Bab 1

1029 Words
Enam belas tahun kemudian… “Aku akan menghancurkanmu menjadi kepingan-kepingan debu. Jangan menolak keinginanku, Nona! Tubuhmu diciptakan untuk kesenanganku!” Suara pria itu berat dan menakutkan. Sepasang matanya memerah oleh gairah yang menyelubunginya. “Tolong jangan lakukan ini.. Aku mohon..” Dia merintih, memohon belas kasihan. Tetapi pria itu tidak mempedulikannya. Dia terus mendekapnya erat, menerjangnya dengan ciuman panas, bibirnya kasar dan rakus, seolah ingin menghisap seluruh kehidupannya. Kedua tangannya yang gemetar berusaha mendorong pria itu menjauh, tetapi sama sekali tidak berguna. Tubuh pria itu begitu kokoh, rengkuhan tangan kekarnya serasa meremukkannya. "Aku menginginkanmu. Jangan jual mahal!" Desisnya serak. Tangan pria itu bergerak liar, berusaha membuka gaunnya dengan kasar. Dia tidak menyerah, terus meronta dan berteriak, tapi sia-sia. Pria itu bertubuh besar, tenaganya jauh lebih kuat darinya, tangannya terus mendekapnya erat dan memaksa. Dia terus berteriak minta tolong, walaupun dia tahu itu sia-sia, karena ruangan itu kedap suara. Napasnya tersengal saat bibir pria itu kembali menyergapnya dengan rakus. "Seseorang... tolong!" Dia terus berteriak di tengah rasa putus asa. Pria itu berhasil merobek gaunnya, dan udara dingin menyergap dadanya yang terekspos. Dia berteriak sekuat tenaga, suara putus asa dan ketakutannya terdengar di seluruh ruangan. "Tolong...!" Teriakannya teredam oleh ciuman panas pria itu. Tapi dia tidak akan menyerah. Dia tidak akan membiarkan iblis ini mengambil kehormatannya. Dia meronta sekuat tenaga, menendang dan mencakar apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya sambil terus berteriak histeris. Teriakannya begitu menyayat. Ketakutan memuncak. Tiba-tiba dia tersentak bangun. Napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya berkeringat dingin. Rupanya dia hanya bermimpi. Mimpi yang sama yang terus menghantuinya selama lima tahun terakhir ini. Kejadian menyakitkan itu terus hadir dalam mimpinya. Kapan ini akan berakhir? Tubuhnya gemetar hebat, mengingat peristiwa yang terjadi lima tahun lalu itu. Kejadiannya persis sama dengan mimpinya barusan. Pria itu mendorongnya dengan kasar di ruang rapat yang sepi. Pria itu seorang pengacara handal yang disegani. Sementara dirinya adalah calon advokad yang sedang menjalani tugas magang. Lemah, tak berdaya dan ketakutan. Dengan kejam pria itu merenggut kehormatannya. 'Ya, Tuhan.. Tolong hentikan semua ini..' Dia mengusap wajah dengan kedua tangan yang masih gemetar. Mimpi buruk ini terus menghantui, sangat menyiksa. Dia mengulurkan tangannya, mengambil ponsel di samping tempat tidur untuk melihat waktu. Pukul 03.45. Dia merebahkan tubuh kembali, Matanya menerawang, memikirkan agenda sidang yang menantinya besok. *** Ruang sidang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung di udara. Ini adalah sidang kasus pembunuhan yang telah memakan waktu cukup lama. Sangat menguras emosi dan perhatian masyarakat sepanjang prosesnya. Kerumunan penonton hadir memenuhi tempat yang disediakan baik di dalam ruang sidang, menyaksikan langsung, hingga yang berada di luar, menyaksikan jalannya sidang melalui TV LED besar yang disiapkan oleh pengadilan. Mata mereka terpaku pada satu titik – Nadira Angelina Rodin, pengacara terdakwa yang sedang berdiri di tengah ruangan, memegang setumpuk kertas. Nadira adalah sosok yang memukau. Dengan wajah oval nan cantik, rambut hitam legam disanggul rapi, serta wajah dipoles riasan sempurna, menonjolkan mata tajam yang memancarkan kepercayaan diri yang kuat. Setelan blazer hitam yang dikenakannya membalut tubuh rampingnya dengan elegan, menambahkan sentuhan profesional dan karisma yang memukau. Sang pengacara dan kasus pembunuhan itu sendiri, merupakan dua hal tak terpisahkan yang sangat menarik perhatian masyarakat. Sekarang persidangan sudah memasuki babak terakhir, semakin menguras emosi dan rasa ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan terus bergaung, seiring rasa penasaran yang menguat. Apakah akan kembali berakhir dengan kemenangan di pihak sang pengacara hebat ini? Ataukah sebaliknya? Bagaimana pun kali ini lawan pengacara Rodin bukanlah orang sembarangan. Pengacara Ferdinand Randal, kuasa hukum keluarga korban, menatap Nadira dari seberang ruangan dengan tatapan menilai. “Dia sangat cantik. Namun sayangnya, dia terlalu jujur.” Padahal, kejujuran tidak selamanya menjadi pemenang. Nadira bukannya tidak mengetahui tatapan sang rival. Tapi dia mengabaikannya. Dia berdiri dengan sikap tegas dan penuh wibawa, namun tetap memancarkan keanggunan. Tatapan matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan tenang, memperlihatkan keyakinannya. "Yang Mulia, saya ingin menggarisbawahi bahwa bukti-bukti yang telah disampaikan oleh penuntut umum tidak cukup untuk membuktikan klien saya bersalah atas tuduhan pembunuhan ini. Klien saya memiliki alibi yang kuat, dan saksi-saksi yang telah kami hadirkan telah memberikan kesaksian yang mendukung alibi tersebut. Selain itu, tidak ada motif yang jelas yang mengaitkan klien saya dengan kejahatan ini." Suara Nadira mengalun dengan tegas dan meyakinkan. Namun, tidak semua orang di ruang sidang terkesan. Di barisan kursi penonton, keluarga korban membuat keributan, menginterupsi dengan teriakan protes dan sumpah serapah. "Pembohong! Pembunuh harus dihukum! Keadilan untuk anak kami!" teriak seorang ibu dengan wajah penuh air mata, sementara beberapa anggota keluarga lainnya ikut berteriak, memukul-mukul kursi di depan mereka. Hakim mengetuk palu dengan keras, mencoba mengendalikan situasi. "Harap jaga ketertiban di ruang sidang! Jika ada gangguan lagi, saya akan memerintahkan pengusiran dari ruang sidang!" Setelah beberapa saat, keributan mereda dan Nadira melanjutkan pembelaannya dengan tenang, meskipun pandangan penuh kebencian masih tertuju padanya. Dia tahu, emosi keluarga korban adalah hal yang wajar, tetapi dia juga tahu bahwa tugasnya adalah memastikan bahwa keadilan ditegakkan berdasarkan fakta dan bukti, bukan emosi. Setelah membacakan pembelaannya, dengan sorot mata lembut dan menenangkan, Nadira menatap ke arah terdakwa, memberikan anggukan kecil. "Sekarang, saya mempersilakan klien saya untuk menyampaikan pledoi yang telah ditulisnya sendiri." Terdakwa, seorang pria muda, dengan wajah yang terlihat letih namun penuh harap, berdiri perlahan. Dia membawa surat pembelaannya. Lalu dengan langkah mantap menuju ke tempat yang telah disiapkan. Suara terdakwa terdengar gemetar pada awalnya, namun seiring waktu berubah lebih tenang. "Yang Mulia, pak Jaksa, dan keluarga korban yang saya hormati, saya ingin menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas kehilangan yang telah dialami keluarga korban. Namun, saya berdiri di sini saat ini untuk menyatakan bahwa saya tidak bersalah. Saya tidak melakukan pembunuhan ini." Ruang sidang seketika riuh oleh teriakan protes keluarga. Hakim kembali mengetuk palu untuk menenangkan. Terdakwa tidak terpengaruh, dia melanjutkan pembelaannya hingga selesai. Nadira mengangguk puas. Sesuai dengan yang diharapkan. Semua bukti sangat jelas dan terang benderang. Dia yakin kliennya tidak bersalah. Tatapan mata Nadira kembali bertemu dengan kuasa hukum keluarga korban. Nadira tidak mengalihkan pandangannya, tetap bertahan, hingga pengacara senior itu berpaling pada rekannya. Dia terlihat berbicara serius. Mereka tampak berbicara serius. Bibir Nadira melengkung. Aura mengintimidasi dan kejam pria itu masih begitu kuat. Tapi Nadira berbeda sekarang. Dia tidak akan terintimidasi lagi. Cukuplah semuanya. Pengacara Randal kembali menatap ke arahnya, bibirnya melengkung aneh, seperti senyum seorang pembunuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD