncul di layar. Hatinya bergetar, panik bercampur lega. Ia segera mengangkat.
“Halo, Arka?” suara Nayla terdengar terburu-buru.
Di ujung sana, suara Arka terdengar lemah, berbeda dari biasanya. “Nayla… maaf… aku nggak bisa sering menelepon. Kondisiku sedikit… sulit.”
Nayla membeku. “Kondisi? Maksud kamu apa, Arka?”
Ada jeda panjang. Hanya suara napas berat yang terdengar. Lalu Arka berkata pelan, “Aku nggak mau kamu khawatir… tapi sebenarnya aku sakit. Aku sudah beberapa bulan ini berjuang di rumah sakit. Aku… mengidap kanker.”
Dunia Nayla seakan berhenti. Ponsel hampir terlepas dari genggamannya. Air mata langsung jatuh tanpa bisa ia tahan. “Arka… kenapa kamu nggak bilang dari dulu? Kenapa kamu diam?”
“Aku nggak ingin kamu terbebani… aku ingin kamu tetap kuat bersama Kayla. Maafkan aku, Nayla…” suara Arka bergetar, penuh kepasrahan.
Rangga yang duduk di seberang meja menatap Nayla dengan raut kaget. Ia bisa mendengar sebagian percakapan itu, dan wajahnya berubah tegang.
Nayla menutup telepon dengan tangan gemetar. Air matanya jatuh deras, tubuhnya lunglai di sofa. “Arka sakit… selama ini dia sakit parah, Rangga…” suaranya pecah.
Rangga mendekat, berusaha menenangkan. “Nayla, aku… aku nggak tahu. Maafkan aku kalau selama ini aku terlalu memaksakan diriku masuk ke hidupmu.”
Nayla menatap Rangga dengan mata sembab. Hatinya berkecamuk. Selama ini ia merasa Arka menjauh karena sibuk, padahal kenyataannya jauh lebih menyakitkan—suaminya berjuang melawan penyakit sendirian.
Sore itu, Nayla duduk lama di balkon. Rangga sudah pulang, meninggalkannya dengan pikiran yang semakin kacau. Angin membawa aroma hujan, menyejukkan, tapi hatinya tetap panas oleh rasa bersalah.
Ia menatap foto keluarga kecilnya di ponsel. “Arka… aku bodoh. Aku sempat goyah, padahal kamu sedang berjuang sendiri…”
Air matanya jatuh lagi. Kali ini, bukan hanya karena rindu, tapi juga penyesalan mendalam. Godaan Rangga memang membuat hatinya rapuh, tapi kebenaran yang akhirnya tersingkap membuat Nayla sadar: cinta yang sesungguhnya sedang diuji oleh jarak, penyakit, dan kelemahannya sendiri.
Malam itu, Nayla menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menemani Arka—meski dari jauh, meski hatinya sudah hampir hancur.
Namun, bayangan Rangga tetap ada, seperti bayangan gelap yang menunggu celah. Nayla tahu, ujian ini belum selesai. Justru baru saja dimulai.
Nayla duduk di kamar setelah menidurkan Kayla. Malam itu terasa begitu panjang. Bantal di pelukannya sudah basah oleh air mata. Kata-kata Arka terus terngiang di telinganya, “Aku sakit… aku mengidap kanker.”
Perasaan bersalah menghantam bertubi-tubi. Ia ingat bagaimana ia sempat membiarkan dirinya merasa nyaman dengan perhatian Rangga. Padahal di sisi lain, suaminya tengah berjuang sendirian di ruang rumah sakit yang asing.
“Kenapa, Arka… kenapa kamu harus menanggungnya sendiri? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?” bisik Nayla dengan suara parau.
Ia menggenggam ponselnya erat, menatap layar yang gelap. Ada dorongan kuat untuk segera menelepon balik, menuntut penjelasan, bahkan memaksa Arka untuk jujur sepenuhnya. Namun, rasa takut juga menyelimuti—takut mendengar kenyataan yang lebih pahit, takut kehilangan, takut menghadapi kenyataan bahwa hidupnya bisa berubah kapan saja.
Di luar kamar, hujan mulai turun. Rintik-rintik di atap terdengar seperti denting waktu yang semakin menekan. Nayla melangkah ke jendela, menatap derasnya hujan yang mengguyur. Hatinya berbisik lirih, “Aku harus kuat. Aku harus ada untuk Arka. Aku nggak boleh goyah lagi.”
Namun, dalam keheningan itu, pikirannya kembali terpecah. Wajah Rangga melintas jelas—dengan senyum hangat, perhatian tulus, dan keberadaannya yang selalu muncul di saat Nayla paling rapuh. Itu membuat hatinya semakin hancur. Ia merasa seperti berdiri di dua dunia: satu adalah janji dan cinta sejatinya bersama Arka, dan yang lain adalah godaan manis yang pelan-pelan menjeratnya.
Malam itu, Nayla hanya bisa menutup mata, berharap ketika terbangun esok hari, semuanya hanyalah mimpi buruk. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu—kenyataan inilah yang harus ia hadapi.
Ujian cintanya baru saja dimulai, dan ia harus memilih: tetap berdiri teguh di sisi Arka yang sedang berjuang, atau membiarkan hatinya semakin terseret dalam godaan Rangga yang tak kunjung berhenti.