Sea tetap memejamkan matanya meskipun matanya tidak terlelap. Di dalam keheningan kamar, hatinya seperti dihantam ribuan pecahan kaca. Semua luka, rasa sakit, dan kehancuran bercampur menjadi satu, membenamkan dirinya lebih dalam ke jurang kekecewaan. Dia tak ingin bicara. Bahkan tidak untuk melampiaskan sakit hatinya. Ia terlalu lelah. Kaizen masih berjongkok di dekat ranjang, diam, memandangi sosok Sea yang meringkuk seperti ingin melindungi dirinya sendiri. Rasa sesal menekan dadanya begitu kuat hingga hampir sulit bernapas. Dia tidak pernah merasa sehancur ini. Apa yang telah dia lakukan? Kenapa dia membiarkan segalanya menjadi serumit ini? “Maaf,” katanya tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik, serak dan penuh penyesalan. “Aku… minta maaf. Maaf, Sea. Aku... aku salah.” Dengan tang