“Kamu tahu maksudku. Temui aku sekarang! Waktumu lima belas menit.”
Pria diseberang mengakhiri panggilannya.
Nadira mencengkeram ponselnya dengan tubuh gemetar.
Kakinya goyah.
“Tolong, jangan lagi, Tuhan…” Rintih Nadira dalam hati.
Ketika fajar mulai menyingsing, Nadira masih duduk di kursinya, tatapannya terpaku pada layar komputer yang sudah mati. Dia dan timnya sudah bekerja keras malam ini, dan dia siap menghadapi sidang hari ini.
Soal hasilnya nanti, biarlah surga memberkatinya.
Yang pasti, dia tidak akan pernah menuruti perintah pria itu lagi.
Nadira berjalan keluar ke balkon kantornya, memandang kota yang mulai bangun dari tidurnya. Dia mendongak, menatap langit dengan penuh optimis. Menghirup udara segar pagi sepenuh d**a dan menghembuskannya perlahan.
Lalu dengan bersemangat dia mulai bersiap-siap.
Setengah jam kemudian, Nadira sudah siap dengan penampilan terbaiknya.
Tiba-tiba ponsel berbunyi.
Nadira meletakkan tasnya kembali dan menerima panggilan itu.
Dari seorang petugas di tahananu, mengabarkan kliennya ditemukan tewas dalam selnya.
Indikasi bunuh diri.
Nadira terdiam, berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya.
Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—kebingungan, kesedihan, dan frustrasi.
Sementara itu orang yang meneleponnya terus berbicara, menyampaikan beberapa informasi lagi, namun sudah tidak bisa dia tangkap dengan jelas.
Nadira menghembuskan napas panjang, berusaha melegakan dadanya yang terasa sesak.
“Pengacara Rodin, Anda ditunggu sekarang di rumah sakit. Korban sedang diotopsi.”
"Aku akan segera ke sana," jawab Nadira singkat, sebelum menutup telepon.
Nadira meraih tasnya dan melangkah tergesa ke luar kantor.
Di depan kantornya, Nadira disambut oleh kerumunan wartawan, mereka mengepung dua orang rekannya yang tidak berdaya dan kebingungan menjawab berbagai pertanyaan yang mereka ajukan dengan ingin tahu.
Nadira menembus kerumunan dengan wajah pucat namun sorot matanya tegas. Dia menarik lengan Rey yang merasa lega akhirnya bisa terbebas dari kepungan wartawan dan pertanyaan mereka yang membingungkan.
David yang akhirnya berhasil menemukan cela, akhirnya bisa kabur dan menyusul Nadira dan Rey.
"Kita perlu memeriksa selnya dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa menjelaskan tindakannya."
Kedua rekannya mengangguk.
Rey yang sudah duduk di belakang kemudi segera menjalankan mobil operasional kantor itu sebelum di hadang para wartawan.
Nadira melihat ke arah orang-orang itu dengan sorot mata dingin.
Rupanya seseorang telah merencanakan ini dengan baik. Kedatangan wartawan terlalu cepat, hanya berselang beberapa menit setelah dia menerima telepon pemberitahuan peristiwa mengejutkan itu.
Seseorang pasti telah memberitahu para wartawan sebelumnya.
Nadira mengabaikan rasa herannya dan meminta Rey serta David memeriksa sel tempat terdakwa ditemukan.
TKP dalam waktu singkat sudah diamankan oleh pihak berwajib. Yang tersisa di sana hanyalah tulisan di dinding yang samar terlihat di bawah cahaya lampu. "Aku tidak bersalah."
Laporan hasil pemeriksaan kedua rekannya itu dia terima saat melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Nadira terhenyak melihat foto tulisan di dinding itu. Tulisan itu seperti pisau yang menusuk d**a Nadira. Kalimat itu yang selalu pria muda itu katakan.
Rasanya ini semua terlalu membingungkan. Bagaimana bisa dia mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu?
Nadira segera menugaskan rekan-rekannya untuk menyelidiki semua hal yang berhubungan dengan terdakwa sebelum dia ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Namun, CCTV juga sudah diamankan oleh pihak kepolisian, membuat investigasi mereka semakin sulit.
Merasa terlempar dalam situasi yang sulit dipahami, Nadira sampai di ruang otopsi. Kesedihan menghampiri Nadira saat melihat tubuh kliennya yang sudah terbujur kaku di atas meja logam.
‘Aku sedang berjuang mati-matian untuk menyelamatkanmu. Tapi kenapa kamu memilih mati?’ pikir Nadira, tubuhnya bergetar melihat pemandangan itu. Air mata tak lagi bisa ia tahan, mengalir perlahan di pipinya.
‘Apa yang sudah aku lewatkan?’ Nadira terus bertanya-tanya dalam hati. Semua usahanya, semua kerja kerasnya, terasa sia-sia sekarang.
Seorang dokter yang bertanggung jawab menangani visum masuk ke dalam ruangan, memandang Nadira serius.
"Hasil visumnya bagaimana, Dok?" tanya Nadira, suaranya sedikit bergetar.
Dokter tersebut mengambil napas panjang sebelum menjawab. "Sepertinya ini murni bunuh diri, Pengacara Rodin. Kami menemukan tanda-tanda bekas jeratan di lehernya dan tidak ada tanda-tanda perlawanan. Hanya saja ada yang aneh.."
Nadira mengerutkan kening. "Aneh bagaimana, Dok?"
"Di dalam saku bajunya, kami menemukan sebuah surat. Isinya seperti pesan terakhir," jawab dokter sambil menyerahkan surat tersebut kepada Nadira.
Nadira membuka surat itu dengan tangan gemetar. Isinya singkat namun menghantamnya dengan keras.
‘Pada akhirnya hidup hanyalah kesia-siaan, dan tidak ada tempat untuk berhenti dan bersembunyi.‘
***
Suasana di kantor Nadira penuh dengan kesibukan.
Nadira sudah mengumpulkan semua rekannya untuk menindaklanjuti kasus terbaru ini.
Siang itu, semua orang berfokus pada tugas mereka, berusaha mengumpulkan data dan fakta untuk mengungkap kebenaran. Nadira sendiri tengah duduk di mejanya, memeriksa dokumen-dokumen, ketika suara langkah berat terdengar di lorong.
Pintu kantor terbuka dengan keras, dan beberapa petugas kepolisian masuk dengan wajah dingin. Mereka berjalan langsung menuju meja Nadira.
"Maaf, Pengacara Rodin," kata salah satu petugas dengan nada formal. "Anda ditangkap sebagai tersangka kasus kematian klien Anda."
Sebelum Nadira sempat memahami kata-kata itu, borgol besi dingin sudah melingkari pergelangan tangannya.
"Tunggu! Apa yang terjadi? Ini pasti kesalahan!" teriak Nadira, mencoba meronta untuk melepaskan diri, namun sia-sia.
Rey, David, dan rekan-rekan lainnya hanya bisa menyaksikan dengan kaget dan tak percaya.
"Pasti ada kesalahan, Pak! Tidak mungkin bos saya terlibat dalam kematian klien kami sendiri!" seru Rey, namun Nadira sudah dibawa pergi oleh petugas.
Petugas tidak mendengar. Mereka menggiringnya dengan cepat menuju ke mobil polisi yang sudah menunggu dengan mesin menyala di depan kantor.
Nadira syok. Kebingungan menghadapi kejadian yang begitu mendadak. Dia tidak sempat melihat senyum dan sepasang mata yang berkilat kejam salah seorang rekannya.
Tidak ada dari rekan-rekannya yang lain yang sempat melihatnya.
‘Selamat menyambut kehancuranmu!’
Di luar, media sudah berkumpul, kamera-kamera menyorot tajam ke arah Nadira yang dibawa keluar dengan tangan terborgol. Sorotan cahaya blitz menghujaninya, dan Nadira merasa dunianya runtuh di hadapan publik.
Di dalam mobil polisi, Nadira hanya bisa duduk diam. Pikirannya berputar, mencoba memahami bagaimana semua ini bisa terjadi. Telepon sang pria tadi malam terngiang di kepalanya.
Saat ini, semuanya semakin jelas merupakan bagian dari rencana jahat seseorang. Publikasinya bahkan berjalan demikian cepat.
Nadira menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya, tapi dia tidak akan menyerah. Dia harus mencari cara untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan mengungkap siapa di balik semua ini.
Dia kembali teringat panggilan telepon dini hari itu.
Suara dingin pria itu kembali menggema dalam pikirannya. “Jangan terlalu angkuh, Nona. Duniamu sedang menuju kehancurannya.”
Nadira menggigit bibirnya, menyadari bahwa dia telah meremehkan ancaman itu. Pria itu, dengan kekuatannya yang tidak terlihat, ternyata masih sangat mampu untuk menghancurkan hidupnya dengan mudah.
Satu sisi hati Nadira berkata, ‘Kenapa aku mengabaikannya? Kenapa aku tidak segera bertindak setelah panggilan itu? Sejak kapan aku menjadi begitu ceroboh?’
Pria itu sudah memberi peringatan, tapi dia terlalu meremehkannya, hingga tidak melihat ancaman nyata di depan mata.
‘Aku mengira ini hanya ancaman kosong. Aku lupa betapa berbahayanya dia. Betapa kuatnya dia.’