Selama dua hari penuh di rawat di rumah sakit, Sea akhirnya di perbolehkan pulang. Ada rasa lega tergambar di wajahnya, sebab dia tidak perlu lagi merasa tertekan dengan adanya bodyguard yang menjaga kamarnya.
Melegakan. Meski wajahnya masih pucat, dia antusias pulang ke rumah. Berharap bisa lanjut istirahat dengan nyaman. Tapi begitu masuk, Henry, Pamela dan Natasya menyambutnya dengan wajah suram.
Tidak ada sapaan atau bertanya tentang wajah pucat Sea . Seakan itu bukan masalah besar. Sebelum Sea sempat bicara, Natasya berjalan mendekat dengan langkah cepat. Satu gerakan mendorong Sea hingga tubuhnya jatuh.
"Aagghhh!"
Rasa sakit menghujam perut bagian bawah, membuatnya reflek memegang perutnya sambil mendesah lirih.
“Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga, kenapa pulang!”
Natasya memamerkan amarahnya, padahal diam-diam menyelipkan rasa puas saat melihat Henry tidak bereaksi ketika ia mendorong Sea.
Pamela bangkit berdiri, dia memandang Sea dengan tatapan jijik, namun bicaranya terdengar begitu lembut.
“Sea … Nak. Sebenarnya apa yang membuat ibu salah mendidik mu, kenapa kamu sampai menjual diri?”
Oh, sialan sekali mulut wanita ini.
Sea sampai terperangah, matanya membulat. Bisa-bisanya wanita itu berkata seperti itu.
“Ibu, aku tidak menjual diri. Aku harus bilang berapa kali?”
“Berhenti berbohong! Ibu datang ke rumah keluarga Horton untuk menanyakan dokumen pernikahan, tapi Ibu malah dipermalukan!” lantang Natasya.
“Mereka bilang kau jual diri dan sekarang sedang hamil! David bahkan sudah bertemu dengan pria yang membelimu itu!”
Kata-kata Natasya menyeruak ke udara dengan tajam, menusuk hati Sea. Sebagian dari yang dikatakan Natasya memang benar—Pamela memang pergi ke rumah keluarga Horton tapi tujuannya hanya untuk menanyakan mahar pernikahannya. Tidak disangka, keluarga Horton malah berkata jika Sea telah menjual diri dan hamil.
“Ibu … ini salah paham,” ucap Sea mencoba menjelaskan, tapi rasanya percuma, Pamela tidak akan percaya dengan perkataannya.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Sea memalingkan wajahnya, menatap ayahnya. Henry, pria yang selama ini menjadi pilar kekuatan dalam hidupnya, berdiri tanpa sepatah kata pun.
"Ayah, tolong dengarkan aku," ucapnya lirih, penuh harap.
Henry tidak memperlihatkan tanda-tanda ingin mendengarkannya. Dengan wajah penuh emosi tanpa belas kasih, ia melangkah maju lalu menarik tangan Sea. Menyeretnya keluar dari rumah.
"Pergilah!" Henry berteriak, suaranya tegas dan dingin. "Jangan kotori rumahku. Kau... bukan lagi putriku!"
Kata-kata itu menghujam Sea seperti pedang, menghancurkan seluruh sisa harapan yang masih ada dalam dirinya. Dengan tubuh yang gemetar dan air mata yang tak tertahankan, Sea menolak dengan tegas.
"Tidak, Ayah! Aku tidak mau pergi!" teriak Sea, suaranya penuh dengan ketidakberdayaan.
Hatinya berdegup kencang, dan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku harus ke mana? Aku tidak punya tujuan. Ayah... aku mohon!"
Di belakangnya, Natasya dan Pamela saling bertukar tatapan penuh kepuasan. Senyuman sinis mengembang di wajah mereka, rencana jahat mereka berhasil. Pernikahan Sea dan David batal, dan kini Sea diusir dari rumah dalam kondisi hamil.
Pria baik dan kaya mana yang mau menikahi wanita hamil?
Tidak ada.
Natasya melangkah maju, suaranya terdengar angkuh. Dengan nada mengejek, ia melanjutkan, “Tidak jual diri, lalu apa? Fakta kamu hamil di luar nikah sudah cukup membuktikan seberapa murahnya dirimu.”
“Aku dengar pria itu seorang buruh, dan umurnya … hampir sama dengan ayah. Astaga, kamu memalukan, Kak.” Natasya tersenyum puas.
“Tidak, bukan! Sudah ku katakan aku diperkosa.”
Sea berusaha menjelaskan, tetapi suaranya hanya terdengar seperti bisikan. Kekecewaan dan rasa sakit menggelayuti hatinya, dan ia tahu bahwa tidak ada yang akan membelanya di antara keluarganya sendiri.
“Berhenti mengada-ada! Kami tidak ingin mendengar alasanmu!” Pamela menyela, suaranya dingin.
“Kau hanya membawa aib bagi keluarga ini. Sekarang pergi!”
-
-
Tidak jauh dari kediaman Sea, mobil Bentley hitam yang terkenal mahal, terparkir di bawah pohon rindang. Kaizen dan Anderson duduk di dalamnya, merokok dengan santai sambil menikmati drama seru di depan mereka. Kaca jendela yang sengaja di buka sedikit membuat percakapan Sea dan keluarganya terdengar jelas.
Termasuk, saat Natasya menjelekkan Kaizen dengan berkata, “Ayah dari bayi di perut Sea hanya seorang buruh, sudah begitu umurnya 40 tahun.”
Anderson yang mendengar bosnya dianggap sebagai buruh tua, langsung menyemburkan tawa. Suaranya menggema, membuat wajah Kaizen makin tenggelam dalam rasa kesal.
“Jadi … Anda ini kekasihnya, Tuan? Pria 40 tahun yang hanya seorang buruh?” ejek Anderson.
Kaizen mencoba menahan napas sambil bersedekap tangan. “Aku tidak bisa dianggap sebagai pria 40 tahun,” gerutunya, merasa tersingkirkan oleh anggapan yang merendahkan.
Anderson menahan tawanya, lalu melanjutkan, “Nona Sea, juga cukup menyedihkan juga ternyata. Padahal dia sudah setuju menikah dengan Anda, tapi masih saja diusir!”
Kaizen menoleh. Matanya yang dingin menatap Anderson dengan penuh perhatian, “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara rendah, tetapi tegas.
“Ini adalah alasan sebenarnya, kenapa dia akhirnya menerima setelah lantang menolak. Nona Sea bukan hanya tidak mau menggugurkan anak dalam perutnya, tapi dia juga tidak ingin diusir oleh keluarganya. Anak itu harus lahir tanpa direndahkan sebagai anak haram yang tidak tahu siapa ayahnya.”
Kaizen terdiam. Tatapan tajamnya beralih pada Sea yang masih berusaha memohon agar dimaafkan oleh keluarganya. Sebuah rasa asing yang membuatnya tidak nyaman merayap di dalam dirinya. Dan entah kenapa, dadanya terasa sesak.
Matanya menyipit, seolah menganalisis situasi dengan lebih dalam. Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa perasaannya terusik?
Tanpa disadari, tangannya sudah membuka handle pintu mobil. Ia berhenti sejenak, sebelum bergumam pada dirinya sendiri, “Sudahlah, ini juga demi anak dalam perutnya.”
Kaizen turun dari mobil dengan santai. Meski hanya mengenakan kaos dan celana jeans kasual, langkahnya tetap memancarkan aura otoritas yang kuat, membuat siapapun yang melihatnya tak bisa mengabaikan kehadirannya.
Saat Kaizen mendekat, Henry sedang melangkah masuk ke dalam rumah, mengabaikan Sea yang masih berusaha memohon dengan suara serak. Natasya menahan Sea dengan penuh kesombongan, seolah memastikan bahwa Sea tidak akan mendapat kesempatan lagi.
Lalu, tanpa peringatan, Pamela mengambil teko teh dari meja dan menyiramkan isinya pada Sea dengan penuh kebencian.
Namun sebelum teh panas itu bisa menyentuh Sea, bayangan tinggi berdiri di depannya. Teh panas mengenai punggung Kaizen yang berdiri di hadapannya seperti tembok baja.
Uap panas mengepul dari punggungnya, tetapi Kaizen tidak bergerak sedikitpun, hanya diam dengan sikap tenang seolah tidak merasakan apa-apa.
Suara teko yang jatuh ke lantai terdengar menggema, membuat Henry yang sedang beranjak pergi menoleh kaget. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat seorang pria tinggi merengkuh tubuh putrinya. Punggung pria itu basah oleh teh panas, sementara teko yang pecah berserakan di lantai.
“Apa yang kau lakukan, Pamela!” teriaknya lantang.
-