Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi hati Nayla justru terasa mendung. Ia menyiapkan sarapan untuk Kayla dengan gerakan otomatis, seakan tubuhnya bekerja sendiri sementara pikirannya melayang entah ke mana. Di layar ponsel, tidak ada kabar dari Arka selain satu pesan singkat semalam: “Aku sibuk, jangan khawatir. Jaga dirimu dan Kayla.”
Kata-kata itu terasa dingin, kaku, jauh dari kehangatan yang biasa Arka berikan. Nayla menggigit bibir, menahan rasa kecewa yang menguar.
“Bunda, kok sarapannya gosong?” suara Kayla membuat Nayla tersentak. Ia buru-buru mematikan kompor, menaruh roti yang agak hangus ke piring, lalu tersenyum kikuk.
“Maaf, sayang. Bunda lagi nggak fokus,” ucapnya pelan.
Kayla menatap ibunya dengan polos. “Bunda kangen Ayah, ya?”
Pertanyaan itu membuat d**a Nayla sesak. Ia berjongkok, merangkul putrinya. “Iya, Bunda kangen sekali sama Ayah. Kamu juga?”
Kayla mengangguk cepat. “Iya. Aku pengen Ayah pulang.”
Air mata Nayla hampir jatuh, tapi ia tahan. Ia tidak ingin Kayla melihat dirinya rapuh. Namun, di balik senyum yang ia paksakan, hatinya terus berteriak ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi pada Arka.
Siang hari, setelah mengantar Kayla ke sekolah, Nayla memutuskan mampir ke kafe dekat taman. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri, setidaknya menyeruput secangkir kopi sambil menata pikirannya.
Namun, takdir seolah sengaja mempertemukannya dengan orang yang tengah berusaha ia hindari.
“Nayla?” suara itu familiar. Rangga berdiri di depan pintu kafe, mengenakan kemeja biru muda dengan senyum yang menawan.
Nayla menunduk cepat, berharap Rangga tidak menyadari wajahnya yang gugup. “Oh, kamu…”
Rangga menarik kursi di depannya, duduk tanpa menunggu izin. “Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini. Lagi nunggu siapa?”
“Sendiri,” jawab Nayla singkat.
Rangga tersenyum lebih lebar. “Baguslah. Berarti aku bisa nemenin kamu sebentar.”
Nayla ingin menolak, tapi ia tak kuasa. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega dengan kehadiran Rangga. Suasana sunyi yang selama ini mengekang, mendadak terasa lebih ringan ketika pria itu ada di dekatnya.
Mereka berbincang ringan—tentang pekerjaan, masa lalu kuliah, bahkan Kayla. Nayla berusaha menjaga jarak, tapi Rangga selalu tahu cara membuatnya tertawa, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Lihat? Senyummu itu yang dulu bikin aku betah di kampus, Nay,” kata Rangga tiba-tiba. Suaranya merendah, penuh makna.
Wajah Nayla memerah. Ia segera menegakkan tubuh, menatap keluar jendela. “Rangga, jangan…”
“Aku serius.” Rangga mencondongkan tubuh. “Aku tahu kamu berusaha kuat. Tapi kamu nggak harus pura-pura baik-baik saja di depan semua orang. Apalagi kalau Arka—”
“Cukup.” Suara Nayla bergetar. “Jangan sebut nama dia. Arka tetap suamiku, dan aku mencintainya.”
Keheningan sejenak melingkupi mereka. Rangga menatap Nayla lama, lalu tersenyum samar. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Nay. Itu saja.”
Malamnya, Nayla mencoba menghubungi Arka lewat panggilan video. Ia ingin sekali mendengar suara suaminya langsung, melihat wajahnya, memastikan ia baik-baik saja.
Namun, panggilan itu hanya berdering tanpa jawaban. Sekali, dua kali, tiga kali—tetap sama.
Hatinya semakin gelisah. “Arka, kamu sebenarnya kenapa?” bisiknya lirih.
Ia lalu membuka galeri foto, melihat potret keluarganya bersama Arka dan Kayla. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Di balik kerinduan yang menggunung, terselip rasa sakit karena jarak dan rahasia yang semakin dalam.
Di seberang lautan, Arka terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya semakin lemah, selang infus terpasang di lengannya. Ia menatap layar ponsel yang masih bergetar karena panggilan video Nayla.
Tangannya hampir terulur untuk menjawab, tetapi ia menarik kembali. Bibirnya bergetar, seolah ingin berkata sesuatu, namun yang keluar hanya helaan napas berat.
“Maafkan aku, Nayla…” gumamnya. “Aku ingin kamu ingat aku sebagai sosok yang kuat, bukan seperti ini.”
Air mata Arka jatuh. Ia menutup matanya, berusaha menahan sakit yang semakin menusuk. Diam adalah satu-satunya cara baginya menjaga martabat di hadapan istrinya.
Keesokan harinya, Nayla kembali dibuat bimbang. Saat menjemput Kayla dari sekolah, Rangga sudah menunggu di depan gerbang. Ia menawarkan tumpangan pulang, bahkan mengajak Kayla mampir membeli es krim.
Kayla, polos seperti biasa, langsung senang dan menempel pada Rangga. “Om Rangga baik banget,” katanya sambil tersenyum ceria.
Nayla hanya bisa diam. Hatinya campur aduk antara bahagia karena Kayla bisa tertawa, sekaligus takut akan keterikatan yang semakin tumbuh.
Di malam yang sunyi, Nayla duduk di balkon, memeluk Kayla yang sudah tertidur di pangkuannya. Hatinya penuh tanya. Sampai kapan ia bisa bertahan dengan rahasia Arka dan godaan Rangga?
Di seberang dunia, Arka menatap bulan dari jendela rumah sakit. Ia berdoa lirih agar cintanya tetap kuat, meski jarak dan sakit perlahan mengikis dirinya.
Dan Rangga, di rumahnya, menatap foto lama Nayla di ponselnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya, seolah kemenangan sudah semakin dekat.
Malam itu, tiga hati kembali terikat dalam diam, rahasia, dan godaan. Retakan yang selama ini samar, kini semakin nyata. Dan cepat atau lambat, semuanya akan pecah.
Nayla menggenggam ponselnya erat-erat malam itu. Ia menuliskan pesan panjang untuk Arka, mengetik lalu menghapus, mengetik lagi lalu menghapus. Semua kata terasa sia-sia ketika ia tidak tahu apakah Arka benar-benar membaca atau hanya memilih diam.
Akhirnya, ia menekan tombol kirim.
“Arka, aku rindu. Aku lelah menebak-nebak. Tolong, katakan sesuatu. Apa pun itu. Aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja.”
Setelah pesan itu terkirim, Nayla menatap layar tanpa berkedip. Hatinya berdebar, menunggu tanda centang biru berubah, menunggu balasan yang entah datang atau tidak. Detik berganti menit, menit berganti jam. Tak ada jawaban.
Air mata Nayla jatuh, membasahi pipinya. Ia merasa seperti berbicara pada bayangan, mencintai seseorang yang perlahan menjauh tanpa sempat ia tarik kembali.
Sementara itu, Rangga kembali mengirim pesan singkat.
“Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada. Kamu nggak sendirian, Nay.”
Pesan itu sederhana, tapi terasa menampar hati Nayla. Bagian dari dirinya ingin menghapus pesan itu, pura-pura tidak melihat. Namun bagian lain merasa lega karena ada seseorang yang peduli, meski bukan orang yang seharusnya.
Ia menutup ponsel, memeluk Kayla yang terlelap. “Bunda harus kuat,” bisiknya, meski suaranya terdengar rapuh.
Di seberang dunia, Arka masih menatap layar ponselnya yang berisi pesan dari Nayla. Tangannya gemetar, ingin sekali membalas, tapi bibirnya hanya bisa bergetar pelan. “Maafkan aku, sayang. Aku janji akan pulang, meski aku nggak tahu dengan tubuh seperti apa.”
Malam itu, tiga hati kembali tenggelam dalam sunyi. Nayla dengan tangis tertahan, Arka dengan rahasia yang semakin membebani, dan Rangga dengan kesabaran yang semakin tipis. Retakan itu kini bukan lagi garis samar, melainkan celah besar yang mengancam untuk menghancurkan segalanya.