Perkembangan Yang Berarti (1)

1477 Words
“Ma, Rara benar-benar minta maaf. Rara belum bisa ke rumah sementara waktu ini. Ada beberapa hal yang harus Rara selesaikan,” ucap Klara penuh sesal. Terdengar desah kecewa Sang Mama di ujung telepon. “Kamu masih terus mencari ide untuk sejumlah acara, seperti yang kamu ungkapkan ke Papa?” tanya Bu Ellen sambil menghitung dalam diam, sudah sekitar dua bulan dirinya tidak bertemu muka dengan Sang Putri Bungsu. Ia hanya dapat berpuas dengan panggilan video karena tak ingin mengganggu kesibukan Klara. Pilihan untuk mengunjungi Klara baik di kantornya, di tempat event yang ditangani oleh Sang Putri atau di apartemen Klar, juga belum dapat dilakukannya lantaran khawatir akan mengganggu Klara. Bu Ellen bahkan agak cemburu pada Suaminya yang masih sempat bertemu dengan Klara di kantor. Menurut Sang Suami, Klara sengaja bertandang ke kantor pada saat makan siang untuk meminta pendapatnya atas proyeksi hitungan yang dibuatnya tiga hari yang lalu. Dan Klara memang beruntung, sebab pada hari tersebut tidak perlu menghadapi kecerewetan Irene yang baru saja pulang karena merasa kelelahan dan ‘tidak mood bekerja.’ Keberuntungan yang lengkap, sebab Klara juga tidak sempat berpapasan dengan Irene di dekat lift atau bahkan di tempat parkir. “Iya, Ma. Maaf banget, ya.” “Kamu nggak bisa kerjakan di rumah, Sayang?” Klara terdiam sejenak. Dia menangkap ada sesuatu hal yang mendesak dan hendak diungkapkan oleh Sang Mama. “Sebenarnya sih bisa saja. Tapi Ma, jujur saja kalau Rara menginap di rumah, Rara itu inginnya ya bersantai dan mengobrol ringan sama Mama. Bukan sekadar pindah lokasi bekerja. Rasanya aneh saja buat Rara. Dan lagi, ada beberapa bagian yang mungkin harus Rara kerjakan di apartemen. Kan Mama tahu, kadang Rara perlu bantuan Para Kru Rara. Kasihan kalau mereka harus mendatangi Rara di rumah, Ma. Agak susah transportasi ke situ, kan?” Sang Mama meresapi perkataan Klara. “Iya, Mama mengerti Sayang.” “Tapi Mama sehat-sehat saja, kan?” tanya Klara, agak khawatir. “Mama baik-baik saja. Kamu juga harus selalu jaga kesehatan.” “Pasti Ma. Mama juga, ya.” “Kamu nggak kangen sama Mama, Sayang?” “Sudah pasti kangen dong Ma. Tapi buat sementara apa boleh buat harus ditahan dulu rasa kangennya ini. Mama bantu doa ya, supaya urusan Rara lancar, dan proyek yang sedang Rara gagas ini bisa goal.” “Iya, Sayang. Pasti Mama bantu doa agar semua urusanmu dilancarkan. Ngomong-ngomong kamu lagi mempersiapkan proyek apa sih, kok tumben seserius ini?” “Terima kasih, Ma. Kalau Mama bilang tumben seserius ini, ya nggak tumben juga Ma. Semua proyek selalu Rara kerjakan dengan sepenuh hati.” “Bukan, maksud Mama kok kelihatannya ini penting sekali buatmu.” Leher Klara serasa dicekik mendengarnya. Di telinganya, apa yang diucapkan oleh Sang Mama mirip sebuah tuduhan saja. Oh, bukan tuduhan, melainkan tebakan yang tepat sejatinya. Dan hati kecil Klara mengakuinya. Memang penting. Dan maafkan aku harus sedikit egois kali ini ya Ma. Aku agak kedodoran dalam mengelola waktu aku akhir-akhir ini. Dan aku belumbisa berterus terang. Sebab..., ah! Aku belum siap, Ma. Sejujurnya aku sendiri juga merasakan belum yakin dengan perasaanku ini. Jadi, mohon berikan aku waktu untuk diriku sendiri dulu, Ma. Maaf ya, Ma, maafkan aku, batin Klara. Bu Ellen dilanda rasa gundah. Ini sudah tertunda sekian lamanya. Tapi mana tega aku memaksakan kemauanku kepada Rara? Aku tahu betapa pentingnya usaha jasa penyelenggara ini buatnya. Dan aku sangat menyanjung totalitasnya dalam bekerja. Sudahlah, nggak apa-apa. Toh, Papa juga belum menyinggung hal ini lagi. Rene saja yang mulai cerewet dan pakai acara menangis segala, karena merasa ‘ngidamnya’ akan bolu singkong Rara terabaikan. Padahal aku sudah rela membuatkan bolu singkong untuknya, tapi tetap saja dia tahu itu bukan buatan Rara, pikir Bu Ellen, berusaha untuk sebijak mungkin. “Ya sudah kalau begitu, Rara Sayang. Yang penting kamu sehat terus dan apa yang kamu cita-citakan tercapai dengan mulus.” “Amin. Terima kasih ya Ma. Doa Mama sangat berarti buat Rara. Mama juga sehat terus ya. Jangan terlalu capek sama urusan Yayasan. Juga nggak usah terlalu pusing memikirkan urusan laundry koin-nya. Kan sudah ada yang urus.” “Iya. Daagh Sayang.” “Daagh Mama.” Klara menghela napas panjang dan kembali menatapi worksheet yang terpampang di layar laptopnya. Dengan bekal pengetahuan akuntansi yang pernah dia dalami, pendapat dari Sang Papa ditambah perasaan yang kian membuncah di hatinya, dia mulai merubah deretan angka yang disajikan oleh bagian Keuangan-nya. “Demi kamu, Sayang. Rasanya cuma ini yang bisa aku buat. Kamu itu sudah banyak memberi warna di hidup aku, semenjak kehadiranmu. Aku tahu hubungan ini masih sangat baru. Juga masih sama-sama kita simpan sendiri untuk diri kita dan sejumlah Kru aku saja. Belum kita beritahukan kepada Pihak Keluarga kita masing-masing. Ya. Masih terlalu dini. Masih jauh pula. Tapi sepertinya..., aku tersadar betapa aku sangat mencintaimu. Kamu itu membuat aku bersemangat mengerjakan ini dan itu setiap harinya,” desah Klara lirih. Seraut wajah terbayang. Paras menawan dari Vino-nya yang tersayang. Vino yang diijinkannya memiliki dan menempati kavling hatinya. Vino yang kian rajin menghujaninya dengan perhatian kecil yang melenakan dirinya. Vino yang ringan tangan, mau membantunya jika dirinya dipercaya menyelenggarakan sebuah acara dan kebetulan Cowok itu juga sedang agak senggang. Sebuah senyum terulas di bibir ranum Klara. Membayangkan wajah Vino yang berseri-seri ketika melakukan panggilan video kepadanya satu bulan silam, hati Klara seketika menghangat. Seolah perbincangan itu sedang terjadi saat ini. ... “Klara Sayang, kamu tahu nggak? Aku ada kabar gembira.” “Apa?” “Ide yang kamu bilang soal acara yang kemungkinan bisa menuai rating lumayan tetapi anggarannya bisa ditekan itu, disetujui.” “Oh, ya? Yang mana? Aku senang mendengarnya. Dan Siapa yang menyetujui? Produsermu?” Klara mempertanyakan hal itu sebab dia turut memberikan beberapa gagasan acara yang menurutnya belum ditayangkan di stasiun televisi lain. Satu sama lain  konsepnya juga berbeda jauh. Dan tentu saja, Klara turut menyodorkan sejumlah nama yang disarankannya kepada Vino. Tidak berhenti sampai di sana, Klara memberikan sejumlah nama cadangan dan berkata, “Nanti kalau agak kesulitan tentang honor-nya, mungkin aku bisa sedikit membantu untuk menegosiasikannya. Kebetulan aku kenal dengan Para Manager dari Talent tersebut.” Itu yang Klara katakan pada Vino kala itu. “Coba kamu tebak,” ujar Vino sambil tersenyum lebar. “Yang konsep acaranya adalah mengundang sekitar tiga artis setiap episode-nya, untuk bernyanyi secara lip sinc?” “Tebak lagi, Sayang.” “Yang Reality Show dengan menyorot kehidupan Para Artis Pendatang Baru?” Vino tertawa. “Sayang, kok kamu malah ketawain aku?” “Lanjut dong menebaknya.” “Acara hiburan yang mirip dengan stasiun televisi sebelah, tetapi dibuat konsepnya dilakukan secara langsung dan tempatnya berpindah-pindah itu, di alam terbuka dan memanfaatkan latar belakang seadanya? Jadinya nggak pakai anggaran untuk dekorasi?” Vino tertawa lagi. “Ye..., kamu kok ketawa melulu. Giginya kering baru tahu rasa nanti,” goda Klara akhirnya. “Ya tebak lagi dong. Kan masih banyak yang idenya dari kamu. Malah kamu sebutkan detailnya juga kalau kita lagi makan bareng atau lagi ngobrol via telepon begini.” Klara mengetuk-ngetukkan ujung jarinya ke atas meja secara perlahan. Saking banyaknya yang dia kemukakan ke Vino, dia sampai lupa sendiri. Pasalnya, dia sangat peduli dengan peningkatan karir Vino. Dan dia tahu betapa besar artinya bagi Vino untuk dapat segera dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan demi kebaikan Sang Kekasih, Klara rela untuk memangkas jam istirahatnya dengan menelusuri sejumlah informasi melalui jasa Google. Klara juga rutin menonton tayangan you tube dari berbagai channel untuk menggali banyak ide dari sana untuk dapat diterapkannya ke dalam sejumlah konsep acara. Bukan perkara dia kurang percaya diri. Konsep acara untuk tayangan di televisi tentu saja berbeda dengan konsep acara yang selama ini dia kerjakan. Bisa dibilang, dia harus banyak belajar dan menambah wawasan lagi. Mujur, otaknya yang cerdas itu membuatnya cepat menyerap informasi dan mencernanya, bahkan mengkreasikan ide baru dan segar. “Hm. Lupa sih. Soalnya kan hampir setiap kali kita ngobrol, ujungnya ada membahas soal itu.” Vino berlegak cemberut. “Kamu sama obrolan kita saja lupa. Pasti sering lupa juga sama aku, ya? Apalagi kalau pas menghadapi Klien atau Prospek Klien yang ganteng, tinggi, keren, wangi, dan tentunya sama-sama CEO, seperti kamu.” “Ih, apa sih! Kamu deh. Selalu menyingung itu.” “Kan kenyataan, Klara Sayang.” “Jangan ngomong begitu lagi dong. Nggak enak didengarnya.” Vino mengangkat bahu. Seakan tidak terlalu peduli. Apatis. Klara menegaskan lebih lanjut. “Di hadapan Tuhan semua sama. Dan yang namanya roda kehidupan itu terus berputar.  Kadang kita ada di atas,  Adakalanya juga di bawah. Tugas kita hanya berusaha sekuat tenaga, sebaik mungkin, serta menyerahkan segala hasilnya kepada Tuhan, itu saja.” Vino tersentuh. Secuil rasa menyelinap di hatinya mendengar perkataan Klara. Rasa yang sulit untuk dia terjemahkan. Dia selalu begini. Dulu-dulu aku otomatis sinis dan menganggap dia sok religius. Tapi semakin lama aku semakin terbiasa dan justru seperti tertegur, pikir Vino. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD