Pagi menjelang, dan cahaya matahari mulai merayap melalui tirai jendela kamar. Nadira terbangun dengan kepala yang berat, rasa pusing yang menyertai setiap gerakan. Kesadaran perlahan masuk kembali ke dalam pikirannya, dan perlahan dia mengingat bagaimana Yehuda menggendongnya keluar dari kafe semalam. Rasa malu menyelimuti dirinya saat dia membayangkan betapa banyak mata yang menyaksikan pemandangan itu, Yehuda yang tampak begitu memonopoli perhatian. Nadira memalingkan wajahnya, mengingat betapa nyaman dan aman rasanya dalam gendongan Yehuda, meskipun saat itu dia hampir tidak sadar sepenuhnya. Ada perasaan hangat yang mengisi hatinya, seperti sebuah pelukan hangat di tengah dinginnya malam. Namun, perasaan itu segera diikuti oleh keraguan dan kesedihan. “Dasar Yehuda, lebay sekali,”

