BAB 08 : Membuat Kontrak

1344 Words
Begitu Sharvani tiba, acara sudah berakhir. Beberapa orang tampak membereskan kursi dan perlengkapan, sementara di salah satu meja, Jefandra terlihat sedang mengobrol dengan Kinan—editornya. Sharvani mengenal perempuan itu karena Jefandra sering menyebut namanya setiap kali membahas soal buku. Tak ingin mengganggu, Sharvani memilih menunggu sambil mengamati sekeliling. Perasaan bersalah makin menekan dadanya. Dia tahu Jefandra menantikan kehadirannya, dan kini dia telah mengecewakan pria itu. Namun, tak ada yang bisa dia lakukan selain menyampaikan permintaan maaf. Dia hanya berharap itu cukup untuk meredakan kekecewaan Jefandra, meski sedikit. Lima belas menit berlalu tanpa terasa. Ketika kakinya mulai pegal dan dia berniat mencari tempat duduk, akhirnya Jefandra menyadari keberadaannya. Pria itu segera berpamitan pada Kinan, lalu melangkah mendekatinya. “Kupikir kamu nggak akan datang,” ujarnya saat mereka berhadapan. Meski wajahnya tenang, nada suaranya terdengar kering. “Dan kupikir aku hanya akan menerima permintaan maafmu lewat pesan teks atau panggilan telepon.” “Maaf,” ucap Sharvani lirih. “Mama, Papa, dan adikku datang berkunjung ke rumah. Aku nggak bisa meninggalkan mereka begitu saja dan membiarkan Mas Gale menghadapi mereka sendirian.” Sharvani tak berniat membela diri. Dia tahu dirinya bersalah, tapi hanya ingin Jefandra memahami alasan di balik keterlambatannya, dengan harapan itu bisa sedikit meredakan amarah. “Memang, keluarga adalah segalanya bagimu. Aku ini hanya orang luar, simpananmu, jadi wajar kalau nggak masuk dalam daftar prioritasmu. Baik itu dulu, sekarang, maupun nanti, sepertinya akan terus begitu.” “Bukan begitu, Jef. Kamu juga sangat penting bagiku. Aku cuma ... belum bisa memilihmu sekarang karena statusku masih terikat. Tapi setelah semuanya berakhir, aku janji, hal seperti ini nggak akan terjadi lagi.” “Kapan, Vani? Tepatnya kapan kalian resmi bercerai? Berapa lama lagi aku harus menunggu dan terus mencoba memahamimu?” Pertanyaan itu membuat Sharvani terdiam. Mulutnya sempat terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Matanya menatap nanar, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan. Beberapa kalimat berputar di kepalanya, tapi semuanya terasa salah—karena dia tahu, apa pun yang dia katakan hanya akan membuat Jefandra semakin kecewa. Maka, dia memilih diam. Diam demi kebaikan. “Sudahlah kalau memang belum mau memberitahu,” tukas Jefandra tanpa ekspresi. “Mungkin karena kamu tahu aku selalu percaya padamu, jadi kamu pikir nggak masalah kalau terus menarik ulur perasaanku sesuka hati.” “Maaf, Jef ... sungguh, aku nggak tahu harus bilang apa lagi selain minta maaf. Tolong, maafin aku. Benar-benar maafin aku …” Suasana di antara mereka semakin berat, membuat Sharvani merasa sesak. Namun, dia segera mengendalikan diri. Ini bukan tempat yang tepat untuk membahas masalah pribadi mereka yang rumit. Menarik napas dalam-dalam, dia mencoba mengendalikan emosinya, lalu mengembuskannya perlahan agar lebih tenang. Setelah beberapa menit terlewat dalam keheningan, Sharvani akhirnya kembali membuka suara, kali ini dengan nada yang cukup stabil. “Aku nggak berharap kamu langsung memaafkanku, apalagi meredakan amarah secepat itu. Tapi hari ini adalah hari pentingmu, Jef. Aku nggak mau merusaknya lebih dari ini.” Dia lalu memaksakan senyum, dan menyodorkan sebuah paper bag besar ke hadapan Jefandra. Di dalamnya ada cokelat buatan tangannya dan satu hadiah tambahan yang sempat dia beli secara kilat sebelum datang. “Ini buat kamu. Semoga kamu suka, Sayang.” Jefandra menerimanya tanpa banyak kata, lalu membuka isinya satu per satu. “Kamu suka cokelat, jadi aku buatin khusus. Semoga rasanya cocok sama seleramu.” “Makasih,” ucap Jefandra singkat, lalu mengambil satu potong cokelat dan mencicipinya. Teksturnya lembut, rasanya pas, dan tampilannya rapi—tidak mengecewakan sama sekali. Seperti biasa, kemampuan Sharvani dalam membuat makanan penutup memang tidak diragukan lagi. “Aku suka, Vani. Ini enak.” “Syukurlah kalau kamu suka,” desahnya dengan napas lega. Lalu saat Jefandra membuka hadiah kedua yang terbungkus rapi, Sharvani menunggu dengan gugup. Dia berharap Jefandra juga menyukai yang satu ini. Hadiah itu memang dibeli secara impulsif, tapi dia ingat betul kalau Jefandra pernah mengeluh tentang barang lamanya yang sudah sering bermasalah. Namun, belum sempat menggantinya. “MacBook?” ucap Jefandra terkejut. “Vani, ini—” “Kuharap bisa bantu kerjaan kamu supaya lebih lancar, Sayang,” potong Sharvani pelan. Seolah lupa pada amarah yang sempat membara, Jefandra langsung memeluk Sharvani erat, tangannya mengusap lembut bagian belakang kepala wanita itu. “Makasih, Sayang. Makasih banyak. Ini benar-benar berarti buat aku. Aku pasti akan memakainya, dan jujur, aku nggak nyangka kamu bakal ngasih ini. Padahal tadinya aku memang berencana membeli dan minta ditemani kamu memilihnya.” “Sama-sama, Jef ... sama-sama.” Senyum Sharvani kini merekah sempurna. Rasa bersalahnya memang belum sepenuhnya reda, tapi setidaknya sekarang hatinya sedikit lebih tenang—hadiahnya diterima dengan tulus, dan itu cukup membayar segalanya. *** Sebagai pengacara yang andal, menyusun isi kontrak bukanlah perkara sulit bagi Galindra. Karena itu, saat Sharvani mengetuk pintu kamarnya malam-malam untuk membahas soal kontrak, tanpa pikir panjang dia langsung menyetujui. Lagi pula, ini adalah waktu yang paling tepat setelah beberapa kali janji mereka batal karena satu dan lain hal. Mereka memilih ruang tamu sebagai tempat berdiskusi. Galindra membawa laptop dan kacamatanya, sesuai permintaan Sharvani agar dia langsung mengetik poin-poin kesepakatan yang akan dituangkan dalam kontrak. Setelah duduk saling berhadapan dan menyiapkan segala yang diperlukan, diskusi pun dimulai. Baik Galindra maupun Sharvani sama-sama menyampaikan hal-hal yang menurut mereka penting untuk dipatuhi selama masih tinggal bersama. Jika ada poin yang dirasa kurang cocok, mereka akan mendiskusikan ulang dan mencari kompromi demi kenyamanan kedua belah pihak. Waktu berjalan tanpa terasa. Dalam dua jam, dua halaman kontrak pun hampir penuh dengan kesepakatan mereka—dan keduanya sepakat, untuk menyudahinya karena merasa itu sudah cukup. “Tidak ada lagi ‘kan yang ingin kau tambahkan?” tanya Galindra, memastikan. Sharvani menggeleng pelan. “Nggak ada. Kurasa semuanya sudah jelas, Mas.” “Baik, sekarang akan kusimpan dulu. Setelah itu, kubacakan semuanya untukmu.” Beberapa saat kemudian, setelah selesai menyimpan dokumen, Galindra bersiap membaca. Dia sempat berdehem ringan, mencoba menormalkan suaranya sebelum mulai membacakan isi kontrak. Kontrak itu terbagi menjadi dua bagian. Satu dibuat untuk Sharvani dan Galindra, sementara satu lagi ditujukan untuk diperlihatkan kepada pasangan masing-masing. Poin-poin dalam kontrak pertama bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan kontrak kedua akan menjadi rahasia di antara mereka berdua, tanpa sepengetahuan pasangan masing-masing, karena dikhawatirkan bisa menimbulkan kesalahpahaman yang fatal. Karena itulah, demi mencegah kekacauan, mereka memilih untuk merahasiakannya. Kontrak Pertama: • Perceraian akan dilanjutkan setelah anak lahir • Hubungan dibatasi hanya untuk urusan anak • Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing • Jangan sampai terbawa perasaan • Selalu ingat tujuan awal dan poin pertama • DILARANG MEMILIKI KETERTARIKAN, APALAGI SAMPAI JATUH CINTA. Kontrak Kedua: Hal-hal yang harus dipatuhi selama tinggal bersama: • Berbagi pekerjaan rumah tangga • Memenuhi keinginan selama masa ngidam • Mengikuti kelas prenatal bersama • Mempelajari perkembangan bayi • Belajar cara merawat bayi • Mengikuti kelas persiapan menjadi orang tua • Menemani setiap pemeriksaan kehamilan secara rutin • Membacakan cerita sebelum tidur • Galindra berhak melarang Sharvani melakukan hal yang berpotensi membahayakan kandungannya, begitu juga sebaliknya • Selama kehamilan, sebisa mungkin tidak melakukan kontak fisik yang bersifat intim dengan orang lain. Berlaku juga untuk Galindra, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. • Wajib membisikkan kata-kata cinta kepada janin sebelum tidur Catatan: Isi kontrak dapat berubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Tertanda, Pihak Pertama: Galindra Rakha Wiratama Pihak Kedua: Sharvani Nandita Yaswini Setelah Galindra selesai membacakan seluruh isi kontrak, suasana menjadi hening. Sharvani tampak merenung sejenak. Untuk ukuran pasangan yang akan bercerai, isi kontrak kedua itu memang terdengar berlebihan. Tapi mereka tahu, semua itu demi satu hal: memastikan anak mereka merasakan kasih sayang yang utuh, meski kedua orang tuanya nanti tidak lagi bersatu. “Kurasa untuk saat ini sudah cukup, Mas. Meski beberapa poin dalam kontrak kedua lebih terdengar seperti rutinitas, karena ini hasil keputusan bersama, aku akan berusaha menepatinya. Jadi, mohon kerja samanya setelah kita tanda tangani dan kontraknya mulai berlaku.” “Ya, aku juga begitu. Mohon kerja samanya, Vani.” Galindra lalu mengulurkan tangan, dan Sharvani menyambutnya dengan mantap. Mereka percaya, kontrak ini dibuat semata-mata demi anak dalam kandungan Sharvani. Di luar itu, masing-masing tetap menjaga hati dan batasan, karena ada cinta lain yang juga harus dihormati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD