“Vin...” panggil Klara.
Suara Klara terdengar begitu lembut.
Vino tergugah.
Ada secuil rasa bersalah yang menyapanya.
“Iya, Sayang. Aku minta maaf deh. Aku nggak bermaksud buat menyebutkan hal itu terus. Pasti kamu juga nggak enak dengarnya ya. Maaf, ya, setiap kali aku merasa insecure , otomatis keluar pemikiran itu.”
“Makanya. Jangan ke sana melulu mikirnya, jadinya kan terucap. Kebiasaan tuh! Mau niatnya bercanda atau serius. Ini terakhir, ya.”
“Waduh, aku diultimatum. Oke deh, Sayang.”
Vino tampak ceria kembali.
“Nah, acara yang mana?”
“Kamu sudah nggak mau menebak? Lagi sibuk banget ya Sayang?”
“Lumayan, sih,” sahut Klara terus terang.
“Oh. Maaf kalau begitu.”
“Nggak apa. Nah, acara yang mana?”
Vino hampir saja memasang wajah penuh teka-teki lagi. Klara yang melihat gelagat itu, segera menegur, “Katanya paham kalau aku lagi lumayan sibuk.”
“Iiii... yaaaa, Sayang. Kabar gembairanya sebetulnya nggak cuma satu. Ini ada beberapa.”
“Serius? Ayo, yang ini dulu.”
“Kamu ingat acara yang kamu beri judul ‘Hadiah Di Hari Bahagia’?”
Klara memutar bola matanya, lalu mengangguk-angguk.
“Ingat. Yang konsepnya, stasiun televisi mengijinkan Siapa saja yang menyelenggarakan penikahan sederhana di rumah mereka untuk melayangkan undangan ke stasiun televisi disertai harapan Siapa Artis Pujaan yang ingin diundang?”
“Betul.”
“Itu yang disetujui?”
“Salah satunya. Malahan sudah sempat aku buat rincian lebih lanjut, misalnya, Si Tamu Istimewa itu nanti tahu-tahu muncul di resepsi pernikahan Sang Pengantin, membawa hadiah yang paling diidamkan dan dibutuhkan. Ini nanti ada tim sendiri untuk menelusuri apa yang tengah dibutuhkan oleh Calon Mempelai. Dan tentu dipilih kalau bisa yang pernikahannya paling sederhana, kalau perlu yang diselenggarakan di dalam gang. Lalu selain membawa barang yang diidamkan itu, Si Tamu Istimewa akan mempersembahkan lagu khusus untuk Kedua Mempelai, juga berfoto dengan mereka dan Orang tua mereka sebagai kenang-kenangan. Nah, aku mengusulkan, karena aku yakin yang namanya uang juga pasti diperlukan, maka selain barang yang diidamkan, nanti harus ada hadiah berupa uang juga. Aku juga sedang mengusahakan sejumlah sponsir yang dapat memberikan voucher belanja untuk mereka. Lumayan kan, menambah kebahagiaan mereka di hari besar mereka?”
“Bagus tuh, Vin.”
“Malahan aku perluas juga, kalau pada tayangan awal cukup menarik minat Pemirsa, maka di tayangan ke depannya bisa saja Sang Tamu Istimewa tidak melulu dari kalangan Artis atau Penyanyi. Bisa dari kalangan lain seperti Designer atau Gammers. Malah kalau perlu dari kalangan Pebisnis atau Politisi. Tujuannya supaya lebih banyak yang bisa dijangkau. Ini akan dikaji lebih lanjut.”
“Selamat, ya.”
“Terima kasih, Klara Sayang. Semua ini kan berkat kamu.”
“Nggak juga. Tapi kamu dan keinginan kuat kamu. Itu penting.”
Ucapan yang membuat Vino tertohok.
Ya. Memang keinginan kuatku. Aku kan mau mendaya gunakan kamu. Karena masih belum bisa mendapat ‘ikan besar’, ya sudah, yang kecil-kecil boleh lah, sahut Vino. Tentu saja dalam hati.
Selagi dia berpikir demikian, ada rasa asing yang muncul lagi. Vino buru-buru menepisnya.
“Terus acara yang menyasar kaum Muda itu juga disetujui lho, Sayang. Kata Produserku, bagus untuk memacu Kaum Muda untuk menunjukkan sisi kreatif mereka.”
“Wah, sekali lagi selamat.”
“Terus..., sebenarnya semua yang kamu sebutkan tadi, juga tengah dalam pertimbangan. Semua sedang dipelajari secara saksama, terutama dari segi anggaran. Ya kamu tahu kan, Bapak Bos kan sangat mendengar apa kata Ibu Bos yang pelitnya nyundul ke langit. Tapi berita baiknya, aku merasa akan ada lagi yang disetujui ke depannya. Soalnya yang acara Wisata Kuliner Unik juga disetujui, kok. Kita mau cari tempat wisatanya yang juga bisa mengangkat taraf hidup masyarat di sekitarnya. Jadi nanti konsepnya akan dibuat berbeda, nggak sekadar mencicipi dan memberi ulasan atas makanan dan tempatnya. Pokoknya nanti bakal dikemas spesial.”
“Kamu keren, Sayang.”
“Kamu yang keren, semua itu kan buah pemikiranmu.”
“Enggak lah. Kan kita sama-sama waktu memikirkannya.”
“Lebih banyak kamu.”
“Nanti yang mengeksekusi kan kamu.”
“Tetap saja aku harus berterima kasih sama kamu.”
“Kembali kasih.”
Vino tertawa.
“Ada satu hal lagi, Sayang. Aku resmi dipromosikan sebagai Produser. Dan Mas Nando akan dipromosikan sebagai Executive Produser mulai sekarang. Aku sedang memikirkan program andalan untuk memberikan performa yang terbaik.”
“Waaah selamat ya, Sayang.”
“Terima kasih, Klara Sayang. Aku berpikir..., andai saja kerja sama yang dulu antara Channel 789 dengan perusahaanmu masih bisa berlanjut, pasti luar biasa. Sebab timing-nya pas nih. Beberapa bulan ke depan kan Channel 789 akan berulang tahun. Kalau disetujui dan dikebut, masih sempat. Bisa booming deh..”
“Oh, ya? Bagaimana kalau aku pelajari ulang dan memasukkan kembali proposalnya?” usul Klara spontan.
“Memangnya untuk soal harga masih mungkin, Sayang? Kan sekarang semakin jelas, masalahnya adalah terletak pada anggarannya.”
“Hm. Aku coba utak-atik dulu ya.”
“Terima kasih sebelumnya ya Sayang. Aku mau merayakan secara kecil-kecilan berita baik ini. Kamu ada sedikit waktu nggak kalau kita makan malam? Hari ini? Besok? Lusa? Soalnya kebetulan kesibukanku di kantor Kerabatku sudah mulai berkurang belakangan ini. Sebentar lagi juga bisa sepenuhnya terbebas dan aku bisa fokus untuk keberhasilan program acaraku yang baru.”
Klara berpikir sekian detik.
“Malam ini sampai lusa aku belum bisa. Ada beberapa jadwal yang nggak bisa digeser lagi.”
“Kalau begitu makan siang saja, di kafe dekat kantormu besok, sempat nggak?”
Klara tersenyum.
“Boleh deh.”
...
Klara menghela napas panjang dan memutus lamunan singkatnya.
Kini dirinya teringat kembali akan pandangan bingung Lisye, Kepala Bagian Keuangan yang membantunya menangani segala urusan yang menyangkut keuangan di perusahaan jasa penyelenggara miliknya.
...
“Mbak Klara yakin, ini kita mau turunkan profit ratio-nya?” tanya Lisye tak percaya.
Kalau saja dia bisa berterus terang, ingin benar dia mengatakan bahwa hitungan yang lama saja sudah termasuk cukup ketat rasio keuntungannya.
“Iya. Lisye. Kita anggap ini semacam promosi juga. Jadi ambil keuntungannya tidak usah sebanyak itu. Hitung-hitung kita sambil promosi untuk kemungkinan mendapatkan proyek yang lain ke depannya.”
Lisye menelusuri pos pengeluaran yang dianggarkan satu persatu.
“Mbak, kalau dari honorarium Para Talent, sepertinya akan mustahil. Ini saja yang ada mungkin naik. Ini kan kisaran harga kontrak pada saat yang lalu.”
“Yang itu nanti bagian saya dan Tim Marketing. Kita bisa bongkar pasang dari nama Talent. Bisa dicari alternatif lain. Kamu coba fokus ke pos lainnya. Yang seperti biaya dekorasi, konsumsi, transportasi dan semacamnya. Kalau perlu, eng..., maaf, untuk Kru lepasan, kita cari yang anggarannya di bawah itu.”
“Baik Mbak, saya ubah dulu dan akan saya email revisinya ke Mbak.”
“Oke terima kasih Lisye.”
...
Kini Klara menggaruk-garuk kepalanya. Angka yang sudah direvisi oleh Lisye masih dianggapnya akan sulit untuk mendapatkan persetujuan dari Para Pengambil Keputusan di Channel 789. Untuk itu dia bahkan merasa perlu untuk meminta pendapat Sang Papa lalu merubahnya sendiri.
Klara menyimpan data yang telah dia ubah lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Ini sebenarnya sudah perubahan yang ketiga.
Maka terngiang kembali olehnya pendapat Tim Marketing serta Lisye yang mewakili bagian keuangan, dalam diskusi kemarin.
...
“Mbak Klara, ini nggak salah?” Keke membelalakkan matanya.
“Nggak. Justru saya mau tanya pendapat kalian, masih bisa dicapai nggak ini?”
“Ya sebetulnya bisa-bisa saja. Tapi ini sangat mepet angkanya. Meleset sedikit, bahaya. Ada resiko kita semacam kerja bakti di proyek ini,” sahut Keke.
“Betul, Mbak, apalagi kalau kita hitung pula dari tingkat bunga bank. Kan mereka membayar dengan termin. Kita yang memodali dulu.”
Yang ini adalah pendapat dari Lisye.
Klara langsung mengangkat tangan.
“Soal bunga bank tidak usah diperhitungkan, Lisye. Kan kita pakai dana kita sendiri. Arus kas masih bisa menutupi, kan?” sela Klara.
Klara memergoki kening Lisye berkerut. Dia dapat menerka apa yang sedang dipikirkan oleh Lisye. Mengingat sebagian besar klien terutama yang sejenis dengan perusahaan media yang umumnya penghasilannya tergantung dari pemasukan iklan, biasanya dia yang selalu mengingatkan kepada Lisye agar jangan lupa untuk menghitung suka bunga. Pasalnya, sistem pembayaran mereka yang bertahap saja sudah merupakan salah satu faktor yang harus disoroti demi kelanacaran arus kas masuk perusahan, apalagi jika meleset.
Tapi berhubung ini proyek yang penting bagi Vino maka Klara rela untuk melakukan apa saja, sesuai kapasitasnya. Malahan andaipun di luar kemampuannya, dia akan tetap mengusahakannya. Itu yang ada di benak Klara. Karenanya tentu perlakuannya harus dibedakan dengan proyek yang lainnya.
“Tapi Mbak..,” Lisye masih berusaha untuk membantah.
Keke menyenggol kaki Lisye untuk menyuruhnya diam.
Namun lantaran Keke terlalu keras melakukannya, kaki meja ikut tersenggol.
Klara menyadarinya.
“Eh, maaf Mbak. Nggak sengaja,” ucap Keke cepat.
Klara mengisyaratkan untuk melanjutkan diskusi.
...
Klara mengembuskan napas panjang.
“Apa sudah sedalam ini rasa cintaku sama Vino? Kenapa rasanya aku nggak rela kalau dia kecewa? Dan kenapa aku begitu senang setiap kali dia bercerita dengan penuh semangat tentang perkembangan baik daam pekerjaannya? Uh! Dia bahkan nggak tahu akan rencanaku ini. Aku sengaja mau memasukkan kembali proposal ini tanpa setahu dia, lewat jalur khusus. Biar nanti bisa menjadi kejutan yang indah buat dia.” Klara setengah bergumam.
Klara menatap langit-langit ruangan kerjanya. Seolah tengah mencari jawaban pasti atas pertanyaan yang muncul di hatinya. Dia juga dapat menduga, angka yang baru saja dia ubah kembali, akan menuai reaksi yang negatif dari Anggota Tim-nya. Dan Lisye, yang di matanya paling juara dalam menjaga keuangan perusahaan, tentunya takkan tinggal diam. Dia yakin Lisye akan berusaha untuk menghindarkan perusahaan mereka dari resiko.
Klara menggelengkan kepalanya.
Rasa pusing mulai menggayuti kepalanya.
Dan selagi dia merenung dalam diam, mendadak penggalan lyric dari lagu lawasnya barbara Streisand yang berjudul Woman In Love, terngiang di telinganya, bagai menyindirnya...
I am a woman in love
And I do anything to get you in to my world
And hold you within
It's a right I defend
Over and over again
Kepalanya terasa kian berat saja.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $