Chapter 2

1043 Words
"Pa, kok sekarang kak Vanka nggak pernah datang lagi ke rumah?" tanya Epril dengan raut wajah sedih ketika Arthur tengah membacakan buku dongeng untuknya. Arthur terdiam, lalu membuka lembaran buku. "Mungkin kak Vanka sibuk ngurus kuliah," jawabnya tanpa menoleh ke arah Epril. Epril tampak lesu. "Epril mau ketemu kak Vanka, Pa," pintanya pelan. Arthur seketika menoleh ke arah putrinya. "Nanti kalau kak Vanka nggak sibuk, dia pasti datang ke sini. Jadi Epril tunggu aja, ya?" tuturnya mencoba menenangkan Epril. "Tapi ini udah lama banget, Pa. Epril kangen, mau main sama kak Vanka," ujar Epril memasang raut wajah memelas. Arthur terlihat bimbang. Di satu sisi, ia tidak tega melihat putrinya bersedih seperti ini. Tetapi di sisi lainnya, ia tidak mungkin menghubungi Ivanka untuk datang ke rumah setelah menolak wanita itu. "Ya sudah, besok Papa suruh kak Vanka datang ke rumah," kata Arthur. Ekspresi anak itu langsung berubah gembira. "Beneran, Pa?!" pekik Epril antusias. Arthur mengangguk. "Sekarang Epril tidur, ya?" Epril mengangguk patuh menuruti ucapan Arthur. "Oke, Pa, sahutnya riang. Anak itu kemudian memejamkan mata sembari tersenyum lebar. Arthur mengusap-usap punggung Epril dengan lembut untuk membantu putrinya agar cepat tertidur. Pria itu menghela napas pelan. "Sekarang gimana aku bisa menghubungi dia? Nomer telfonnya saja nggak punya," gumamnya bingung. Keesokan harinya. Arthur menyempatkan waktu untuk datang ke kampus Ivanka setelah mengantar Epril ke sekolah. Pria itu turun dari mobil, dan bertanya tentang Ivanka kepada salah satu mahasiswa yang tidak sengaja lewat. "Maaf, mau tanya. Kamu kenal Ivanka tidak?" "Ivanka anak jurusan seni?" tanya orang itu balik. "Emm, saya tidak tau. Tapi ciri-cirinya rambut pendek, tinggi, kulitnya putih, dan sering pakai kemeja laki-laki," ujar Arthur. "Yang tomboi itu kan, Kak?" tanya orang itu lagi. "Ya," sahut Arthur sedikit merasa aneh ketika dipanggil dengan sebutan 'kak'. "Oh, dia sama temen-temennya suka nongkrong di sana, Kak." Mahasiswa itu menunjukan tempat di mana Ivanka berada sebelum masuk kelas. Arthur menoleh ke arah pagar dinding, dan mendapati Ivanka tengah duduk di sana. Pria itu menaikkan alis ke atas sebelah ketika melihat Ivanka berkumpul dengan segerombolan laki-laki. "Kalau begitu, saya pergi dulu, Kak," pamitnya sopan. "Ah, iya. Terima kasih," sahut Arthur. Dia kemudian berjalan menghampiri Ivanka yang saat itu tengah asik mengobrol dan tertawa bersama teman-temannya. "Ivanka," panggil Arthur. Ivanka menoleh. Begitupula dengan teman-temannya yang seketika melihat ke arah Arthur. Sedangkan Mei memilih untuk pura-pura sibuk bermain ponsel karena malas melihat Arthur. "Bisa bicara sebentar?" Ivanka menatap Arthur lurus. "Maaf, saya tidak bisa," tolaknya lugas. Arthur mengernyitkan dahi ketika mendapati Ivanka berbicara formal dengannya. "Hanya sebentar, ini tentang Epril," ungkapnya. Ivanka seketika meraih tas, lalu berdiri. "Saya sibuk, tidak ada waktu," pungkasnya datar. "Ayo guys pergi. Kelas udah mau mulai," ajak Ivanka berjalan pergi melewati Arthur. Dan diikuti oleh Mei, serta teman laki-lakinya yang lain. Arthur menatap punggung Ivanka dengan tatapan heran ketika menyadari Ivanka tampak berbeda dari biasanya. Dan lagi, kenapa Ivanka bersikap seakan dia tidak mengenal dirinya? Bahkan, wanita itu juga terang-terangan mengabaikannya. Padahal dulu Ivanka paling heboh setiap kali bertemu. Tetapi kenapa sekarang reaksi Ivanka biasa saja? Sebenarnya apa yang membuat Ivanka tiba-tiba berubah seperti itu? ***** Saat berada di perjalanan pulang menuju rumah, Arthur tampak bingung memikirkan alasan yang harus dia berikan kepada Epril ketika tidak berhasil membawa Ivanka ke rumah. Bahkan saat di rumah sakit pun, Arthur tidak bisa fokus bekerja karena memikirkan hal itu. Dan lagi, ada hal lain yang juga terus mengganggu pikirannya. Sesuatu yang tidak pernah Arthur duga sebelumnya. Arthur menghela napas sembari memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Aku harus bilang apa ke Epril?" gumamnya bingung. Beberapa saat kemudian, mobil Arthur sudah tiba di halaman rumahnya. Dia turun dari mobil, dan berjalan memasuki rumah dengan wajah yang tampak letih seperti banyak pikiran. "Papa!" seru Epril berlari menghampiri Arthur yang baru saja masuk ke dalam rumah. Arthur tersenyum, lalu berjongkok sembari membuka kedua tangan bersiap menangkap putrinya. Pria itu mencium pipi gembul Epril, lalu menggendongnya seperti biasanya. "Gimana tadi sekolahnya?" tanya Arthur lembut sembari berjalan ke arah sofa. "Seru, Pa! Tadi Epril sama temen-temen main tangkap-tangkapan kucing dan tikus," ungkap Epril ceria. "Oh ya? Terus siapa yang jadi kucingnya?" tanya Arthur. "Epril," jawab anak itu sembari menunjuk dirinya sendiri. "Jadi Epril yang nangkap teman-temannya? Epril mengangguk. "Terus siapa aja yang sudah Epril tangkap?" tanya Arthur sembari duduk di sofa. "Banyak, Pa. Tapi tadi waktu lari-lari, Epril sama Lala jatuh," jawab Epril. "Epril nangis?" Epril menggeleng. "Enggak, yang nangis cuma Lala," jawabnya. Arthur mengacak-acak puncak kepala Epril sembari tersenyum bangga. "Pintar anak Papa," pujinya. "Papa tadi kerjanya telat nggak?" tanya Epril tiba-tiba. "Enggak, kenapa emangnya?" tanya Arthur balik. "Soalnya kan tadi Papa harus anterin Epril sekolah dulu sebelum berangkat kerja. Jadi Epril kira Papa telat," ungkap Epril. Arthur terkekeh, tidak menyangka putrinya bisa berpikir sejauh itu. "Kok Epril bisa mikir sampai situ?" "Karena Epril takut Papa dimarahin kalo telat," jawab anak itu polos. Arthur terkekeh. "Nggak ada yang marahin Papa, Sayang. Epril nggak perlu takut," ujarnya sembari membelai wajah Epril. "Apa besok Epril berangkat sekolahnya sama mbak Ani aja, Pa," kata anak itu. "Mbak Ani kalau pagi ya sibuk. Dia harus masak, nyiapin bekal makan siang dan keperluan kamu juga. Jadi nggak sempat nganter Epril ke sekolah," sahut Arthur. "Yah, padahal Epril suka naik motor daripada mobil," ujar Epril tampak kecewa. "Kan kamu pulang sekolahnya sudah dijemput naik motor sama mbak Ani," kata Arthur. "Maunya kalau berangkat sekolah juga naik motor," ucap Epril. "Kasian mbak Ani, nanti kerjaannya nggak selesai-selesai kalau harus antar jemput kamu," kata Arthur. "Kan ada bi Lasmi yang bantu beres-beres rumah," sahut Epril. "Iya, tapi bi Lasmi juga sudah ada kerjaannya sendiri. Dan dia juga siang sudah pulang," jawab Arthur. Epril menghela napas pelan. Namun sedetik kemudian, anak itu tiba-tiba berubah ceria. "Oh iya, nanti kak Vanka jadi datang ke rumah kan, Pa?" tanya Epril penuh semangat. Arthur terdiam, tak tau harus menjawab apa. "Emm, kak Vanka bilang dia belum bisa datang," ujarnya hati-hati. "Loh, kenapa?" Raut wajah Epril seketika berubah sedih. "Karena dia banyak tugas dan nggak ada waktu. Jadi belum bisa ketemu Epril untuk sementara ini," ujar Arthur. Epril tertunduk lesu. Dia kemudian turun dari pangkuan Arthur, dan berlari menuju kamar dengan raut wajah murung. Arthur menatap Epril sayu. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Karena dia tidak mungkin memaksa Ivanka untuk datang ke rumah ketika wanita itu tidak bisa. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD