Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus jendela kamar. Nayla terbangun dengan kepala berat. Ia menatap langit-langit, berusaha menenangkan pikiran yang sejak semalam tak berhenti bergejolak. Kayla masih terlelap di sampingnya, wajah polosnya seperti malaikat kecil yang tak tahu apa-apa tentang badai yang tengah menghempas hati ibunya.
Nayla perlahan bangkit, berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tangannya bergerak otomatis—mengambil roti, mengoleskan selai, merebus air—namun pikirannya melayang-layang. Bayangan Rangga dan Arka terus silih berganti memenuhi benaknya. Ia menunduk, menahan napas panjang. “Aku harus fokus… untuk Kayla. Hanya Kayla,” bisiknya pelan.
Namun, suara ponselnya di meja ruang tamu memecahkan keheningan. Getaran itu terasa seperti detak jantung tambahan di rumah yang sepi. Dengan ragu, Nayla melangkah mendekat. Nama yang tertera membuat dadanya berdebar—Rangga.
Ia menggenggam ponsel itu, hampir saja menolak panggilan, tapi jemarinya justru menekan tombol hijau. “Halo,” suaranya lirih.
“Nayla… maaf kalau aku ganggu pagi-pagi begini. Aku cuma pengin tahu kabarmu. Kamu semalam nggak balas pesanku,” suara Rangga terdengar tenang, penuh perhatian, tapi di telinga Nayla justru seperti godaan yang menyusup.
Nayla menarik napas, mencoba tegas. “Aku baik-baik saja. Jangan terlalu sering menghubungi aku, Rangga. Aku nggak mau ada salah paham.”
Hening sejenak. Lalu terdengar helaan napas Rangga di ujung telepon. “Aku ngerti. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli, Nay. Aku tahu kamu kesepian. Aku tahu kamu butuh seseorang untuk mendengar. Aku hanya ingin ada untukmu… bukan untuk merusak.”
Ucapan itu membuat hati Nayla semakin rumit. Ia ingin memutus panggilan, tapi ada sesuatu dalam nada suara Rangga yang menahannya. Ia akhirnya hanya berucap singkat, “Aku harus menyiapkan sarapan. Jangan hubungi aku dulu,” lalu menutup sambungan dengan tangan gemetar.
Kayla berlari kecil dari kamar, wajahnya ceria. “Mamaaa, aku lapar!” serunya. Nayla tersenyum paksa, berusaha menutupi badai yang bergejolak di hatinya.
Sementara itu, di negeri asing, Arka duduk di kursi rumah sakit, tubuhnya semakin lemah. Jarum infus menempel di tangannya, dan wajah pucatnya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan. Ia menatap ponselnya yang diletakkan di atas meja kecil. Ada pesan dari Nayla semalam, hanya bertanya kabar singkat.
Arka menutup mata, dadanya sesak bukan hanya karena penyakit, tapi juga rasa bersalah. “Maafkan aku, Nayla. Kalau saja aku bisa lebih kuat… aku ingin bersamamu, bukan di sini.” Air matanya menetes pelan, cepat ia usap sebelum perawat masuk.
Setelah pemeriksaan singkat, dokter menatapnya penuh empati. “Kondisi Anda semakin menurun, Arka. Kami perlu mempertimbangkan langkah lebih agresif. Tapi semua keputusan ada di tangan Anda.”
Arka hanya mengangguk, bibirnya nyaris tak sanggup menjawab. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana jika Nayla tahu? Bagaimana jika rahasia yang ia simpan pecah di tengah-tengah keraguannya sendiri?
Siang harinya, Nayla pergi ke pasar kecil dekat rumah. Ia ingin membeli beberapa bahan makanan. Di tengah keramaian, ia tak sengaja bertemu dengan Rangga yang sedang membeli buah.
“Nayla,” sapa Rangga dengan senyum yang membuat Nayla gugup.
Ia menunduk, berusaha menjaga jarak. “Aku buru-buru, Rangga. Jangan di sini.”
Namun Rangga hanya mengangguk pelan. “Aku ngerti. Aku nggak akan maksa. Tapi tolong, jaga dirimu. Kamu nggak perlu pura-pura kuat setiap saat.”
Ucapan itu kembali menancap di hati Nayla. Ia segera berjalan pergi, seolah melarikan diri dari bayangan yang terus mengejarnya.
Malam tiba. Nayla duduk di balkon rumah, menatap langit gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa hawa dingin yang merambati kulitnya. Ia menggenggam ponsel, menunggu telepon dari Arka yang tak kunjung datang.
Air mata jatuh tanpa ia sadari. “Arka… kamu di mana? Kenapa kamu semakin jauh?” gumamnya.
Lalu, ponselnya bergetar. Nama Arka muncul di layar. Nayla tergesa mengangkatnya, matanya berbinar bercampur cemas.
“Arka… akhirnya kamu telepon.”
Suara di seberang terdengar lemah, nyaris berbisik. “Maaf, Nay… aku sibuk sekali. Kamu baik-baik saja, kan?”
Nayla terdiam, ingin meluapkan semua rindu dan keluh, tapi ia menahan diri. “Aku baik. Kayla juga sehat. Kami menunggumu.”
Arka tersenyum samar, meski tak terlihat oleh Nayla. “Aku rindu kalian. Doakan aku selalu kuat, ya.”
Sebelum Nayla sempat bertanya lebih jauh, telepon terputus. Jantungnya tercekat. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, merasa ada yang disembunyikan Arka.
Larut malam, Nayla masih duduk di kursi ruang tamu, menggenggam foto keluarga mereka. Ia menatap wajah Arka di foto itu, lalu mengusap air matanya. “Aku harus percaya padamu… meski hatiku rapuh. Aku harus kuat demi Kayla.”
Namun, bayangan Rangga kembali menyelinap. Kata-katanya, perhatiannya, senyumnya—semua berputar di kepalanya. Nayla menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. “Ya Allah… jangan biarkan aku jatuh. Jangan biarkan aku khianati cintaku sendiri.”
Malam itu, tiga hati kembali terjebak dalam rahasia, jarak, dan godaan. Nayla berjuang melawan dirinya sendiri, Arka melawan penyakit yang kian menggrogoti, dan Rangga menunggu celah yang semakin terbuka. Ujian cinta itu belum berakhir—justru baru saja meninggalkan jejak yang lebih dalam.
Nayla akhirnya memutuskan mematikan ponselnya malam itu. Ia tahu dirinya terlalu lemah bila terus membuka celah untuk Rangga. Dengan hati bergetar, ia menuliskan doa di secarik kertas kecil yang biasa ia tempel di dinding kamar: “Ya Allah, jaga aku dari godaan, beri aku kekuatan untuk setia.”
Ia menatap wajah Kayla yang tidur pulas, lalu berbaring di sampingnya. “Kalau Mama goyah, siapa yang akan melindungimu?” bisiknya sambil mengusap rambut putrinya.
Sementara itu, jauh di negeri asing, Arka kembali menahan sakit di ranjang rumah sakit. Di balik matanya yang terpejam, ia hanya memikirkan Nayla dan Kayla. “Tunggu aku… setidaknya sampai aku bisa jujur.”
Malam itu, langit sama-sama menaungi mereka dengan diam. Di bawah bintang-bintang, masing-masing hati berdoa, merindu, dan berharap. Tapi jalan yang mereka tempuh masih panjang, penuh rahasia, godaan, dan cinta yang terus diuji oleh waktu.
Nayla menatap langit-langit kamarnya sebelum memejamkan mata. Di sudut hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan Arka, tapi ia memilih menepis pikiran itu. “Dia pasti baik-baik saja,” ia membujuk dirinya sendiri, meski keraguan tetap bergelayut.
Sementara itu, Rangga duduk di dalam mobilnya, memandangi layar ponsel yang menampilkan nama Nayla. Jemarinya hampir menekan tombol panggilan lagi, namun ia menahan diri. Senyum tipis terukir di wajahnya. “Cepat atau lambat, kamu akan butuh aku, Nayla,” gumamnya.
Langkah-langkah takdir sudah mulai terdengar samar.