Bab 17 – Pilihan yang Membakar Hati

1077 Words
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tapi hati Nayla masih terasa mendung. Semalaman ia hampir tidak bisa tidur, memikirkan pengakuan Arka tentang penyakitnya. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Arka dengan wajah pucat di ruang rumah sakit terus menghantui. Kayla yang bangun lebih dulu menarik selimutnya. “Mama, bangun… ayo sarapan. Aku lapar,” ucapnya manja. Nayla memaksa tersenyum, meski matanya sembab. “Iya, sayang. Mama masak sekarang.” Ia mengusap kepala Kayla, mencoba menutupi perasaan berat di dadanya. Di dapur, aroma nasi goreng sederhana menyebar. Namun, di sela aktivitas itu, ponsel Nayla bergetar. Sebuah pesan dari Rangga masuk. “Pagi, Nayla. Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Kalau butuh teman bicara, aku ada.” Nayla menatap layar ponselnya lama. Ia ingin sekali mengabaikannya, tapi jari-jarinya justru mengetik balasan singkat. “Terima kasih, Rangga. Aku baik-baik saja.” Padahal hatinya tahu, ia sedang jauh dari kata baik-baik saja. Siang harinya, setelah mengantar Kayla ke sekolah, Nayla duduk sendirian di kafe kecil dekat rumah. Segelas teh hangat ada di depannya, tapi tidak sedikit pun ia sentuh. Pandangannya kosong menatap jalanan. “Sendirian aja?” suara familiar mengejutkannya. Nayla mendongak, dan benar—Rangga berdiri di sana, mengenakan kemeja biru muda, dengan senyum hangat yang selalu terlihat begitu menenangkan. “Aku lewat sini tadi, kebetulan lihat kamu. Boleh duduk?” tanyanya sopan. Nayla sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Rangga duduk berhadapan dengannya, lalu menatap wajah Nayla yang jelas terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget. Ada yang bisa aku bantu?” suaranya rendah, penuh perhatian. Nayla menunduk. “Aku cuma… banyak pikiran.” Rangga tidak mendesak. Ia hanya menatap lembut, membuat Nayla semakin goyah. Kehangatan itu berbeda dengan dinginnya jarak yang kini memisahkan ia dan Arka. Sore menjelang, Nayla pulang dengan hati yang makin berat. Ia merasa bersalah setiap kali Rangga ada di dekatnya. Tapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran lelaki itu membuatnya merasa tidak sendirian. Malamnya, ketika Kayla sudah tidur, Nayla kembali duduk di balkon rumah. Angin malam berembus, membawa aroma hujan sisa sore tadi. Pikirannya kembali melayang pada Arka. Ia ingin menelepon, ingin memastikan kabarnya, tapi ia takut membuat suaminya semakin tertekan. Air mata kembali mengalir. “Kenapa kamu harus sendirian menghadapi semua ini, Arka…” bisiknya lirih. Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari Rangga, melainkan dari nomor luar negeri. Hatinya langsung berdebar—Arka. “Nayla…” suara Arka terdengar serak, lemah, tapi penuh kerinduan. “Arka… gimana kabarmu? Kamu baik-baik aja kan?” Nayla langsung panik, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Aku baik…” jawab Arka pelan. “Maaf aku bikin kamu khawatir. Aku cuma… ingin dengar suaramu.” Nayla menggigit bibir, menahan tangis. “Kenapa kamu nggak cerita dari dulu? Kenapa kamu harus tanggung semua sendiri? Aku istrimu, Ka… aku seharusnya ada di sampingmu.” Suasana hening sejenak. Hanya terdengar tarikan napas berat Arka di seberang sana. “Aku nggak mau kamu sedih. Aku nggak mau kamu terbebani. Aku pikir… dengan diam, aku bisa melindungi kamu.” “Justru diam kamu bikin aku lebih hancur,” suara Nayla pecah. “Aku butuh kamu jujur, Ka. Apa pun keadaannya, aku nggak akan pergi.” Arka terisak pelan. “Terima kasih, Nayla… kamu selalu lebih kuat dari aku.” Percakapan itu berakhir dengan janji tipis—Arka berusaha bertahan, Nayla berusaha setia. Tapi di balik tangisnya, Nayla tahu, ujian ini belum selesai. Keesokan harinya, Rangga kembali datang. Ia menawarkan diri mengantar Nayla dan Kayla ke pasar. “Aku cuma mau pastiin kamu nggak kecapekan,” katanya sambil tersenyum. Sepanjang perjalanan, Nayla berusaha menjaga jarak. Ia lebih banyak diam, sibuk dengan Kayla. Tapi Rangga dengan sabar tetap ada, menemaninya, membawakan belanjaan, bahkan menghibur Kayla dengan gurauan ringan. Di satu sisi, Nayla merasa hangat. Di sisi lain, rasa bersalahnya makin menumpuk. Saat melihat Kayla tertawa di gendongan Rangga, hatinya terasa dicengkeram kuat. Apakah aku sedang membiarkan garis kesetiaan ini kabur? pikir Nayla getir. Malam itu, Nayla duduk di kamar, memandangi foto keluarga kecilnya. Foto Arka yang tersenyum cerah di samping Kayla yang masih bayi. Ia mengusapnya perlahan, air mata menetes. “Aku harus kuat… demi kamu, demi Kayla,” gumamnya. Namun, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan dari Rangga masuk. “Aku tahu kamu lagi rapuh. Tapi ingat, kamu nggak sendirian. Aku ada untukmu, kapan pun kamu butuh.” Nayla menutup mata erat-erat, hatinya terasa terbakar. Kata-kata itu seperti api yang mendekat, siap melalap habis pertahanannya. Ia tahu harus menjauh. Ia tahu harus menjaga hatinya tetap utuh untuk Arka. Tapi kesepian yang menggerogoti membuatnya sulit berpaling dari kehangatan yang Rangga tawarkan. Malam itu, Nayla hanya bisa terdiam, menatap layar ponsel dengan perasaan yang semakin kacau. Di luar, hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Petir menyambar, membuat kamar sesaat terang. Nayla menarik selimut, tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena hatinya yang resah. Ia tahu besok ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus berada di antara dua dunia. Arka, suaminya, sedang berjuang melawan penyakit yang mengancam nyawanya. Sementara Rangga, lelaki yang selalu hadir di saat ia rapuh, perlahan menjerat hatinya dengan perhatian yang sulit ia tolak. Air mata mengalir deras. “Aku nggak boleh salah langkah. Satu kesalahan, semuanya bisa hancur,” bisiknya parau. Namun, suara tawa Kayla dalam tidurnya terdengar dari ranjang kecil di sampingnya. Nayla menoleh, menatap putrinya yang tidur pulas. Senyum polos itu seakan menjadi pengingat bahwa setiap keputusan yang ia ambil bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang masa depan Kayla. Nayla menutup mata, memeluk bantal erat. Malam itu, ia berdoa lebih lama dari biasanya, meminta kekuatan agar hatinya tetap setia, meski badai godaan terus menghantam. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia juga tahu—jalan yang akan ia tempuh tidak akan pernah mudah. Rangga bukanlah sekadar bayangan. Ia nyata, dekat, dan terus mencoba masuk ke dalam ruang hatinya yang retak. Malam itu berakhir dengan ketegangan yang menggantung. Nayla tahu, waktu semakin mendesak. Ia harus memilih: tetap teguh bersama Arka, atau membiarkan godaan Rangga semakin membesar dan menghancurkan segalanya. Nayla memandang kembali layar ponselnya yang masih menampilkan pesan Rangga. Jari-jarinya gemetar, ingin mengetik balasan, tapi hatinya menjerit untuk berhenti. Ia menaruh ponsel itu di meja, lalu menarik napas panjang. “Aku harus kuat. Aku istri Arka, aku ibu Kayla. Itu yang harus kuingat,” bisiknya lirih. Namun, meski bibirnya mengucapkan kalimat itu, hatinya tetap berguncang. Bayangan Rangga hadir lagi, dengan senyum hangat yang selalu ia ingat. Nayla menutup mata, berharap esok pagi ia bisa lebih teguh. Tapi malam itu, ia tahu, pertempuran di dalam hatinya baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD