Pagi itu, Nayla terbangun dengan mata yang sembab. Malam sebelumnya ia tertidur sambil memeluk Kayla setelah menunggu balasan dari Arka yang tak kunjung datang. Di meja kecil samping ranjang, ponselnya tetap diam. Tidak ada pesan, tidak ada telepon.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan sesak yang menekan dadanya. “Bunda harus kuat,” gumamnya sambil mengusap rambut Kayla yang masih terlelap. Namun dalam hati, ia merasa rapuh.
Hari itu, ia harus mengantar Kayla ke sekolah, lalu berbelanja kebutuhan rumah. Rutinitas berjalan seperti biasa, tetapi pikirannya kacau. Setiap kali melihat ponsel, hatinya berdebar penuh harap, lalu hancur ketika hanya menemukan notifikasi dari orang lain—terutama dari Rangga.
Siang harinya, saat Nayla menunggu Kayla keluar dari kelas, Rangga datang. Ia berdiri di samping mobilnya dengan senyum tipis. “Aku kebetulan lewat. Mau sekalian nemenin kamu pulang?” tanyanya.
Nayla menggeleng, mencoba menjaga jarak. “Terima kasih, tapi aku bisa sendiri.”
Namun Rangga tidak mudah menyerah. “Nayla, aku bukan mau mengganggu. Aku cuma… ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian. Aku bisa ada di sini kapan pun kamu butuh.”
Nada suaranya tenang, penuh ketulusan, dan itu yang membuat Nayla semakin goyah. Hatinya berbisik agar ia menjauh, tetapi tubuhnya justru merasa lega dengan kehadiran Rangga.
Malamnya, Nayla duduk di balkon dengan secangkir teh. Lampu kota berkelap-kelip, angin malam berhembus pelan, tapi hatinya bergejolak. Ia membuka ponselnya, membaca ulang pesan terakhir yang ia kirim pada Arka. Masih tak ada balasan.
Air mata kembali jatuh. “Arka, kenapa kamu diam saja? Aku capek merasa sendirian,” bisiknya.
Saat itulah pesan dari Rangga masuk.
“Aku tahu kamu lagi berat, Nay. Kalau mau cerita, aku siap dengerin. Nggak usah ditahan sendiri.”
Nayla menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hatinya terasa compang-camping, seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai. Bagian dirinya ingin tetap setia, memegang erat janji pada Arka. Namun bagian lain ingin merasakan kembali hangatnya dipedulikan.
Di seberang dunia, Arka duduk di ranjang rumah sakit. Selang infus menempel di tangannya, napasnya berat. Dokter masuk, menatapnya serius. “Pak Arka, kondisi Anda memburuk. Kami harus mempercepat tindakan. Anda harus istirahat penuh.”
Arka hanya mengangguk lemah. Matanya menatap ponsel di meja. Ada pesan dari Nayla yang belum ia balas. Tangannya terulur, ingin mengetik, tapi rasa takut menahannya. Bagaimana jika Nayla tahu kebenaran dan tidak sanggup menerimanya? Bagaimana jika Nayla semakin tertekan?
Ia menutup matanya, menahan sakit sekaligus rindu. “Maafkan aku, Nayla. Aku janji pulang… kalau aku masih bisa,” bisiknya lirih.
Sementara itu, Rangga semakin sering hadir di sekitar Nayla. Ia membantu mengantar Kayla, membawa kebutuhan rumah, bahkan sesekali menemaninya di kafe sambil berbincang ringan. Semua itu membuat Nayla semakin bingung. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi kesepian membuatnya rapuh.
Suatu sore, Nayla pulang dari pasar dan mendapati Rangga sudah menunggu di depan rumah. Ia membawa sebuah tas belanja berisi buah-buahan. “Aku pikir kamu pasti capek. Ini buat kamu dan Kayla,” ucapnya.
Nayla tercekat, merasa tak nyaman sekaligus tersentuh. “Rangga, kamu nggak perlu repot-repot.”
Rangga menatapnya dalam. “Aku ingin, Nayla. Aku ingin ada buat kamu.”
Hati Nayla bergetar. Ia segera memalingkan wajah, mencoba mengendalikan dirinya. “Aku… aku harus masuk. Kayla nunggu.”
Ia bergegas masuk, menutup pintu pelan. Tapi di balik pintu, tangannya gemetar. Ia tahu, jika ia terus membiarkan Rangga hadir, hatinya akan semakin sulit menolak.
Malam itu, Nayla menulis di buku harian kecilnya.
“Aku rindu Arka. Aku ingin tetap setia. Tapi kenapa rasanya aku semakin sendirian? Rangga hadir di saat aku lemah, dan itu membuatku takut. Aku takut hatiku hancur sebelum Arka kembali.”
Air matanya jatuh di halaman buku, meninggalkan noda basah yang menyakitkan.
Di sisi lain, Arka terbaring di ranjang rumah sakit, menatap langit-langit putih yang membosankan. Tubuhnya lemah, tetapi pikirannya penuh dengan wajah Nayla dan Kayla. Ia ingin pulang, ingin memeluk mereka, ingin mengatakan kebenaran. Namun, ia masih menunda, seakan menunggu waktu yang tepat yang entah kapan akan datang.
Dan di suatu tempat tak jauh dari Nayla, Rangga duduk di mobilnya, menatap rumah Nayla dengan tatapan penuh tekad. “Sedikit lagi, Nay. Aku akan ada di sisimu. Aku nggak akan biarkan kamu sendirian lagi,” gumamnya.
Malam itu, tiga hati kembali terjebak dalam dilema: Nayla dengan keraguan dan kesepiannya, Arka dengan rahasia yang menggerogoti, dan Rangga dengan tekad untuk merebut celah di hati yang retak. Semua semakin mendekati titik yang bisa mengubah segalanya—titik di mana cinta, kesetiaan, dan pengkhianatan akan diuji dengan cara yang paling menyakitkan.
Nayla duduk di tepi ranjang setelah menidurkan Kayla. Lampu kamar hanya temaram, menyisakan cahaya redup yang menenangkan. Namun, hatinya tetap tak tenang. Ia menatap ponsel di tangannya, jari-jarinya berulang kali menekan layar, membuka dan menutup pesan Arka yang belum dibalas.
“Kenapa kamu nggak pernah jujur, Ka? Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku?” bisiknya lirih.
Air mata kembali menetes, jatuh di layar ponsel. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menahan semua rasa sakit. Ia tahu ia harus percaya pada suaminya, tapi diam dan jarak itu seperti jurang yang semakin hari semakin melebar.
Sementara di rumah sakit, Arka masih terjaga. Tubuhnya lemah, tapi pikirannya tak berhenti memikirkan Nayla. Ia menatap foto istrinya dan Kayla yang tersimpan di ponsel. Senyuman mereka menjadi alasan ia bertahan, meski sakit kerap membuatnya hampir menyerah.
“Bertahanlah, Nay. Aku akan pulang. Aku harus pulang,” gumamnya, meski dirinya sendiri tak tahu apakah ia punya cukup waktu.
Di sisi lain kota, Rangga menatap layar ponselnya. Ia membaca ulang pesan singkat terakhir Nayla yang hanya berupa jawaban singkat dan dingin. Namun ia tersenyum puas. Ia tahu, jawaban singkat itu bukan penolakan, melainkan tanda Nayla mulai rapuh.
Malam itu, langit bertabur bintang, tapi bagi ketiga hati itu, hanya ada gelap dan gelisah. Nayla dengan air matanya, Arka dengan rahasianya, dan Rangga dengan niatnya.
Ketiganya berjalan di jalan berbeda, tapi perlahan semua langkah mengarah ke titik pertemuan yang sama—titik retak yang bisa membuat cinta itu runtuh seketika, atau justru semakin kokoh setelah ditempa badai.
Dan Nayla tahu, waktunya semakin dekat.
Nayla menarik napas panjang, lalu menatap langit malam dari jendela kamar. “Aku harus kuat… demi Kayla,” ucapnya, meski suaranya bergetar. Namun jauh di lubuk hati, ia tahu badai besar sedang menantinya. Dan ia hanya bisa berdoa agar hatinya tetap bertahan.