“Tidak! Saya tidak mau!”
Lantang dan tegas penolakan Sea. Perkataannya bukan hanya sekadar jeritan yang penuh ketakutan, tetapi juga merupakan manifestasi dari rasa cemas dan marah yang berkecamuk dalam dirinya.
“Dia hanya membuang benihnya! Anak ini punya darah dan dagingku! Kenapa dia bisa bertindak seenaknya?”
Kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti ledakan, melambangkan ketidakberdayaannya dalam situasi ini. Hatinya berdegup kencang, seolah setiap denyutnya berteriak menolak kenyataan pahit yang terpaksa harus dihadapi.
Anderson bisa mengerti perasaan Sea, tetapi dia lebih tahu tentang bosnya. Kaizen tidak akan peduli pada perasaan Sea. Anak itu berasal dari benih milik Kaizen, sudah pasti dia juga berhak memutuskan.
“Bayi tanpa ayah bukan hal baik. Masyarakat akan bergunjing, dan kedua orang tua Anda … pasti akan murka.” Anderson mencoba menenangkan.
Sea terdiam, teringat pada Henry Carter – ayah kandungnya. Saat kejadian kemarin, dia nyaris diusir dari rumah, bahkan Henry tidak mau mengakui Sea sebagai anak. Jika bukan karena David bersedia melanjutkan pernikahan, mungkin situasinya akan lebih buruk.
“Hanya satu tahun, sampai anak itu lahir. Setelah itu, Anda bebas. Anda tetap jadi ibunya, dan bisa menjenguknya kapan pun. Akan ada tunjangan dan rumah. Lycus akan menjamin kehidupan Anda,” lanjut Anderson, berusaha meyakinkannya.
“Nona, tolong pikirkan tentang bayi ini juga.”
“Dia … dia terlalu menyeramkan. Bagaimana jika dia menyakiti bayi ini?” tanya Sea cemas.
“Tidak akan, Nona. Tuan tidak akan menyakiti bayi dan Anda. Saya akan menjaminnya,” jawabnya penuh keyakinan.
Kaizen memang kejam, bisa dikatakan bengis, tapi Anderson yakin, pria itu tidak akan tega menyakiti wanita yang mengandung anaknya. Sekalipun anak itu nantinya hanya akan menjadi alat mendapatkan 20 persen sahan Elizabeth.
-
-
Di rumah keluarga Lycus. Helena Nora Lycus – Ibu kandung Kaizen sedang sibuk berbincang dengan seseorang di telepon. Mata wanita itu berbinar memancarkan kebahagiaan. Wajahnya berseri-seri, senyum lebar menghiasi bibirnya.
"Enam bulan terlalu lama, kembalilah bulan depan," ucapnya dengan semangat.
"Iya, bulan depan saja. Tante akan mengatur pertunangan kalian. Kamu dan Kaizen sudah saling mengenal sejak kecil."
Helena tertawa kecil, seolah tidak ragu menjanjikan hal itu.
"Pacar? Astaga, anak itu hanya bermain-main. Kamu lihat, mereka sudah dua tahun bersama. Kalau memang ingin menikah, sudah pasti Kaizen melamarnya. Anak itu... sedang menunggumu pulang!"
"Pokoknya, Tante sudah mengatur semuanya. Bulan depan, saat kamu kembali, dia pasti langsung melamarmu."
Suara riang Helena terdengar penuh semangat, begitu nyaring hingga menarik perhatian suaminya.
"Bicara dengan siapa?" tanyanya menyelidik. Nadanya datar namun penuh perhatian.
Helena menoleh sekilas, senyumnya masih terpatri di wajahnya. "Lilian," jawabnya singkat.
"Aku memintanya kembali bulan depan. Setelah dia kembali, anak itu pasti langsung melamarnya. Astaga, memikirkan ini saja aku sudah tidak sabar."
Gordon Lycus menghela napas panjang. Pria berwibawa yang usianya menyentuh setengah abad itu duduk di sebelah Helena.
"Kamu sudah menanyakan ini pada anak itu?" tanyanya dengan suara dalan.
"Bukankah anak itu punya pacar? Jangan membuat keputusan seenaknya, apalagi itu tentang pernikahan. Dia tidak menyukai itu, Helena."
Helena berdecak acuh, tangannya melambai seolah kata-kata suaminya tidak penting. Bagi Helena, peran Gordon dirumah hanya sebagai seorang suami yang gila kerja.
Dia mana bisa memahami putranya. Beda dengan Helena. Dia sudah mengamati Kaizen sejak dulu, Helena yakin, Kaizen sudah menyimpan perasaan pada Lilian — teman baiknya sejak kecil.
"Aku lebih mengenal Kaizen daripada kamu," gumamnya lirih. Matanya tak lepas daro pesan chat yang akan dia kirim pada Lilian.
-
-
"Kai... dimana telingamu saat nenek bicara?"
Omelan Elizabeth Marie, nenek tua keluarga Lycus, terdengar memekik, hingga Kaizen ingin menyumpal lubang telinganya. Suaranya begitu menusuk, membuat setiap kalimat yang keluar semakin menekan kesabarannya.
Kaizen mendesah pelan, nyaris pasrah dengan situasi yang berulang-ulang. "Kai mendengar Nenek bicara," jawabnya singkat.
"Cepatlah menikah! Beri nenek cicit! Kalau pacarmu tidak mau melahirkan, cari wanita yang mau melakukannya!"
Elizabeth semakin keras menekannya. Ini jelas bukan pertama kalinya nenek tua itu mendesak Kaizen, jika dihitung, mungkin sudah seribu kali. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul, tidak pernah terlewat.
"Dengar... kalau sampai nenek ini mati sebelum kau membawa cicit... lupakan soal saham! Kau mengerti?" Ancaman neneknya kali ini terasa jauh lebih serius, membuat Kaizen diam sejenak.
Kaizen menghela napas panjang, menahan rasa muak yang semakin menggunung. Dia ingin segera melengserkan Gordon dari posisi Presiden Direktur sesegera mungkin. Tapi pria paruh baya itu belum puas duduk disana.
Satu-satunya cara membuat Gordon turun dari posisinya hanya dengan 20 persen saham milik Elizabeth. Kaizen harus bergerak cepat jika tidak mau Grayson — saudaranya — mendapatkan saham Elizabeth.
Namun persyaratan dari nenek tua itu membuatnya frustasi.
“Cicitku nanti akan mewarisi sahamku. Kau bisa gunakan itu jika ingin menurunkan ayahmu!”
Goddamn! Dia benci ditekan soal pernikahan. Dia tidak suka dengan hubungan memusingkan seperti suami-istri.
Kaizen mendesah keras, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam sofa dengan rasa frustasi yang kian mendalam. Sebenarnya, masalah ini bisa diatasi dengan mudah jika dia menggunakan kekasihnya, Daia Pattinson.
Namun, Daia terlalu sibuk mengejar karir musiknya di Amerika. Meski wanita itu pernah menantang Kaizen untuk membuatnya hamil, nyatanya selama dua tahun mereka bersama, Daia belum juga hamil.
Barulah setelah dia mendengar wanita yang dibeli satu miliar itu hamil, Kaizen mulai mempertanyakan segalanya. Termasuk, kemungkinan Daia menggunakan kontrasepsi secara diam-diam.
Dia sendiri tidak masalah wanita mana yang mengandung benihnya. Peduli apa dengan wanita yang akan dia nikahi, siapapun itu, asal bisa membuatnya mendapatkan 20 persen saham milik neneknya, Kaizen tidak peduli.
Tapi Sea, wanita yang seharusnya bersyukur bisa mengandung anaknya dan menjadi Nyonya Lycus, malah menolak. Bagaimana mungkin seorang pria yang dipandang penuh wibawa dan berkuasa ditolak oleh wanita biasa?
Kaizen kesal, lalu menyuruh Anderson menggugurkan bayi itu. Lebih baik dia menyewa seorang p*****r kelas atas yang patuh dan mudah diatur untuk mengandung anaknya, daripada Sea.
Namun, Anderson tiba-tiba menghubunginya. "Tuan, Nona Sea menerimanya. Saya sudah menyusun kontrak pernikahan selama satu tahun," ucapnya.
Mendengar kabar ini, sudah seharusnya Kaizen merasa senang. Dia bisa segera mendapatkan tujuannya tanpa perlu mencari p*****r kelas atas. Tapi wajahnya justru terlihat suram. Dia meremas pena dengan kuat sampai pena itu patah menjadi dua.
“An, aku tidak mau kontrak satu tahun. Aku akan mengikatnya selamanya disisiku, sampai aku puas dan membuangnya!”
-