Chapter 3

1347 Words
Pagi harinya, Epril tiba-tiba demam. Suhu tubuhnya tinggi sampai membuat anak itu menggigil. Arthur yang mengetahui putrinya sakit memutuskan untuk izin cuti hari itu. Karena dia tidak mungkin meninggalkan Epril bekerja dengan keadaan putrinya yang tengah demam tinggi. Pria itu menatap Epril sendu ketika mendengar putrinya terus menyebut nama Ivanka dengan suara lirih yang bergetar. Bahkan, Epril sampai tidak ingin makan dan meminum obat jika belum bertemu dengan Ivanka. "Epril, makan dulu. Perutnya harus diisi sebelum minum obat," tutur Arthur dengan nada suara halus. "Nggak mau. Nggak mau makan," tolak Epril dengan suara serak. "Sedikit aja, Sayang," bujuk Arthur. Epril menggelengkan kepala sembari menangis. "Nggak mau! Epril maunya disuapin kak Vanka." Tatapan Arthur semakin melemah. "Nanti kak Vanka datang ke sini. Makanya Epril makan dulu," ujarnya pelan. "Papa bohong!" pekik Epril semakin menangis sesenggukan. "Kalau kamu nggak mau makan, Papa nggak akan bawa kak Vanka ke rumah." Arthur terpaksa mengancam Epril karena terdesak. Alih-alih tenang, Epril justru semakin menangis. "Papa jahat!!" teriak Epril membalik tubuh membelakangi Arthur. Anak itu lalu menutupi tubuhnya dengan selimut, dan menangis tertahan di sana. "Kak Vanka ...," lirih Epril pilu. "Mau sama kak Vanka ...." Arthur memejamkan mata dalam-dalam sembari mengembuskan napas berat. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa Epril begitu dekat dengan Ivanka. Pria itu meletakkan piring di atas nakas, dan beranjak pergi dari kamar Epril. Dia kemudian melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian sebelum pergi menemui Ivanka. Selepas selesai, Arthur turun ke bawah dan meminta Ani untuk menjaga Epril selama dirinya pergi. Dan setelah cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan, akhirnya Arthur tiba di kampus tempat Ivanka berada. Ketika mendapati Ivanka tengah duduk sendiri, Arthur bergegas menghampiri Ivanka di tempat yang sama seperti kemarin dengan langkah lebar. "Ivanka," panggil Arthur. Saat mengenali suara itu, Ivanka seketika beranjak dan langsung pergi tanpa menoleh ke arah Arthur. "Ivanka, tunggu!" Arthur menahan lengan Ivanka. Ivanka menoleh ke belakang, dan menatap Arthur dingin. "Lepas," pungkasnya datar. "Tolong dengarkan saya dulu. Saya hanya ingin bicara sebentar saja," ujar Arthur. "Lepas!" desis Ivanka dengan nada suara yang lebih tegas dibandingkan sebelumnya. "Epril sakit, dia ingin ketemu kamu," ungkap Arthur dengan tatapan sayu. Ivanka hanya diam menatap Arthur dengan tatapan menerawang jauh ke depan. "Dia tidak mau makan kalau belum ketemu kamu. Sedangkan demamnya cukup tinggi. Keadaannya akan semakin parah kalau dia tidak segera minum obat. Jadi saya mohon, tolong datang ke rumah dan bujuk Epril," pinta Arthur dengan raut wajah memelas. "Saya benar-benar butuh bantuan kamu," imbuhnya. Ivanka tersenyum sinis, mentertawakan Arthur yang menemui dirinya hanya karena sedang memerlukan bantuan. Ia sebenarnya tidak ingin lagi berurusan dengan Arthur. Sejak hari itu, ia sudah memutuskan untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri hanya karena cinta. Tetapi ia juga tidak tega jika harus memutus hubungan dengan Epril. Anak itu sama sekali tidak bersalah, tetapi ia justru menjauhinya hanya karena tidak ingin berhubungan dengan orang yang ada kaitannya dengan Arthur. "Pagi ini saya ada presentasi, jadi saya tidak bisa ke rumah Anda sekarang," ungkap Ivanka datar. "Saya akan datang setelah kuliah selesai," imbuhnya. Arthur terlihat lesu. Perlahan dia melepaskan genggaman tangannya di lengan Ivanka. "Terus bagaimana dengan Epril? Dia hanya mau makan kalau sudah ketemu kamu." Ivanka tiba-tiba merogoh tas, dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menekan salah satu nama di kontak telepon untuk melakukan panggilan video. Ketika panggilan tersambung, Ivanka meminta Ani untuk memberikan ponselnya kepada Epril. "Kak Vanka!" pekik Epril girang saat melihat wajah Ivanka di layar ponsel. Ivanka tersenyum hangat. "Epril gimana kabarnya?" tanyanya dengan nada suara halus. "Epril sakit, Kak. Badan Epril panas," ungkapnya serak sembari memasang raut wajah memelas. "Terus sekarang Epril udah minum obat belum?" Epril menggeleng. "Epril maunya minum obat sama Kak Vanka." "Epril, kamu harus langsung minum obat biar cepat sembuh. Jangan ditunda-tunda, nanti demamnya makin tinggi, Sayang," tutur Ivanka lembut. "Nggak mau, Kak." "Maunya sama Kak Vanka." "Sekarang Kakak harus kuliah dulu, jadi nggak bisa ke situ. Tapi kalau Epril mau minum obat sekarang, nanti kak Vanka janji bakalan datang ke rumah Epril." "Janji?" "Iya, janji. Kak Vanka pasti datang. Tapi Epril harus makan dan minum obat dulu, ya?" "Kak Vanka nggak boleh bohong." "Enggak, Sayang." "Ya udah, Epril mau minum obat." "Nah, gitu dong. Itu baru anak pinter namanya," ujar Ivanka tersenyum lebar. Setelah berhasil membujuk Epril, Ivanka pun mengakhiri panggilan selepas berpamitan dengan Epril. "Kamu kok bisa punya nomer hp-nya Ani?" tanya Arthur. "Memangnya itu penting?" tukasnya sarkas, dan berlalu pergi meninggalkan Arthur. Tidak mungkin Ivanka mengatakan jika Ani adalah mata-matanya. Tetapi itu dulu, karena sekarang Ivanka sudah tidak pernah lagi bertanya tentang Arthur kepada Ani. Wanita itu sudah tidak peduli, dan tidak mau tau dengan apa yang di lakukan Arthur ketika sedang berada di rumah. Saat Ivanka sudah berada jauh dari jangkauan Arthur, pria itu seketika menyadari jika dia belum berterimakasih kepada Ivanka yang telah berhasil membujuk Epril. "Ivanka! Terima kasih!" Namun Ivanka tetap berjalan dan tidak menggubris Arthur. ***** Setibanya di rumah Arthur, Ivanka mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam. Dan tidak menunggu lama, ada suara langkah seseorang yang tengah menuju pintu. Ceklek "Kamu sudah datang?" tanya Arthur dengan nada suara yang jauh lebih lembut dibandingkan dulu. Ivanka hanya mengangguk. "Ayo masuk, Epril sudah menunggu kamu di kamar. Dari tadi dia juga nanyain kamu terus," ungkap Arthur yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Ivanka. Ketika masuk ke dalam, mata Ivanka bertemu dengan mata Sandra yang tengah duduk di sofa. Dia lalu berjalan melewati Sandra begitu saja dengan wajah tanpa ekspresi. Wanita itu langsung pergi menuju kamar Epril yang berada di lantai dua, dan tidak memperdulikan Arthur dan Sandra yang hanya berdua di bawah. "Dia perempuan yang sering datang ke rumah sakit itu, kan?" tanya Sandra kepada Arthur. Arthur mengangguk. "Kok sekarang dia kayak nggak pernah datang lagi?" tanyanya dengan bahasa santai. Ketika tidak berada di rumah sakit, Sandra dan Arthur memang berbicara dengan bahasa yang lebih santai "Iya, dia sibuk dengan kuliahnya," sahut Arthur duduk di sebelah Sandra "Oh." Beberapa saat kemudian, Sandra pamit pulang setelah berbincang-bincang dengan Arthur. "Makasih sudah menyempatkan waktu datang ke sini," tutur Arthur. Sandra tersenyum simpul. "Semoga Epril cepat sembuh," ujarnya lembut. "Amin," sahut Arthur. "Tadi aku benar-benar khawatir pas tau kamu nggak masuk karena Epril sakit," ucap Sandra. "Mungkin aku akan izin cuti dua hari lagi sampai Epril sembuh," sahut Arthur. Sandra mengangguk. Lalu setelah itu Arthur mengantar Sandra sampai ke depan pintu. Dan ketika hari sudah menjelang malam, Ivanka pamit untuk pulang. Namun Epril langsung menangis histeris ketika Ivanka pamit ingin pergi. Bahkan, Arthur sampai tidak bisa menangani putrinya sendiri. Karena tidak memiliki pilihan lain, Ivanka akhirnya tetap berada di sana. Menunggu sampai Epril tertidur. Setelah memastikan Epril benar-benar tidur, Ivanka perlahan turun dari ranjang dan melangkah keluar dari kamar Epril dengan hati-hati. "Epril sudah tidur?" tanya Arthur ringan ketika melihat Ivanka keluar dari kamar Epril. "Sudah," jawab Ivanka singkat. "Maaf sudah merepotkan kamu," tutur Arthur tulus. Ivanka tidak membalas ucapan Arthur. Dia justru berjalan melewati pria itu dan menuruni tangga, bersiap untuk pulang. "Kamu saya antar pulang saja, bahaya perempuan pulang malam sendiri," ujar Arthur menyusul Ivanka. "Tidak perlu, saya bawa motor," tolak Ivanka datar. "Tapi nanti kamu bisa terkena angin malam. Itu tidak bagus untuk kesehatan kamu. Apalagi kamu juga tidak pakai jaket. Jadi lebih baik kamu saya antar biar aman," kata Arthur. "Motor kamu bisa titip di sini dulu. Besok pagi saya suruh orang bawa ke kosan kamu," sambungnya. "Anda tidak perlu repot-repot. Saya bisa pulang sendiri," pungkas Ivanka. "Kamu bisa sakit kalau sering terpapar angin malam. Kalau tidak mau saya antar pulang, setidaknya pakai jaket biar tidak kedinginan," sahut Arthur. "Tunggu sini dulu, saya ambilkan jaket saya," imbuhnya berbalik dan bergegas naik ke atas menuju kamarnya. Ivanka menggertakan gigi. "Tidak usah sok peduli!!" Suara Ivanka menginterupsi langkah Arthur. Arthur menoleh ke arah Ivanka yang menatapnya dengan tatapan dingin. "Selama ini pun Anda juga tidak pernah memperhatikan saya. Jadi kenapa sekarang tiba-tiba Anda bersandiwara seolah Anda peduli?" pungkas Ivanka tanpa ekspresi. Arthur terdiam. "Saya hanya khawatir dengan kesehatan kamu," ungkapnya setelah cukup lama terdiam. "Itu bukan urusan Anda!" desis Ivanka sarkas. "Berhenti bersikap seolah Anda benar-benar mengkhawatirkan saya," tukasnya dingin, dan berlalu pergi dari rumah Arthur. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD